Agama Islam, yang mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, dapat diketahui dasardasar dan perundang-undangannya melalui Al-Quran. Al-Quran adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan dapat dijumpai sumbernya yang asli dalam ayat-ayat Al-Quran. Allah berfirman,
"Sesungguhnya Al-Quran ini menunjukkan kepada jalan yang lebih lurus." (QS 17:9)
"Kami menurunkan AI-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS 16:89)
Adalah amat jelas bahwa dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip-umum hukum perbuatan. Kami tidak perlu menyebutkan semua ayat itu dalam kesempatanyang tidak cukup luas ini. Lebih lanjut kami katakan bahwa pemikiran yang teliti tentang pokok-pokok permasalahan berikut dapat menjelaskan kepada kita universalitas kandungan Al-Quran mengenai jalan hidup yang harus ditempuh manusia.
Pertama, dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada kebahagiaan, ketenangan dan pencapaian cita-citanya. Kebahagiaan dan ketenangan merupakan suatu wama khusus di antara warnawama kehidupan yang diinginkan oleh manusia, yang di naungannya ia berharap menemukan kemerdekaan, kesejahteraan, kesentosaan dan lain-lain.
Jarang kita lihat orang yang, dengan perbuatan mereka sendiri, memalingkan muka dari kebahagiaan dan kesenangan - seperti melakukan bunuh diri, melukai badan dan menyakiti anggota tubuhnya dan beberapa latihan (riyadhah) berat yang tidak diajarkan agama - dengan alasan berpaling dari dunia, dan perbuatanperbuatan lain yang menyebabkan seseorang kehilangan berbagai sarana kesejahteraan dan ketenangan hidup. Begitulah, (hanya) orang yang menderita komplikasi jiwa - sebagai akibat dari parahnya komplikasi itu - berpendapat bahwa kebahagiaan terdapat dalam perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kebahagiaan. Sebagai contoh, seseorang mengalami kesulitan hidup dan tidak kuat menanggungnya, kemudian bunuh diri karena beranggapan bahwa kesenangan itu terdapat dalam kematian. Atau, sebagian orang menjauhi dunia, menjalani bermacam latihan badan dan mengharamkan kesenangan materiil untuk dirinya sendiri, karena ia berpendapat bahwa hidup dalam kesenangan materi merupakan hidup yang kering. Dengan demikian, usaha yang dilakukan manusia hanyalah untuk menemukan kebahagiaan yang diidam-idamkan yang ia berusaha mewujudkan dan memperolehnya.
Memang, jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda. Sebagian menempuh jalan yang masuk akal, yang diterima kemanusiaan dan dibolehkan oleh syariat, sedang sebagian yang lain menyalahi jalan yang benar sehingga terperosok ke dalam belantara kesesatan dan menyimpang dad jalan kebenaran.
Kedua, perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senantiasa berada dalam suatu kerangka peraturan dan hukum tertentu. Hal ini merupakan suatu kebenaran yang tak dapat diingkari, dalam segala keadaan, mengingat begitu jelas dan gamblangnya persoalan. Hal itu disebabkan karena manusia yang mempunyai akal hanya melakukan sesuatu setelah ia menghendakinya. Perbuatannya itu berdasarkan kehendak jiwa yang diketahuinya dengan jelas. Di segi yang lain, ia hanya melakukan apa pun demi dirinya sendiri. Yakni, ia merasakan adanya tuntutan-tuntutan hidup yang harus dipenuhinya, kemudian berbuat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan itu untuk dirinya sendiri. Karenanya, antara semua perbuatannya itu ada suatu tali kuat yang menghubungkan sebagiannya dengan yang lain.
Sesungguhnya makan dan minum, tidur dan bangun, duduk dan berdiri, pergi dan datang - semua perbuatan ini dan perbuatan-perbuatan lain yang dilakukan manusia - pada beberapa keadaan, merupakan keharusan baginya; dan pada beberapa keadaan yang lain, tidak merupakan keharusan - yakni, bermanfaat baginya pada suatu saat, dan membahayakan pada saat yang lain. Semua yang dilakukan manusia itu bersumber dari suatu hukum yang ia ketahui universalitasnya dalam dirinya dan yang ia terapkan bagian-bagiannya pada perbuatan dan pekerjaan-pekerjaannya.
Seseorang, dalam perbuatan-perbuatan individualnya, menyerupai suatu pemerintahan lengkap, yang memiliki hukum, kebiasaan dan tata caranya sendiri. Kekuatan aktif dalam pemerintahan itu terlebih dahulu harus menimbang perbuatan-perbuatannya dengan hukum-hukum itu, kemudian bamlah ia berbuat. Perbuatan-perbuatan sosial yang dilakukan dalam suatu masyarakat menyerupai perbuatan individual, sehingga padanya berlaku seperangkat hukum dan tata cara yang dipatuhi oleh sebagian besar individu masyarakat itu. Jika tidak, maka anarkisme akan menguasai, dan ikatan sosial mereka pun terpecah.
Memang, corak masyarakat, di bawah pengaruh hukum-hukum yang berlaku dan dominan di dalamnya, berbeda-beda. Seandainya masyarakat itu bcrcorak mazhabiah, maka di dalamnya berlaku ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum mazhab tersebut. Dan bila tidak bercorak mazhabiah, melainkan kebudayaan, maka perbuatan-perbuatan masyarakatitu bercorak hukum kebudayaan tersebut. Adapun jika masyarakat itu liar dan tidak mempunyai kebudayaan, maka padanya berlaku tata pergaulan dan hukumhukum individual yang sewenang-wenang, atau hukum-hukum yang dihasilkan oleh adanya perbauran berbagai kepercayaan dan tata pergaulan yang kacau.
Kalau begitu, maka manusia, dalam perbuatan-perbuatan individual dan sosialnya, harus memiliki tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu, ia harus melakukan perbuatan-perbuatannya menurut hukum dan tata cara tertentu yang ditetapkan oleh agama atau masyarakat, atau yang lainnya. Al-Quran sendiri menguatkan teori ini ketika ia mengatakan,
"Tiap-tiap umat memiliki kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan." (QS 2: 148)
Kata ad-din (agama), menurut kebiasaan Al-Quran berarti 'jalan hidup.' Orang-orang yang beriman dan yang kafir - sampaisampai yang tidak mengakui keberadaan Allah sekalipun – pasti memiliki suatu agama, karena setiap orang mengikuti hukumhukum tertentu dalam perbuatan-perbuatannya, dan hukumhukum itu disandarkan kepada Nabi dan wahyu, atau ditetapkan oleh seseorang atau suatu masyarakat. Tentang musuh-musuh agama Allah, Allah berfirman:
"Yaitu orang-orang yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok. " (QS 7:45)1)
Ketiga, jalan hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah, bukan berdasarkan emosi-emosi dan dorongan-dorongan individual atau sosial.
Apabila kita mengamati secara teliti setiap bagian alam, akan kita ketahui bahwa ia memiliki tujuan tertentu, yang sejak hari pertama kejadiannya ia mengarah ke tujuan itu melalui jalan yang terdekat dan terbaik. Ia memiliki sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Inilah keadaan semua makhluk di dalam alam ini, baik yang bernyawa maupun yang tidak.
Sebagai contoh adalah biji gandum. Sejak hari pertama diletakkan dalam tanah, ia berjalan dalam proses penyempurnaan. Menghijau dan tumbuh sampai terbentuknya bulir-bulir yang lipatannya berisi banyak biji gandum. Dan ia dibekali dengan sarana-sarana khusus untuk memperoleh unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam proses penyempurnaannya itu. Kemudian ia menyerap unsur-unsur yang ada di dalam tanah, udara dan lain-lainnya dengan kadar tertentu: Lalu ia merekah, menghijau dan tumbuh hari demi hari, dan berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain sampai terbentuknya bulir-bulir baru, yang dalam setiap bulir terdapat banyak biji gandum. Pada saat itulah biji pertama yang disemaikan di bumi benar-benar telah mencapai tujuan yang diidam-idamkannya dan kesempurnaan yang ia tuju. Demikian pula pohon kenari. Jika kita amati secara teliti, akan kita ketahui bahwa pohon itu juga berjalan menuju suatu tujuan tertentu sejak hari pertama kejadiannya. Dan untuk mencapai tujuan itu ia dibekali alat-alat tertentu yang sesuai dengan proses penyempurnaan, kekuatan dan besarnya. Dalam perjalanannya ia tidak menempuh perjalanan yang ditempuh olch gandum, sebagaimana gandum - dalam tingkat-tingkat penyempurnaannya - tidak berproses sebagaimana prosesnya pohon kenari. Masing-masing dari kedua tanaman itu mempunyai perkembangannya sendiri yang tidak akan dilanggarnya untuk selama-lamanya.
Semua yang kita saksikan di dalam alam ini mengikuti kaidah yang berlaku ini, dan tidak ada bukti pasti bahwa manusia menyimpang dari kaidah itu dalam perjalanan alamiahnya menuju tujuan yang ia telah dibekali alat-alat tertentu untuk mencapainya. Bahkan bekal-bekal yang diberikan kepadanya itu merupakan bukti terkuat bahwa dia adalah seperti yang lainnya di alam ini. Dia memiliki tujuan tertentu yang menjamin kebahagiaannya, dan dia telah dilengkapi dengan sarana-sarana untuk mencapainya.
Jadi, fitrah manusia - bahkan fitrah alam yang manusia hanyalah merupakan sebagian darinya - menuntunnya ke arah kebahagiaan hakiki. Fitrah itu mengilhami hukum-hukum terpenting, terbaik dan terkuat yang menjamin kebahagiaannya. Allah berfirman:
"Musa berkata: 'Tuhan kami ialah Zat yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk'." (QS 20:50)
"Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan)Nya. Yang memberikan ketentuan dan petunjuk." (QS 87:2-3)
"Demi jiwa dan Penyempurnanya. Kemudian Allah memberitahukan kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya." (QS 91:7-10)
"Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetapilah fitrah Allah yang la telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. ltulah agama yang lurus. " (QS 30:30)
"Sesungguhnya agama yang diterima Allah adalah lslam." (QS 3:19)
"Barangsiapa rnencari agarna selain lslarn, maka tidak akan diterima. " (QS 3:85)
Kesimpulan dati ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain yang berkandungan sama, yang tidak kami sebutkan secara ringkas, adalah bahwa Allah menuntun setiap makhluk-Nya - termasuk manusia - kepada tujuan dan kebahagiaan puncak yanq merupakan tujuan diciptakannya mereka. Dan jalan yang benar bagi manusia ialah jalan fitrahnya. Maka dalarn perbuatan-perbuatannya manusia harus terikat dengan hukum-hukum individu dan sosial yang bersumber dari fitrahnya, dan tidak boleh secara membuta mengikuti hawa nafsu, emosi, kecenderungan dan keinginannya. Konsekuensi dari agama fitrah (alamiah) adalah manusia tidak boleh menyia-nyiakan bekal-bekal yang diberikan kepadanya. Bahkan setiap bekal harus dimanfaatkan dalam batas-batasnya dan secara benar, agar potensi-potensi yang ada dalam dirinya seimbang, dan agar satu potensi tidak mematikan potensi yang lain.
Selanjutnya manusia harus dikuasai oleh akal sehat yang jauh dari kesalahan, bukan oleh tuntutan-tuntutan diri yang bersumber dari emosi yang menyalahi akal. Beqitu pula, yang menguasai masyarakat haruslah kebenaran dan yang benar-benar bermanfaat baginya, bukan orang kuat yang sewenang-wenang dan mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginannya. Bukan pula mayoritas yang menyimpang dari kebenaran dan kemaslahatan umum.
Pembahasan di atas juga menunjukkan hahwa yang berhak membuat dan memberlakukan hukum hanyalah Allah saja, dan tak seorang pun berhak membuat dan memberlakukan hukum dan memutuskan segala perkara, karena pembahasan di atas menunjukkan bahwa jalan hidup dan hukum yang bermanfaat bagi manusia dalam kehidupannya adalah yang diilhami fitrahnya. Yakni hukum dan jalan hidup yang dituntut oleh sebab-sebab dan faktor-faktor batiniah dan lahiriah dalam fitrahnya. Hal ini berarti sesuai dengan kehendak Allah. Pengertian "sesuai dengan kehendak Allah" adalah bahwa Allah telah menempatkan pada diri manusia sebab-sebab dan faktor-faktor yang mengakibatkan adanya perundanq-undangan dan jalan hidup.
Kadang-kadang, sebab-sebab dan faktor-faktor itu mengambil bentuk pemaksaan sebagai dasar bagi suatu proses, seperti peristiwa-peristiwa alam yang terjadi setiap hari. Inilah yanq dinamakan kemauan alam (iradah takwiniah), Kadanq-kadang juga sesuatu aksi dilakukan secara bebas dan berdasarkan kehendak, seperti makan, minum dan lain-lain, yang dalam hal ini kehendak diatur oleh hukum Allah (iradah tasyri'iah). Allah berfirman:
"Tidak ada hukum selain milik Allah." (QS 12:40 dan 67)
"Sesungguhnya Al-Quran ini menunjukkan kepada jalan yang lebih lurus." (QS 17:9)
"Kami menurunkan AI-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS 16:89)
Adalah amat jelas bahwa dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip-umum hukum perbuatan. Kami tidak perlu menyebutkan semua ayat itu dalam kesempatanyang tidak cukup luas ini. Lebih lanjut kami katakan bahwa pemikiran yang teliti tentang pokok-pokok permasalahan berikut dapat menjelaskan kepada kita universalitas kandungan Al-Quran mengenai jalan hidup yang harus ditempuh manusia.
Pertama, dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada kebahagiaan, ketenangan dan pencapaian cita-citanya. Kebahagiaan dan ketenangan merupakan suatu wama khusus di antara warnawama kehidupan yang diinginkan oleh manusia, yang di naungannya ia berharap menemukan kemerdekaan, kesejahteraan, kesentosaan dan lain-lain.
Jarang kita lihat orang yang, dengan perbuatan mereka sendiri, memalingkan muka dari kebahagiaan dan kesenangan - seperti melakukan bunuh diri, melukai badan dan menyakiti anggota tubuhnya dan beberapa latihan (riyadhah) berat yang tidak diajarkan agama - dengan alasan berpaling dari dunia, dan perbuatanperbuatan lain yang menyebabkan seseorang kehilangan berbagai sarana kesejahteraan dan ketenangan hidup. Begitulah, (hanya) orang yang menderita komplikasi jiwa - sebagai akibat dari parahnya komplikasi itu - berpendapat bahwa kebahagiaan terdapat dalam perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kebahagiaan. Sebagai contoh, seseorang mengalami kesulitan hidup dan tidak kuat menanggungnya, kemudian bunuh diri karena beranggapan bahwa kesenangan itu terdapat dalam kematian. Atau, sebagian orang menjauhi dunia, menjalani bermacam latihan badan dan mengharamkan kesenangan materiil untuk dirinya sendiri, karena ia berpendapat bahwa hidup dalam kesenangan materi merupakan hidup yang kering. Dengan demikian, usaha yang dilakukan manusia hanyalah untuk menemukan kebahagiaan yang diidam-idamkan yang ia berusaha mewujudkan dan memperolehnya.
Memang, jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda. Sebagian menempuh jalan yang masuk akal, yang diterima kemanusiaan dan dibolehkan oleh syariat, sedang sebagian yang lain menyalahi jalan yang benar sehingga terperosok ke dalam belantara kesesatan dan menyimpang dad jalan kebenaran.
Kedua, perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senantiasa berada dalam suatu kerangka peraturan dan hukum tertentu. Hal ini merupakan suatu kebenaran yang tak dapat diingkari, dalam segala keadaan, mengingat begitu jelas dan gamblangnya persoalan. Hal itu disebabkan karena manusia yang mempunyai akal hanya melakukan sesuatu setelah ia menghendakinya. Perbuatannya itu berdasarkan kehendak jiwa yang diketahuinya dengan jelas. Di segi yang lain, ia hanya melakukan apa pun demi dirinya sendiri. Yakni, ia merasakan adanya tuntutan-tuntutan hidup yang harus dipenuhinya, kemudian berbuat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan itu untuk dirinya sendiri. Karenanya, antara semua perbuatannya itu ada suatu tali kuat yang menghubungkan sebagiannya dengan yang lain.
Sesungguhnya makan dan minum, tidur dan bangun, duduk dan berdiri, pergi dan datang - semua perbuatan ini dan perbuatan-perbuatan lain yang dilakukan manusia - pada beberapa keadaan, merupakan keharusan baginya; dan pada beberapa keadaan yang lain, tidak merupakan keharusan - yakni, bermanfaat baginya pada suatu saat, dan membahayakan pada saat yang lain. Semua yang dilakukan manusia itu bersumber dari suatu hukum yang ia ketahui universalitasnya dalam dirinya dan yang ia terapkan bagian-bagiannya pada perbuatan dan pekerjaan-pekerjaannya.
Seseorang, dalam perbuatan-perbuatan individualnya, menyerupai suatu pemerintahan lengkap, yang memiliki hukum, kebiasaan dan tata caranya sendiri. Kekuatan aktif dalam pemerintahan itu terlebih dahulu harus menimbang perbuatan-perbuatannya dengan hukum-hukum itu, kemudian bamlah ia berbuat. Perbuatan-perbuatan sosial yang dilakukan dalam suatu masyarakat menyerupai perbuatan individual, sehingga padanya berlaku seperangkat hukum dan tata cara yang dipatuhi oleh sebagian besar individu masyarakat itu. Jika tidak, maka anarkisme akan menguasai, dan ikatan sosial mereka pun terpecah.
Memang, corak masyarakat, di bawah pengaruh hukum-hukum yang berlaku dan dominan di dalamnya, berbeda-beda. Seandainya masyarakat itu bcrcorak mazhabiah, maka di dalamnya berlaku ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum mazhab tersebut. Dan bila tidak bercorak mazhabiah, melainkan kebudayaan, maka perbuatan-perbuatan masyarakatitu bercorak hukum kebudayaan tersebut. Adapun jika masyarakat itu liar dan tidak mempunyai kebudayaan, maka padanya berlaku tata pergaulan dan hukumhukum individual yang sewenang-wenang, atau hukum-hukum yang dihasilkan oleh adanya perbauran berbagai kepercayaan dan tata pergaulan yang kacau.
Kalau begitu, maka manusia, dalam perbuatan-perbuatan individual dan sosialnya, harus memiliki tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu, ia harus melakukan perbuatan-perbuatannya menurut hukum dan tata cara tertentu yang ditetapkan oleh agama atau masyarakat, atau yang lainnya. Al-Quran sendiri menguatkan teori ini ketika ia mengatakan,
"Tiap-tiap umat memiliki kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan." (QS 2: 148)
Kata ad-din (agama), menurut kebiasaan Al-Quran berarti 'jalan hidup.' Orang-orang yang beriman dan yang kafir - sampaisampai yang tidak mengakui keberadaan Allah sekalipun – pasti memiliki suatu agama, karena setiap orang mengikuti hukumhukum tertentu dalam perbuatan-perbuatannya, dan hukumhukum itu disandarkan kepada Nabi dan wahyu, atau ditetapkan oleh seseorang atau suatu masyarakat. Tentang musuh-musuh agama Allah, Allah berfirman:
"Yaitu orang-orang yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok. " (QS 7:45)1)
Ketiga, jalan hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah, bukan berdasarkan emosi-emosi dan dorongan-dorongan individual atau sosial.
Apabila kita mengamati secara teliti setiap bagian alam, akan kita ketahui bahwa ia memiliki tujuan tertentu, yang sejak hari pertama kejadiannya ia mengarah ke tujuan itu melalui jalan yang terdekat dan terbaik. Ia memiliki sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Inilah keadaan semua makhluk di dalam alam ini, baik yang bernyawa maupun yang tidak.
Sebagai contoh adalah biji gandum. Sejak hari pertama diletakkan dalam tanah, ia berjalan dalam proses penyempurnaan. Menghijau dan tumbuh sampai terbentuknya bulir-bulir yang lipatannya berisi banyak biji gandum. Dan ia dibekali dengan sarana-sarana khusus untuk memperoleh unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam proses penyempurnaannya itu. Kemudian ia menyerap unsur-unsur yang ada di dalam tanah, udara dan lain-lainnya dengan kadar tertentu: Lalu ia merekah, menghijau dan tumbuh hari demi hari, dan berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain sampai terbentuknya bulir-bulir baru, yang dalam setiap bulir terdapat banyak biji gandum. Pada saat itulah biji pertama yang disemaikan di bumi benar-benar telah mencapai tujuan yang diidam-idamkannya dan kesempurnaan yang ia tuju. Demikian pula pohon kenari. Jika kita amati secara teliti, akan kita ketahui bahwa pohon itu juga berjalan menuju suatu tujuan tertentu sejak hari pertama kejadiannya. Dan untuk mencapai tujuan itu ia dibekali alat-alat tertentu yang sesuai dengan proses penyempurnaan, kekuatan dan besarnya. Dalam perjalanannya ia tidak menempuh perjalanan yang ditempuh olch gandum, sebagaimana gandum - dalam tingkat-tingkat penyempurnaannya - tidak berproses sebagaimana prosesnya pohon kenari. Masing-masing dari kedua tanaman itu mempunyai perkembangannya sendiri yang tidak akan dilanggarnya untuk selama-lamanya.
Semua yang kita saksikan di dalam alam ini mengikuti kaidah yang berlaku ini, dan tidak ada bukti pasti bahwa manusia menyimpang dari kaidah itu dalam perjalanan alamiahnya menuju tujuan yang ia telah dibekali alat-alat tertentu untuk mencapainya. Bahkan bekal-bekal yang diberikan kepadanya itu merupakan bukti terkuat bahwa dia adalah seperti yang lainnya di alam ini. Dia memiliki tujuan tertentu yang menjamin kebahagiaannya, dan dia telah dilengkapi dengan sarana-sarana untuk mencapainya.
Jadi, fitrah manusia - bahkan fitrah alam yang manusia hanyalah merupakan sebagian darinya - menuntunnya ke arah kebahagiaan hakiki. Fitrah itu mengilhami hukum-hukum terpenting, terbaik dan terkuat yang menjamin kebahagiaannya. Allah berfirman:
"Musa berkata: 'Tuhan kami ialah Zat yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk'." (QS 20:50)
"Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan)Nya. Yang memberikan ketentuan dan petunjuk." (QS 87:2-3)
"Demi jiwa dan Penyempurnanya. Kemudian Allah memberitahukan kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya." (QS 91:7-10)
"Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetapilah fitrah Allah yang la telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. ltulah agama yang lurus. " (QS 30:30)
"Sesungguhnya agama yang diterima Allah adalah lslam." (QS 3:19)
"Barangsiapa rnencari agarna selain lslarn, maka tidak akan diterima. " (QS 3:85)
Kesimpulan dati ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain yang berkandungan sama, yang tidak kami sebutkan secara ringkas, adalah bahwa Allah menuntun setiap makhluk-Nya - termasuk manusia - kepada tujuan dan kebahagiaan puncak yanq merupakan tujuan diciptakannya mereka. Dan jalan yang benar bagi manusia ialah jalan fitrahnya. Maka dalarn perbuatan-perbuatannya manusia harus terikat dengan hukum-hukum individu dan sosial yang bersumber dari fitrahnya, dan tidak boleh secara membuta mengikuti hawa nafsu, emosi, kecenderungan dan keinginannya. Konsekuensi dari agama fitrah (alamiah) adalah manusia tidak boleh menyia-nyiakan bekal-bekal yang diberikan kepadanya. Bahkan setiap bekal harus dimanfaatkan dalam batas-batasnya dan secara benar, agar potensi-potensi yang ada dalam dirinya seimbang, dan agar satu potensi tidak mematikan potensi yang lain.
Selanjutnya manusia harus dikuasai oleh akal sehat yang jauh dari kesalahan, bukan oleh tuntutan-tuntutan diri yang bersumber dari emosi yang menyalahi akal. Beqitu pula, yang menguasai masyarakat haruslah kebenaran dan yang benar-benar bermanfaat baginya, bukan orang kuat yang sewenang-wenang dan mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginannya. Bukan pula mayoritas yang menyimpang dari kebenaran dan kemaslahatan umum.
Pembahasan di atas juga menunjukkan hahwa yang berhak membuat dan memberlakukan hukum hanyalah Allah saja, dan tak seorang pun berhak membuat dan memberlakukan hukum dan memutuskan segala perkara, karena pembahasan di atas menunjukkan bahwa jalan hidup dan hukum yang bermanfaat bagi manusia dalam kehidupannya adalah yang diilhami fitrahnya. Yakni hukum dan jalan hidup yang dituntut oleh sebab-sebab dan faktor-faktor batiniah dan lahiriah dalam fitrahnya. Hal ini berarti sesuai dengan kehendak Allah. Pengertian "sesuai dengan kehendak Allah" adalah bahwa Allah telah menempatkan pada diri manusia sebab-sebab dan faktor-faktor yang mengakibatkan adanya perundanq-undangan dan jalan hidup.
Kadang-kadang, sebab-sebab dan faktor-faktor itu mengambil bentuk pemaksaan sebagai dasar bagi suatu proses, seperti peristiwa-peristiwa alam yang terjadi setiap hari. Inilah yanq dinamakan kemauan alam (iradah takwiniah), Kadanq-kadang juga sesuatu aksi dilakukan secara bebas dan berdasarkan kehendak, seperti makan, minum dan lain-lain, yang dalam hal ini kehendak diatur oleh hukum Allah (iradah tasyri'iah). Allah berfirman:
"Tidak ada hukum selain milik Allah." (QS 12:40 dan 67)