Baca sebelumnya: Dari Pembatalan Piagam Sampai Kepada Isra'
Orang-orang Quraisy tidak dapat memahami arti isra’, juga mereka yang sudah
Islam banyak yang tidak memahami artinya seperti sudah disebutkan tadi. Itu
sebabnya, ada kelompok yang lalu meninggalkan Muhammad yang tadinya sudah sekian
lama menjadi pengikutnya. Permusuhan Quraisy terhadap Muhammad dan terhadap kaum
Muslimin makin keras juga, sehingga mereka sudah merasa sungguh kesal karenanya.
Rasanya tak ada lagi harapan bagi Muhammad akan mendapat dukungan
kabilah-kabilah sesudah ternyata Thaqif dari Ta’if menolaknya dengan cara yang
tidak baik. Demikian juga kemudian kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu ‘Amir dan
Banu Hanifa semua menolaknya, ketika ia datang mengenalkan diri kepada mereka
pada musim ziarah.
Sesudah itu Muhammad merasa, bahwa tiada seorangpun dari Quraisy itu nampaknya yang dapat diharapkan diajak kepada kebenaran. Kabilah-kabilah lain di luar Quraisy yang berada di sekitar Mekah dan yang datang berziarah ke tempat itu dari segenap penjuru daerah Arab, melihat keadaannya yang dikucilkan itu dan melihat sikap permusuhan Quraisy kepadanya demikian rupa, membuat setiap orang yang mendukungnya jadi memusuhi mereka. Sekarang sikap Quraisy tambah keras pula menentangnya.
Meskipun Muhammad sudah merasa berbesar hati karena adanya Hamzah dan ‘Umar, dan meskipun ia sudah yakin, bahwa Quraisy tidak akan terlalu membahayakan melebihi yang sudah-sudah mengingat adanya pertahanan pihak keluarganya dari Banu Hasyim dan Banu Abd’l-Muttalib, tapi ia melihat -sampai pada waktu itu- bahwa risalah Tuhan itu akan terhenti hanya pada suatu lingkaran pengikutnya saja. Mereka yang terdiri dari orang-orang yang masih lemah dan sedikit sekali jumlahnya, hampir-hampir saja punah atau tergoda meninggalkan agamanya kalau tidak segera datang kemenangan dan pertolongan Tuhan. Hal ini berjalan cukup lama. Muhammad makin dikucilkan di tengah-tengah keluarganya, kedengkian Quraisy juga bertambah besar.
Adakah pengasingan yang demikian ini telah melemahkan jiwanya dan dapat mematahkan semangatnya? Sekali-kali tidak! Bahkan kepercayaannya akan kebenaran yang datang dari Tuhan itu lebih luhur daripada sekedar pertimbangan-pertimbangan yang akan dapat melemahkan jiwa biasa. Bagi orang yang berjiwa luar biasa hal ini justru akan lebih memperkuat kepercayaannya.
Dalam keadaan terasing itu - dengan sahabat-sahabat di sekelilingnya - Muhammad yakin sekali Tuhan akan memberikan pertolongan kepadanya dan agamanyapun akan mengatasi semua agama. Badai kedengkian tidak sampai menggoyangkan hatinya. Bahkan tetap ia tinggal di Mekah selama beberapa tahun. Tidak peduli ia harta Khadijah dan hartanya sendiri akan habis. Keadaannya yang sangat miskin tidak sampai melemahkan hatinya. Jiwanya tak pernah gandrung kepada apapun selain dari pertolongan Tuhan yang sudah pasti akan diberikan kepadanya.
Apabila musim ziarah sudah tiba, orang-orang dari segenap jazirah Arab sudah berkumpul lagi di Mekah, iapun mulai menemui kabilah-kabilah itu. Diajaknya mereka memahami kebenaran agama yang dibawanya itu. Tidak peduli ia apakah kabilah-kabilah tidak mau menerima ajakannya, atau akan mengusirnya secara kasar. Beberapa orang pandir dari Quraisy berusaha menghasut ketika diketahui ia terus menyampaikan amanat Tuhan itu kepada orang ramai. Mereka memperlakukannya dengan segala kejahatan. Tetapi semua itu tidak mengubah ketenangan jiwanya dan ia yakin sekali akan hari esok. Allah Maha Agung telah mengutusnya demi kebenaran. Sudah tentu Dialah Pembela dan Pendukung kebenaran itu. Tuhan juga Yang telah mewahyukan kepadanya, supaya dalam berdebat hendaknya dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya.
“Sehingga permusuhan antara engkau dengan dia itu sudah seperti persahabatan yang erat sekali. (Qur’an, 41: 34) Dan supaya bicara dengan mereka dengan lemah-lembut, kalau-kalau mereka mau sadar dan merasa gentar. Jadi, tabahkanlah hati menghadapi siksaan mereka. Tuhan bersama mereka yang tabah hati.
Tidak selang berapa tahun kemudian Muhammad menunggu tiba-tiba tampak tanda permulaan kemenangan itu datang dari arah Yathrib. Bagi Muhammad Yathrib mempunyai arti hubungan bukan hubungan dagang, tetapi suatu hubungan yang dekat sekali. Di tempat itu ada sebuah kuburan, dan sebelum wafat, sekali setahun ibunya berziarah ke tempat itu. Sedang famili-familinya, dari pihak Banu Najjar, ialah keluarga kakeknya Abd’l-Muttalib dari pihak ibu. Kuburan itu ialah makam ayahnya, Abdullah b. Abd’l-Muttalib. Ke makam inilah Aminah sebagai isteri yang setia berziarah. Dulu Abd’l-Muttalib juga sebagai ayah yang kehilangan anak yang sedang muda belia dan tegap, pernah berziarah. Ketika berusia enam tahun, Muhammad juga pernah ke Yathrib menemani ibunya. Jadi bersama ibunya ia juga ziarah ke makam ayahnya itu. Kemudian mereka berdua kembali pulang. Aminah jatuh sakit di tengah perjalanan, sampai wafat. Lalu dikuburkan di Abwa’ - pertengahan jalan antara Yathrib dengan Mekah.
Jadi tidak heranlah apabila tanda-tanda kemenangan bagi Muhammad itu dimulai dari jurusan sebuah kota yang mempunyai hubungan sedemikian rupa. Ke arah ini jugalah dulu ia menghadap, tatkala dalam sembahyang itu al-Masjid’l-Aqsha di Bait’l-Maqdis dijadikan kiblatnya, tempat sesepuhnya Musa dan Isa. Tidak heran apabila nasib baik itu akan jatuh di Yathrib. Di tempat ini Muhammad akan beroleh kemenangan, di tempat ini Islam akan beroleh kemenangan, di tempat ini pula Islam akan memperoleh sukses dan berkembang.
Nasib baik telah jatuh di Yathrib, suatu hal yang tidak terjadi pada kota yang lain. Waktu itu dua kabilah Aus dan Khazraj adalah penyembah berhala di Yathrib. Mereka saling bertetangga dengan orang-orang Yahudi. Sering pula timbul kebencian antara mereka itu dan dari kebencian ini sampai timbul pula peperangan.
Sejarah memperlihatkan bahwa orang-orang Masehi di Syam, yang berada di bawah pengaruh Rumawi Timur (Bizantium) sangat membenci orang-orang Yahudi, sebab mereka percaya bahwa mereka inilah yang telah menyiksa dan menyalib Isa al-Masih. Mereka menyerbu Yathrib guna memerangi orang-orang Yahudi. Akan tetapi karena tidak berhasil mereka lalu membujuk dan meminta bantuan Aus dan Khazraj. Tidak sedikit jumlah orang-orang Yahudi itu kemudian yang mereka bunuh. Dengan demikian kedudukan orang-orang Yahudi sebagai yang dipertuan dijatuhkan, dan orang-orang Arab kabilah Aus dan Khazraj yang tadinya terbatas hanya sebagai kuli telah dinaikkan. Sesudah itu orang-orang Arab itu berusaha lagi akan menghantam orang-orang Yahudi supaya kekuasaan mereka atas kota yang makmur dan subur dengan pertanian dan air itu lebih besar lagi. Siasat mereka ini berhasil baik sekali.
Tetapi pihak Yahudi sendiri kemudian menyadari akan bencana yang menimpa diri mereka itu. Permusuhan dan kebencian pihak Yahudi Yathrib terhadap Aus dan Khazraj makin mendalam, Aus dan Khazrajpun demikian juga terhadap Yahudi.
Sekarang pengikut-pengikut Musa ini melihat, bahwa pertempuran yang dilawan dengan pertempuran berarti akan menghabiskan mereka sama sekali, apalagi kalau Aus dan Khazraj sampai bersahabat baik1 dengan orang-orang Arab, yang seagama dengan Ahli Kitab. Maka dalam siasat mereka, mereka menempuh suatu cara bukan mencari kemenangan dalam pertempuran, melainkan dengan menggunakan siasat memecah-belah. Mereka melakukan intrik di kalangan Aus dengan Khazraj, menyebarkan provokasi permusuhan dan kebencian di kalangan mereka, supaya masing-masing pihak selalu bersiap-siap akan saling bertempur.
Dengan demikian selamatlah propaganda mereka itu. Mereka sekarang dapat memperbesar perdagangan dan kekayaan mereka. Kekuasaan mereka yang sudah hilang dapat mereka rebut kembali, termasuk rumah-rumah dan harta tidak bergerak lainnya.
Di samping konflik karena berebut kedaulatan dan kekuasaan dalam hidup bertetangga Yahudi-Arab Yathrib itu, masih ada pengaruh lain yang lebih dalam pada pihak Aus dan Khazraj melebihi penduduk jazirah Arab yang manapun juga - yaitu dalam arti pengaruh rohani.
Orang-orang Yahudi sebagai Ahli Kitab dan penganjur monotheisma sangat mencela tetangga-tetangga mereka yang terdiri dari kaum pagan dengan penyembah berhala sebagai pendekatan kepada Tuhan.
Mereka diperingatkan bahwa kelak akan ada seorang nabi yang akan menghabiskan mereka dan mendukung Yahudi. Tetapi propaganda ini tidak sampai membuat orang-orang Arab itu mau menganut agama Yahudi. Soalnya karena dua sebab: pertama karena selalu ada perang antara kaum Nasrani dan kaum Yahudi, yang lalu membuat Yahudi Yathrib hanya hidup cari selamat, yang berarti akan menjamin lancarnya perdagangan mereka. Kedua, orang-orang Yahudi beranggapan, bahwa mereka adalah bangsa pilihan Tuhan, dan mereka tidak mau ada bangsa lain memegang kedudukan ini. Disamping itu mereka memang tidak pernah mengajak orang lain menganut agamanya dan merekapun tidak pula keluar dari lingkungan Keluarga Israil. Atas dasar ke dua sebab tersebut, hubungan tetangga dan hubungan dagang antara Yahudi dengan Arab -Aus dan Khazraj - membuat lebih banyak mengetahui cerita-cerita kerohanian dan masalah-masalah agama lainnya di banding dengan golongan Arab yang lain. Ini menunjukkan bahwa tak ada suatu golongan dari kalangan Arab yang dapat menerima ajakan Muhammad dalam arti spiritual seperti yang dilakukan oleh penduduk Yathrib itu.
Suwaid bin’sh-Shamit adalah seorang bangsawan terkemuka di Yathrib. Karena ketabahannya, pengetahuannya, kebangsawanan dan keturunannya, masyarakatnya sendiri menamakannya al-Ramil (yang sempurna). Pada waktu membicarakan ini Suwaid sedang berada di Mekah berziarah. Muhammad lalu menemuinya dan diajaknya ia mengenal Tuhan dan menganut Islam.
“Barangkali yang ada padamu itu sama dengan yang ada padaku,” kata Suwaid.
“Apa yang ada padamu?” tanya Muhammad.
“Kata-kata mutiara oleh Luqman.”
Lalu Muhammad minta supaya hal itu dikemukakan.
“Memang itu kata-kata yang baik,” kata Muhammad setelah oleh Suwaid dikemukakan. “Tapi yang ada padaku lebih utama tentunya, yaitu Qur’an sebagai bimbingan dan cahaya.”
Lalu dibacakannya ayat-ayat Qur’an itu kepadanya disertai ajakan agar ia sudi menerima Islam. Gembira sekali Suwaid mendengar ini.
“Memang baik sekali ini,” katanya. Lalu ia pergi hendak memikirkan hal tersebut. Ada sementara orang yang berkata ketika ia dibunuh oleh Khazraj, bahwa ia mati sebagai Muslim.
Peristiwa Suwaid b. Shamit ini bukan contoh satu-satunya yang menunjukkan adanya pengaruh Yahudi dan Arab di Yathrib yang bertetangga itu, dari segi rohani.
Keadaan Aus dan Khazraj yang begitu bermusuhan sebagai akibat provokasi pihak Yahudi seperti yang sudah kita ketahui, satu sama lain mencari sekutu di kalangan kabilah-kabilah Arab untuk memerangi lawannya. Dalam hal ini kedatangan Abu’l Haisar Ans b. Rafi’ ke Mekah disertai pemuda-pemuda dari Banu Abd’l-Asyhal - termasuk Iyas b. Mu’adh - adalah dalam rangka mencari persekutuan dengan pihak Quraisy dan golongannya sendiri dari pihak Khazraj. Muhammad mengetahui hal ini. Ditemuinya mereka itu, dan diperkenalkannya Islam kepada mereka. Lalu dibacanya ayat-ayat Qur’an kepada mereka.
Pada waktu itu, Iyas b.Mu’adh sebagai pemuda remaja mengatakan: “Kawan-kawan, ini adalah lebih baik daripada apa yang ada pada kita semua.”
Mereka kemudian kembali pulang ke Yathrib. Tak ada yang masuk Islam diantara mereka itu, selain Iyas. Mereka semua sedang sibuk mencari sekutu sebagai suatu persiapan karena adanya insiden Bu’ath yang telah melibatkan Aus dan Khazraj ke dalam api perang saudara itu, tidak lama sesudah Abu’l Haisar dan rombongannya kembali dari Mekah. Akan tetapi kata-kata Muhammad ‘alaihissalam telah meninggalkan bekas yang dalam ke dalam jiwa mereka setelah terjadinya insiden itu, yang lalu membuat Aus dan Khazraj menantikan Muhammad sebagai Nabi, sebagai Rasul, sebagai wakil dan pemuka mereka.
Memang, terjadinya insiden Bu’ath itu tidak lama sesudah Abu’l-Haisar kembali ke Yathrib. Pada waktu itulah pertempuran sengit antara Aus dan Khazraj terjadi, yang membawa akibat timbulnya permusuhan yang berakar dalam sekali. Setiap golongan lalu bertanya-tanya kalau-kalau mereka itu yang menang: akan tetapkah mereka dengan kawan-kawan mereka itu, ataukah akan dikikis habis. Abu Usaid Hudzair sebagai pemuka Aus, sangat dendam sekali kepada Khazraj.
Tatkala pertempuran sudah dimulai, pihak Aus mengalami suatu kekacauan. Mereka lari tunggang-langgang ke arah Najd, yang oleh pihak Khazraj lalu diejek. Hudzair yang mendengarkan ejekan itu menetakkan ujung lembingnya ke pahanya; lalu turun dengan mengatakan:
“Sungguh luarbiasa! Tidak akan tinggal diam sebelum aku mati terbunuh. Wahai masyarakat Aus, kalau kamu mau menyerahkan aku, lakukanlah!”
Pihak Aus sekarang mau bertempur lagi. Pengalaman pahit yang telah menimpa mereka menyebabkan mereka kini berjuang mati-matian. Khazraj dapat mereka hancurkan. Rumah-rumah dan kebun kurma Khazraj oleh Aus dibakar. Kemudian Sa’d b. Mu’adh al-Asyhadi bertindak melindungi Khazraj. Sementara itu Hudzair bermaksud akan mendatangi rumah demi rumah, membunuhi satu-satu mereka sampai tak ada yang hidup lagi, kalau tidak segera Abu Qais ibn’l-Aslat kemudian datang mencegahnya guna menjaga solidaritas kepercayaan mereka. “Bertetangga dengan mereka lebih baik daripada bertetangga dengan rubah.”
Sejak itu orang-orang Yahudi dapat mengembalikan kedudukannya di Yathrib. Baik yang menang maupun yang kalah dari kalangan Aus dan Khazraj sama-sama berpendapat tentang akibat buruk yang telah mereka lakukan itu. Hal ini yang sekarang terpikir oleh mereka, dan mereka sudah mempertimbangkan pula akan mengangkat seorang raja atas mereka itu. Untuk itu mereka lalu memilih Abdullah b. Muhammad dari pihak Khazraj yang sudah kalah, mengingat kedudukan dan pandangannya yang baik. Akan tetapi karena perkembangan situasi yang begitu pesat, keinginan mereka itu tidak sampai terlaksana. Soalnya ialah karena ada beberapa orang dari Khazraj pergi ke Mekah pada musim ziarah.
Di tempat ini Muhammad menemui mereka dan menanyakan keadaan mereka, yang kemudian diketahuinya, bahwa mereka adalah kawan-kawan orang-orang Yahudi. Ketika itu orang-orang Yahudi di Yathrib mengatakan apabila mereka saling berselisih.
“Sekarang akan ada seorang nabi utusan Tuhan yang sudah dekat waktunya. Kami akan jadi pengikutnya dan kami dengan dia akan memerangi kamu seperti dalam perang ‘Ad dan Iram.”
Setelah Nabi bicara dengan mereka dan diajaknya mereka bertauhid kepada Allah, satu sama lain mereka saling berpandang-pandangan.
“Sungguh inilah Nabi yang pernah dijanjikan orang-orang Yahudi kepada kita,” kata mereka. “Jangan sampai mereka mendahului kita.”
Seruan Muhammad mereka sambut dengan baik dan menyatakan diri mereka masuk Islam. Lalu kata mereka:
“Kami telah meninggalkan golongan kami - yakni Aus dan Khazraj - dan tidak ada lagi golongan yang saling bermusuhan dan saling mengancam. Mudah-mudahan Tuhan mempersatukan mereka dengan tuan. Bila mereka itu sudah dapat dipertemukan dengan tuan, maka tak adalah orang yang lebih mulia dari tuan.”
Orang-orang itu lalu kembali ke Medinah. Dua orang diantara mereka itu dari Banu’n-Najjar, keluarga Abd’l-Muttalib dari pihak ibu - kakek Muhammad yang telah mengasuhnya sejak kecil. Kepada masyarakatnya itu mereka menyatakan sudah menganut Islam. Ternyata merekapun menyambut pula dengan senang hati agama ini, yang berarti akan membuat mereka menjadi golongan monotheis seperti orang-orang Yahudi. Bahkan membuat lebih baik dari mereka. Dengan demikian tiada suatu keluargapun, baik Aus atau Khazraj, yang tidak menyebut nama Muhammad ‘alaihissalam.
Tiba giliran tahun berikutnya, bulan-bulan sucipun datang lagi bersama datangnya musim ziarah ke Mekah, dan ke tempat itu datang pula duabelas orang penduduk Yathrib. Mereka ini bertemu dengan Nabi di ‘Aqaba. Di tempat inilah mereka menyatakan ikrar atau berjanji kepada Nabi (yang kemudian dikenal dengan nama) Ikrar ‘Aqaba pertama. Mereka berikrar kepadanya untuk tidak menyekutukan Tuhan, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah, baik di depannya atau di belakang. Jangan menolak berbuat kebaikan. Barangsiapa mematuhi semua itu ia mendapat pahala surga, dan kalau ada yang mengecoh, maka soalnya kembali kepada Tuhan. Tuhan berkuasa menyiksa, juga berkuasa mengampuni segala dosa.
Dalam hal ini Muhammad menugaskan kepada Mush’ab bin ‘Umair supaya membacakan Qur’an kepada mereka, mengajarkan Islam serta seluk-beluk hukum agama.
Setelah adanya ikrar ini Islam makin tersebar di Yathrib. Mush’ab bertugas memberikan pelajaran agama di kalangan Muslimin Aus dan Khazraj. Gembira sekali ia melihat kaum Anshar itu makin teguh kepercayaannya kepada Allah dan kepada kebenaran. Menjelang bulan-bulan suci akan tiba, ia datang lagi ke Mekah dan kepada Muhammad diceritakannya keadaan Muslimin di Yathrib itu; tentang ketahanan dan kekuatan mereka, dan bahwa pada musim haji tahun ini mereka akan datang lagi ke Mekah dalam jumlah yang lebih besar dengan iman kepada Tuhan yang sudah lebih kuat.
Berita-berita yang disampaikan oleh Mush’ab ini membuat Muhammad berpikir lebih lama lagi. Pengikut-pengikutnya di Yathrib kini makin sehari makin berkuasa dan bertambah kuat juga. Dari orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik mereka tidak mendapat gangguan seperti yang dialami oleh kawan-kawannya di Mekah karena gangguan Quraisy. Di samping itu Yathrib lebih makmur daripada Mekah - ada pertanian, ada kebun kurma, ada anggur. Bukankah lebih baik sekali apabila Muslimin Mekah itu hijrah saja ke tempat saudara-saudara mereka di sana, yang akan terasa lebih aman? Mereka akan bebas dari Quraisy yang selalu memfitnah agama mereka.
Selama Muhammad berpikir-pikir itu teringat olehnya akan orang-orang dari Yathrib, mereka yang mula-mula masuk Islam itu, dan yang menceritakan adanya permusuhan antara golongan Aus dan Khazraj. Apabila dengan perantaraannya mereka itu sudah dapat dipersatukan Tuhan, maka tak ada orang yang lebih mulia dari Muhammad. Sekarang mereka sudah dipertemukan Allah bersama dia, bukankah lebih baik apabila dia juga hijrah? Ia tidak ingin membalas kejahatan Quraisy itu. Iapun sadar bahwa ia lebih lemah dari mereka. Kalaupun Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib melindunginya dari penganiayaan, mereka tidak akan membelanya dalam melakukan penganiayaan. Dan mereka yang sudah menjadi pengikutnya juga takkan dapat melindungi diri dari penganiayaan Quraisy dan segala macam kejahatannya.
Apabila iman itu merupakan landasan yang paling kuat, yang akan membuat segalanya di hadapan kita menjadi kecil, dan untuk itu dengan segala senang hati orang mengorbankan harta bendanya, kesenangan, kebebasan dan seluruh hidupnya, apabila penganiayaan itu dengan sendirinya akan membuat iman seseorang bertambah dalam, maka penganiayaan dan pengorbanan yang terus-menerus itu bagi seorang mukmin akan membuatnya ia merenungkan lebih dalam lagi, akan memberinya ruangan yang lebih luas serta pengertian tentang kebenaran yang lebih dalam dan kuat. Dahulu Muhammad pernah menganjurkan kepada pengikut-pengikutnya supaya mereka mengungsi ke Abisinia daerah Kristen, karena di situ ada kebenaran, ada seorang raja yang adil. Maka akan lebih baiklah bila sekarang kaum Muslimin itu mengungsi ke Yathrib, dapat saling memperkuat diri dengan sahabat-sahabat kaum Muslimin di sana, dapat saling tolong-menolong dalam menahan bahaya yang mungkin menimpa mereka. Dengan begitu mereka akan mendapat kebebasan dalam merenungkan agama serta berterang-terang pula guna mengangkat martabat mereka, sebagai jaminan suksesnya dakwah agama ini, suatu dakwah yang tidak mengenal paksaan, melainkan dasarnya adalah kasih-sayang, dapat meyakinkan dan bertukar pikiran dengan cara yang baik.
Tahun ini - 622 M - jemaah haji dari Yathrib praktis jumlahnya banyak sekali, terdiri dari tujuhpuluh lima orang, tujuhpuluh tiga pria dan dua wanita. Mengetahui kedatangan mereka ini, terpikir oleh Muhammad akan mengadakan suatu ikrar lagi, tidak terbatas hanya pada seruan kepada Islam seperti selama ini, yang selama tigabelas tahun ini terus-menerus dilakukannya, dengan lemah-lembut, dengan segala kesabaran menang gung pelbagai macam pengorbanan dan kesakitan - melainkan kini lebih jauh lagi dari itu. Ikrar itu hendaknya menjadi suatu pakta persekutuan, yang dengan demikian kaum Muslimin dapat mempertahankan diri: pukulan dibalas dengan pukulan, serangan dengan serangan. Muhammad lalu mengadakan pertemuan rahasia dengan pemimpin-pemimpin mereka.
Setelah ada kesediaan mereka, dijanjikannya pertemuan itu akan diadakan di ‘Aqaba pada tengah malam pada hari-hari Tasyriq.2 Peristiwa ini oleh Muslimin Yathrib tetap dirahasiakan dari kaum musyrik yang datang bersama-sama mereka. Menunggu sampai lewat sepertiga malam dari janji mereka dengan Nabi, mereka keluar meninggalkan kemah, pergi mengendap-endap seperti burung ayam-ayam, sembunyi-sembunyi jangan sampai rahasia itu terbongkar.
Sesampai mereka di gunung ‘Aqaba, mereka semua memanjati lereng-lereng gunung tersebut, demikian juga kedua wanita itu. Mereka tinggal di tempat ini menunggu kedatangan Rasul.
Kemudian Muhammad pun datang, bersama pamannya ‘Abbas b. Abd’l-Muttalib - yang pada waktu itu masih menganut kepercayaan golongannya sendiri. Akan tetapi sejak sebelum itu ia sudah mengetahui dari kemenakannya ini akan adanya suatu pakta persekutuan; dan adakalanya hal ini dapat mengakibatkan perang. Disebutkan juga, bahwa dia sudah mengadakan perjanjian dengan Keluarga Muttalib dan Keluarga Hasyim untuk melindungi Muhammad. Maka dimintanya ketegasan kemanakannya itu dan ketegasan golongannya sendiri, supaya jangan kelak timbul bencana yang akan menimpa Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib, dan dengan demikian berarti orang-orang Yathrib itu akan kehilangan pembela. Atas dasar itulah, maka ‘Abbas yang pertama kali bicara.
“Saudara-saudara dari Khazraj!” kata ‘Abbas. “Posisi Muhammad di tengah-tengah kami sudah sama-sama tuan-tuan ketahui. Kami dan mereka yang sepaham dengan kami telah melindunginya dari gangguan masyarakat kami sendiri. Dia adalah orang yang terhormat di kalangan masyarakatnya dan mempunyai kekuatan di negerinya sendiri. Tetapi dia ingin bergabung dengan tuan-tuan juga. Jadi kalau memang tuan-tuan merasa dapat menepati janji seperti yang tuan-tuan berikan kepadanya itu dan dapat melindunginya dari mereka yang menentangnya, maka silakanlah tuan-tuan laksanakan. Akan tetapi, kalau tuan-tuan akan menyerahkan dia dan membiarkannya terlantar sesudah berada di tempat tuan-tuan, maka dari sekarang lebih baik tinggalkan sajalah.”
Setelah mendengar keterangan ‘Abbas pihak Yathrib menjawab: “Sudah kami dengar apa yang tuan katakan. Sekarang silakan Rasulullah bicara. Kemukakanlah apa yang tuan senangi dan disenangi Tuhan.”
Setelah membacakan ayat-ayat Qur’an dan memberi semangat Islam, Muhammad menjawab:
“Saya minta ikrar tuan-tuan akan membela saya seperti membela isteri-isteri dan anak-anak tuan-tuan sendiri.”
Ketika itu Al-Bara’ b. Ma’rur hadir. Dia seorang pemimpin masyarakat dan yang tertua di antara mereka. Sejak ikrar ‘Aqaba pertama ia sudah Islam, dan menjalankan semua kewajiban agama, kecuali dalam sembahyang ia berkiblat ke Ka’bah, sedang Muhammad dan seluruh kaum Muslimin waktu itu masih berkiblat ke al-Masjid’l-Aqsha. Oleh karena ia berselisih pendapat dengan masyarakatnya sendiri, begitu mereka sampai di Mekah segera mereka minta pertimbangan Nabi. Muhammad melarang Al-Bara’ berkiblat ke Ka’bah.
Setelah tadi Muhammad minta kepada Muslimin Yathrib supaya membelanya seperti mereka membela isteri dan anak-anak mereka sendiri, Al-Bara’ segera mengulurkan tangan menyatakan ikrarnya seraya berkata: “Rasulullah, kami sudah berikrar. Kami adalah orang peperangan dan ahli bertempur yang sudah kami warisi dari leluhur kami.”
Tetapi sebelum Al-Bara’ selesai bicara, Abu’l-Haitham ibn’t-Tayyihan datang menyela:
“Rasulullah, kami dengan orang-orang itu - yakni orang-orang Yahudi - terikat oleh perjanjian, yang sudah akan kami putuskan. Tetapi apa jadinya kalau kami lakukan ini lalu kelak Tuhan memberikan kemenangan kepada tuan, tuan akan kembali kepada masyarakat tuan dan meninggalkan kami?”
Muhammad tersenyum, dan katanya: “Tidak, saya sehidup semati dengan tuan-tuan. Tuan-tuan adalah saya dan saya adalah tuan-tuan. Saya akan memerangi siapa saja yang tuan-tuan perangi, dan saya akan berdamai dengan siapa saja yang tuan-tuan ajak berdamai.”
Tatkala mereka siap akan mengadakan ikrar itu, ‘Abbas b. ‘Ubada datang menyela dengan mengatakan: “Saudara-saudara dari Khazraj. Untuk apakah kalian memberikan ikrar kepada orang ini? Kamu menyatakan ikrar dengan dia tidak melakukan perang terhadap yang hitam dan yang merah3 melawan orang-orang itu.4 Kalau tuan-tuan merasa, bahwa jika harta benda tuan-tuan habis binasa dan pemuka-pemuka tuan-tuan mati terbunuh, tuan-tuan akan menyerahkan dia (kepada musuh), maka (lebih baik) dari sekarang tinggalkan saja dia. Kalaupun itu juga yang tuan-tuan lakukan, ini adalah suatu perbuatan hina dunia akhirat. Sebaliknya, bila tuan-tuan memang dapat menepati janji seperti yang tuan-tuan berikan kepadanya itu, sekalipun harta-benda tuan-tuan akan habis dan bangsawan-bangsawan akan mati terbunuh, maka silakan saja tuan-tuan terima dia. Itulah suatu perbuatan yang baik, dunia akhirat.”
Orang ramai itu menjawab:
“Akan kami terima, sekalipun harta-benda kami habis, bangsawan-bangsawan kami terbunuh. Tetapi, Rasulullah, kalau dapat kami tepati semua ini, apa yang akan kami peroleh?”
“Surga,” jawab Muhammad dengan tenang dan pasti.
Mereka lalu mengulurkan tangan dan dia juga membentangkan tangannya. Ketika itu mereka menyatakan ikrar kepadanya.
Selesai ikrar itu, Nabi berkata kepada mereka:
“Pilihkan dua belas orang pemimpin dari kalangan tuan-tuan yang akan menjadi penanggung-jawab masyarakatnya.”
Mereka lalu memilih sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus. Kemudian kepada pemimpin-pemimpin itu Nabi berkata:
“Tuan-tuan adalah penanggung-jawab masyarakat tuan-tuan seperti pertanggung-jawaban pengikut-pengikut Isa bin Mariam. Terhadap masyarakat saya, sayalah yang bertanggungjawab.”
Dalam ikrar kedua ini mereka berkata:
“Kami berikrar mendengar dan setia di waktu suka dan duka, di waktu bahagia dan sengsara, kami hanya akan berkata yang benar di mana saja kami berada, dan kami tidak takut kritik siapapun atas jalan Allah ini.”
Peristiwa ini selesai pada tengah malam di celah gunung ‘Aqaba, jauh dari masyarakat ramai, atas dasar kepercayaan, bahwa hanya Allah Yang mengetahui keadaan mereka. Akan tetapi, begitu peristiwa itu selesai, tiba-tiba mereka mendengar ada suara berteriak yang ditujukan kepada Quraisy: “Muhammad dan orang-orang yang pindah kepercayaan itu sudah berkumpul akan memerangi kamu!”
Suara itu datangnya dari seseorang yang keluar untuk urusannya sendiri. Mengetahui keadaan mereka itu sedikit dengan melalui pendengarannya yang selintas, ia lalu bermaksud hendak mengacaukan rencana itu dan mau menanamkan kegelisahan dalam hati mereka, bahwa rencana mereka malam itu diketahui. Akan tetapi pihak Khazraj dan Aus tetap pada janji mereka. Bahkan ‘Abbas b. ‘Ubada - setelah mendengar suara simata-mata itu - berkata kepada Muhammad:
“Demi Allah Yang telah mengutus tuan atas dasar kebenaran, kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami habiskan dengan pedang kami.”
Ketika itu Muhammad menjawab:
“Kami tidak diperintahkan untuk itu. Kembalilah ke kemah tuan-tuan.”
Merekapun kembali ke tempat mereka bermalam, lalu tidur. Keesokan harinya pagi-pagi baru mereka bangun.
Akan tetapi pagi itu juga Quraisy sudah mengetahui berita adanya ikrar itu. Mereka terkejut sekali. Pagi itu pemuka-pemuka Quraisy mendatangi Khazraj di tempatnya masing-masing. Mereka menyesalkan Khazraj dan mengatakan, bahwa mereka tidak ingin berperang dengan Khazraj. Tetapi kenapa mau bersekutu dengan Muhammad memerangi mereka. Ketika itu juga orang-orang musyrik dari kalangan Khazraj bersumpah-sumpah bahwa hal semacam itu tidak ada sama sekali. Sedang Muslimin malah diam saja setelah dilihatnya Quraisy lagaknya akan mempercayai keterangan orang-orang yang seagama dengan mereka itu.
Sekarang Quraisy kembali tanpa dapat mengiakan atau meniadakan berita tersebut. Tetapi mereka terus menyelidiki, kalau-kalau dapat mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Sementara itu orang-orang Yathrib sudah mengangkat perbekalan mereka dan kembali menuju negeri mereka sebelum pihak Quraisy mengetahui benar apa yang mereka lakukan itu.
Setelah kemudian Quraisy mengetahui, bahwa berita itu memang benar, mereka berangkat mencari orang-orang Yathrib itu. Tetapi sudah tak ada lagi yang akan dapat mereka jumpai selain Sa’d b. ‘Ubada, yang lalu diambil dan dibawanya ke Mekah. Ia disiksa. Tetapi kemudian Jubair b. Mut’im b. ‘Adi dan al-Harith b. Umayya datang menolongnya. Dulu orang ini pernah menolong mereka ketika mereka dalam perjalanan perdagangan ke Syam lewat Yathrib.
Kalau begitu kekuatiran Quraisy kiranya tidak berlebih-lebihan, begitu juga dalam mengejar jejak mereka yang telah ikrar kepada Muhammad akan memerangi mereka itu. Mereka telah mengenalnya selama tigabelas tahun terus-menerus, sejak permulaan kenabiannya. Mereka sudah berusaha mati-matian melancarkan perang pasif itu kepadanya, dan masing-masing sudah pula menghadapinya. Mereka mengetahui itu adalah karena keyakinannya kepada Tuhan, karena teguhnya ia berpegang pada ajaran yang benar. Ia sudah tak dapat dilunakkan dan tak dapat pula dibujuk. Ia tak pernah gentar menghadapi gangguan, menghadapi siksaan, menghadapi pembunuhan. Sesudah ia dan pengikut-pengikutnya disakiti dengan pelbagai macam gangguan, sesudah ia dikepung di celah-celah bukit, seluruh penduduk Mekah diteror dengan bermacam-macam ketakutan supaya jangan jadi pengikutnya, terbayang oleh Quraisy bahwa mereka sudah hampir mengalahkannya, kegiatannya hanya akan terbatas dalam lingkaran sempit pengikut-pengikutnya yang masih berpegang pada agama itu saja. Dia dan sahabat-sahabatnya tidak lama lagi sudah akan jemu dalam pengasingan, dan akan kembali tunduk menyerah di bawah kekuasaan mereka.
Tetapi sekarang, dengan adanya perjanjian persekutuan baru ini, pintu harapan akan menang jadi terbuka didepan Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Setidak-tidaknya harapan kebebasan menyebarkan agama, serta menyerang berhala-berhala dan penyembah-penyembahnya. Siapa tahu apa yang akan terjadi kelak terhadap masyarakat seluruh jazirah Arab itu, bila sudah mendapat bantuan Yathrib berikut Aus dan Khazrajnya, dan sesudah mendapat perlindungan dari serangan musuh, disertai adanya kebebasan melakukan upacara agama serta mengajak pihak lain turut bergabung. Kalau Quraisy tidak dapat mengikis gerakan ini di tanah tumpah darahnya sendiri maka kekuatiran mereka pada hari kemudiannya tetap selalu membayang, dan kemenangan Muhammad terhadap mereka masih tetap menggelisahkan mereka.
Oleh karena itu sungguh-sungguh mereka memikirkan apa yang harus mereka lakukan guna menggagalkan usaha Muhammad itu, serta menghancurkan gerakan barunya. Demikian juga dia sendiri tidak kurang dari Quraisy dalam memikirkan hal ini. Pintu yang telah dibukakan Tuhan di hadapannya itu ialah pintu kehormatan bagi agama Allah, pintu yang akan memberi tempat pada arti kebenaran. Perjuangan yang sekarang berkecamuk antara dia dengan pihak Quraisy, adalah suatu peristiwa yang paling hebat terjadi sejak masa kerasulannya, yakni suatu perjuangan hidup atau mati bagi kedua belah pihak. Sudah tentu, kemenangan itu ada pada pihak yang benar. Keputusannya sudah bulat. Bolehlah ia minta pertolong an Tuhan. Biarlah, segala tipu-daya yang sudah dilakukan Quraisy itu akan bersifat lebih menghina mereka sendiri melebihi yang sudah-sudah. Ia akan terus maju, tapi dengan sikap bijaksana, tenang dan hati-hati. Masalahnya adalah masalah kecekatan politik dan kecerdikan seorang pemimpin yang saksama.
Dimintanya sahabat-sahabatnya supaya menyusul kaum Anshar ke Yathrib. Hanya saja dalam meninggalkan Mekah hendaknya mereka terpencar-pencar, supaya jangan sampai menimbulkan kepanikan pihak Quraisy terhadap mereka.
Mulailah kaum Muslimin melakukan hijrah secara sendiri-sendiri atau kelompok-kelompok kecil. Akan tetapi hal itu rupanya sudah diketahui oleh pihak Quraisy. Mereka segera bertindak, berusaha mengembalikan yang masih dapat dikembalikan itu ke Mekah untuk kemudian dibujuk supaya kembali kepada kepercayaan mereka, kalau tidak akan disiksa dan dianiaya. Sampai-sampai tindakan itu ialah dengan cara memisahkan suami dari isteri; kalau si isteri dari pihak Quraisy ia tidak dibolehkan pergi ikut suami. Yang tidak menurut, isterinya yang masih dapat mereka kurung, dikurung.
Akan tetapi mereka takkan dapat berbuat lebih dari itu. Mereka kuatir akan pecah perang saudara antar-kabilah jika mereka mencoba membunuh salah seorang dari kabilah itu.
Berturut-turut kaum Muslimin hijrah ke Yathrib, sedang Muhammad tetap berada di posnya. Tak ada orang yang mengetahui, dia akan tetap tinggal di tempatnya itu atau sudah mengambil keputusan akan hijrah juga. Dahulu juga mereka tidak mengetahui, ketika sahabat-sahabatnya diijinkan hijrah ke Abisinia, sedang dia sendiri tetap di Mekah menyerukan anggota-anggota keluarganya yang lain ke dalam Islam. Bahkan Abu Bakrpun, ketika minta ijin akan turut hijrah ke Yathrib, ia hanya berkata: “Jangan tergesa-gesa; kalau-kalau Tuhan menyertakan seorang kawan.” Dan tidak lebih dari itu.
Sungguhpun begitu pihak Quraisy sendiri sudah seribu kali memperhitungkan hijrah Nabi ke Yahtrib itu. Jumlah kaum Muslimin di sana sudah begitu banyak sehingga hampir-hampir mereka itu menjadi pihak yang menentukan. Sekarang datang pula mereka yang hijrah dari Mekah menggabungkan diri, sehingga mereka jadi bertambah kuat juga adanya. Dalam pada itu, apabila Muhammad - orang yang sudah mereka kenal berpendirian teguh dengan pendapatnya yang tepat dan berpandangan jauh - sampai menyusul ke Yathrib, mereka kuatir penduduk Yathrib itu kelak akan menyerbu Mekah, atau akan menutup jalur perjalanan perdagangan mereka ke Syam atau akan membuat mereka mati kelaparan seperti yang pernah mereka lakukan dulu terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya tatkala mereka membuat piagam pemboikotan dan memaksa mereka tinggal di celah-celah gunung selama tigapuluh bulan.
Apabila Muhammad masih tinggal di Mekah dan berusaha akan meninggalkan tempat itu, maka mereka masih merasa terancam oleh adanya tindakan pihak Yathrib dalam membela Nabi dan Rasul. Jadi tak ada jalan keluar bagi mereka selain dengan membunuhya. Dengan begitu mereka lepas dari malapetaka yang terus-menerus itu. Tetapi kalau juga mereka membunuhnya, tentu Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib akan menuntut balas. Maka pecahlah perang saudara di Mekah, dan suatu bencana yang sangat mereka takuti juga akan datang dari pihak Yathrib.
Sekarang mereka mengadakan pertemuan di Dar’n-Nadwa membahas semua persoalan itu serta cara-cara pencegahannya. Salah seorang dari mereka mengusulkan:
“Masukkan dia dalam kurungan besi dan tutup pintunya rapat-rapat kemudian awasi biar dia mengalami nasib seperti penyair-penyair semacamnya sebelum dia; seperti Zuhair dan Nabigha.”
Tetapi pendapat ini tidak mendapat suara.
“Kita keluarkan dia dari lingkungan kita, kita buang dari negeri kita. Sesudah itu tidak perlu kita pedulikan lagi urusannya,” demikian terdengar suara yang lain. Tetapi mereka kuatir ia akan terus menyusul ke Medinah dan apa yang mereka takuti justru akan menimpa mereka.
Akhirnya mereka memutuskan, dari setiap kabilah akan diambil seorang pemuda yang tegap, dan setiap pemuda itu akan dipersenjatai dengan sebilah pedang yang tajam, yang secara bersama-sama sekaligus mereka akan menghantamnya, dan darahnya dapat dipencarkan antar-kabilah. Dengan demikian Banu ‘Abd Manaf takkan dapat memerangi mereka semua. Mereka akan menebus darah itu kemudian dengan harta. Maka terlepaslah Quraisy dan orang yang membuat porak-poranda dan mencerai-beraikan kabilah-kabilah mereka itu.
Mereka menyetujui pendapat ini dan merasa cukup puas. Mereka mengadakan seleksi di kalangan pemuda-pemuda mereka. Mereka menganggap bahwa soal Muhammad akan sudah selesai. Beberapa hari lagi ia akan terkubur habis ke dalam tanah, bersama ajarannya, dan mereka yang sudah hijrah ke Yathrib akan kembali ke tengah-tengah masyarakat, akan kembali kepada kepercayaan dan kepada dewa-dewa mereka. Quraisy dan negeri Arab yang sudah dipecah-belah, kedudukannya yang sudah mulai lemah, dengan demikian akan kembali bersatu.
Sesudah itu Muhammad merasa, bahwa tiada seorangpun dari Quraisy itu nampaknya yang dapat diharapkan diajak kepada kebenaran. Kabilah-kabilah lain di luar Quraisy yang berada di sekitar Mekah dan yang datang berziarah ke tempat itu dari segenap penjuru daerah Arab, melihat keadaannya yang dikucilkan itu dan melihat sikap permusuhan Quraisy kepadanya demikian rupa, membuat setiap orang yang mendukungnya jadi memusuhi mereka. Sekarang sikap Quraisy tambah keras pula menentangnya.
Meskipun Muhammad sudah merasa berbesar hati karena adanya Hamzah dan ‘Umar, dan meskipun ia sudah yakin, bahwa Quraisy tidak akan terlalu membahayakan melebihi yang sudah-sudah mengingat adanya pertahanan pihak keluarganya dari Banu Hasyim dan Banu Abd’l-Muttalib, tapi ia melihat -sampai pada waktu itu- bahwa risalah Tuhan itu akan terhenti hanya pada suatu lingkaran pengikutnya saja. Mereka yang terdiri dari orang-orang yang masih lemah dan sedikit sekali jumlahnya, hampir-hampir saja punah atau tergoda meninggalkan agamanya kalau tidak segera datang kemenangan dan pertolongan Tuhan. Hal ini berjalan cukup lama. Muhammad makin dikucilkan di tengah-tengah keluarganya, kedengkian Quraisy juga bertambah besar.
Adakah pengasingan yang demikian ini telah melemahkan jiwanya dan dapat mematahkan semangatnya? Sekali-kali tidak! Bahkan kepercayaannya akan kebenaran yang datang dari Tuhan itu lebih luhur daripada sekedar pertimbangan-pertimbangan yang akan dapat melemahkan jiwa biasa. Bagi orang yang berjiwa luar biasa hal ini justru akan lebih memperkuat kepercayaannya.
Dalam keadaan terasing itu - dengan sahabat-sahabat di sekelilingnya - Muhammad yakin sekali Tuhan akan memberikan pertolongan kepadanya dan agamanyapun akan mengatasi semua agama. Badai kedengkian tidak sampai menggoyangkan hatinya. Bahkan tetap ia tinggal di Mekah selama beberapa tahun. Tidak peduli ia harta Khadijah dan hartanya sendiri akan habis. Keadaannya yang sangat miskin tidak sampai melemahkan hatinya. Jiwanya tak pernah gandrung kepada apapun selain dari pertolongan Tuhan yang sudah pasti akan diberikan kepadanya.
Apabila musim ziarah sudah tiba, orang-orang dari segenap jazirah Arab sudah berkumpul lagi di Mekah, iapun mulai menemui kabilah-kabilah itu. Diajaknya mereka memahami kebenaran agama yang dibawanya itu. Tidak peduli ia apakah kabilah-kabilah tidak mau menerima ajakannya, atau akan mengusirnya secara kasar. Beberapa orang pandir dari Quraisy berusaha menghasut ketika diketahui ia terus menyampaikan amanat Tuhan itu kepada orang ramai. Mereka memperlakukannya dengan segala kejahatan. Tetapi semua itu tidak mengubah ketenangan jiwanya dan ia yakin sekali akan hari esok. Allah Maha Agung telah mengutusnya demi kebenaran. Sudah tentu Dialah Pembela dan Pendukung kebenaran itu. Tuhan juga Yang telah mewahyukan kepadanya, supaya dalam berdebat hendaknya dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya.
“Sehingga permusuhan antara engkau dengan dia itu sudah seperti persahabatan yang erat sekali. (Qur’an, 41: 34) Dan supaya bicara dengan mereka dengan lemah-lembut, kalau-kalau mereka mau sadar dan merasa gentar. Jadi, tabahkanlah hati menghadapi siksaan mereka. Tuhan bersama mereka yang tabah hati.
Tidak selang berapa tahun kemudian Muhammad menunggu tiba-tiba tampak tanda permulaan kemenangan itu datang dari arah Yathrib. Bagi Muhammad Yathrib mempunyai arti hubungan bukan hubungan dagang, tetapi suatu hubungan yang dekat sekali. Di tempat itu ada sebuah kuburan, dan sebelum wafat, sekali setahun ibunya berziarah ke tempat itu. Sedang famili-familinya, dari pihak Banu Najjar, ialah keluarga kakeknya Abd’l-Muttalib dari pihak ibu. Kuburan itu ialah makam ayahnya, Abdullah b. Abd’l-Muttalib. Ke makam inilah Aminah sebagai isteri yang setia berziarah. Dulu Abd’l-Muttalib juga sebagai ayah yang kehilangan anak yang sedang muda belia dan tegap, pernah berziarah. Ketika berusia enam tahun, Muhammad juga pernah ke Yathrib menemani ibunya. Jadi bersama ibunya ia juga ziarah ke makam ayahnya itu. Kemudian mereka berdua kembali pulang. Aminah jatuh sakit di tengah perjalanan, sampai wafat. Lalu dikuburkan di Abwa’ - pertengahan jalan antara Yathrib dengan Mekah.
Jadi tidak heranlah apabila tanda-tanda kemenangan bagi Muhammad itu dimulai dari jurusan sebuah kota yang mempunyai hubungan sedemikian rupa. Ke arah ini jugalah dulu ia menghadap, tatkala dalam sembahyang itu al-Masjid’l-Aqsha di Bait’l-Maqdis dijadikan kiblatnya, tempat sesepuhnya Musa dan Isa. Tidak heran apabila nasib baik itu akan jatuh di Yathrib. Di tempat ini Muhammad akan beroleh kemenangan, di tempat ini Islam akan beroleh kemenangan, di tempat ini pula Islam akan memperoleh sukses dan berkembang.
Nasib baik telah jatuh di Yathrib, suatu hal yang tidak terjadi pada kota yang lain. Waktu itu dua kabilah Aus dan Khazraj adalah penyembah berhala di Yathrib. Mereka saling bertetangga dengan orang-orang Yahudi. Sering pula timbul kebencian antara mereka itu dan dari kebencian ini sampai timbul pula peperangan.
Sejarah memperlihatkan bahwa orang-orang Masehi di Syam, yang berada di bawah pengaruh Rumawi Timur (Bizantium) sangat membenci orang-orang Yahudi, sebab mereka percaya bahwa mereka inilah yang telah menyiksa dan menyalib Isa al-Masih. Mereka menyerbu Yathrib guna memerangi orang-orang Yahudi. Akan tetapi karena tidak berhasil mereka lalu membujuk dan meminta bantuan Aus dan Khazraj. Tidak sedikit jumlah orang-orang Yahudi itu kemudian yang mereka bunuh. Dengan demikian kedudukan orang-orang Yahudi sebagai yang dipertuan dijatuhkan, dan orang-orang Arab kabilah Aus dan Khazraj yang tadinya terbatas hanya sebagai kuli telah dinaikkan. Sesudah itu orang-orang Arab itu berusaha lagi akan menghantam orang-orang Yahudi supaya kekuasaan mereka atas kota yang makmur dan subur dengan pertanian dan air itu lebih besar lagi. Siasat mereka ini berhasil baik sekali.
Tetapi pihak Yahudi sendiri kemudian menyadari akan bencana yang menimpa diri mereka itu. Permusuhan dan kebencian pihak Yahudi Yathrib terhadap Aus dan Khazraj makin mendalam, Aus dan Khazrajpun demikian juga terhadap Yahudi.
Sekarang pengikut-pengikut Musa ini melihat, bahwa pertempuran yang dilawan dengan pertempuran berarti akan menghabiskan mereka sama sekali, apalagi kalau Aus dan Khazraj sampai bersahabat baik1 dengan orang-orang Arab, yang seagama dengan Ahli Kitab. Maka dalam siasat mereka, mereka menempuh suatu cara bukan mencari kemenangan dalam pertempuran, melainkan dengan menggunakan siasat memecah-belah. Mereka melakukan intrik di kalangan Aus dengan Khazraj, menyebarkan provokasi permusuhan dan kebencian di kalangan mereka, supaya masing-masing pihak selalu bersiap-siap akan saling bertempur.
Dengan demikian selamatlah propaganda mereka itu. Mereka sekarang dapat memperbesar perdagangan dan kekayaan mereka. Kekuasaan mereka yang sudah hilang dapat mereka rebut kembali, termasuk rumah-rumah dan harta tidak bergerak lainnya.
Di samping konflik karena berebut kedaulatan dan kekuasaan dalam hidup bertetangga Yahudi-Arab Yathrib itu, masih ada pengaruh lain yang lebih dalam pada pihak Aus dan Khazraj melebihi penduduk jazirah Arab yang manapun juga - yaitu dalam arti pengaruh rohani.
Orang-orang Yahudi sebagai Ahli Kitab dan penganjur monotheisma sangat mencela tetangga-tetangga mereka yang terdiri dari kaum pagan dengan penyembah berhala sebagai pendekatan kepada Tuhan.
Mereka diperingatkan bahwa kelak akan ada seorang nabi yang akan menghabiskan mereka dan mendukung Yahudi. Tetapi propaganda ini tidak sampai membuat orang-orang Arab itu mau menganut agama Yahudi. Soalnya karena dua sebab: pertama karena selalu ada perang antara kaum Nasrani dan kaum Yahudi, yang lalu membuat Yahudi Yathrib hanya hidup cari selamat, yang berarti akan menjamin lancarnya perdagangan mereka. Kedua, orang-orang Yahudi beranggapan, bahwa mereka adalah bangsa pilihan Tuhan, dan mereka tidak mau ada bangsa lain memegang kedudukan ini. Disamping itu mereka memang tidak pernah mengajak orang lain menganut agamanya dan merekapun tidak pula keluar dari lingkungan Keluarga Israil. Atas dasar ke dua sebab tersebut, hubungan tetangga dan hubungan dagang antara Yahudi dengan Arab -Aus dan Khazraj - membuat lebih banyak mengetahui cerita-cerita kerohanian dan masalah-masalah agama lainnya di banding dengan golongan Arab yang lain. Ini menunjukkan bahwa tak ada suatu golongan dari kalangan Arab yang dapat menerima ajakan Muhammad dalam arti spiritual seperti yang dilakukan oleh penduduk Yathrib itu.
Suwaid bin’sh-Shamit adalah seorang bangsawan terkemuka di Yathrib. Karena ketabahannya, pengetahuannya, kebangsawanan dan keturunannya, masyarakatnya sendiri menamakannya al-Ramil (yang sempurna). Pada waktu membicarakan ini Suwaid sedang berada di Mekah berziarah. Muhammad lalu menemuinya dan diajaknya ia mengenal Tuhan dan menganut Islam.
“Barangkali yang ada padamu itu sama dengan yang ada padaku,” kata Suwaid.
“Apa yang ada padamu?” tanya Muhammad.
“Kata-kata mutiara oleh Luqman.”
Lalu Muhammad minta supaya hal itu dikemukakan.
“Memang itu kata-kata yang baik,” kata Muhammad setelah oleh Suwaid dikemukakan. “Tapi yang ada padaku lebih utama tentunya, yaitu Qur’an sebagai bimbingan dan cahaya.”
Lalu dibacakannya ayat-ayat Qur’an itu kepadanya disertai ajakan agar ia sudi menerima Islam. Gembira sekali Suwaid mendengar ini.
“Memang baik sekali ini,” katanya. Lalu ia pergi hendak memikirkan hal tersebut. Ada sementara orang yang berkata ketika ia dibunuh oleh Khazraj, bahwa ia mati sebagai Muslim.
Peristiwa Suwaid b. Shamit ini bukan contoh satu-satunya yang menunjukkan adanya pengaruh Yahudi dan Arab di Yathrib yang bertetangga itu, dari segi rohani.
Keadaan Aus dan Khazraj yang begitu bermusuhan sebagai akibat provokasi pihak Yahudi seperti yang sudah kita ketahui, satu sama lain mencari sekutu di kalangan kabilah-kabilah Arab untuk memerangi lawannya. Dalam hal ini kedatangan Abu’l Haisar Ans b. Rafi’ ke Mekah disertai pemuda-pemuda dari Banu Abd’l-Asyhal - termasuk Iyas b. Mu’adh - adalah dalam rangka mencari persekutuan dengan pihak Quraisy dan golongannya sendiri dari pihak Khazraj. Muhammad mengetahui hal ini. Ditemuinya mereka itu, dan diperkenalkannya Islam kepada mereka. Lalu dibacanya ayat-ayat Qur’an kepada mereka.
Pada waktu itu, Iyas b.Mu’adh sebagai pemuda remaja mengatakan: “Kawan-kawan, ini adalah lebih baik daripada apa yang ada pada kita semua.”
Mereka kemudian kembali pulang ke Yathrib. Tak ada yang masuk Islam diantara mereka itu, selain Iyas. Mereka semua sedang sibuk mencari sekutu sebagai suatu persiapan karena adanya insiden Bu’ath yang telah melibatkan Aus dan Khazraj ke dalam api perang saudara itu, tidak lama sesudah Abu’l Haisar dan rombongannya kembali dari Mekah. Akan tetapi kata-kata Muhammad ‘alaihissalam telah meninggalkan bekas yang dalam ke dalam jiwa mereka setelah terjadinya insiden itu, yang lalu membuat Aus dan Khazraj menantikan Muhammad sebagai Nabi, sebagai Rasul, sebagai wakil dan pemuka mereka.
Memang, terjadinya insiden Bu’ath itu tidak lama sesudah Abu’l-Haisar kembali ke Yathrib. Pada waktu itulah pertempuran sengit antara Aus dan Khazraj terjadi, yang membawa akibat timbulnya permusuhan yang berakar dalam sekali. Setiap golongan lalu bertanya-tanya kalau-kalau mereka itu yang menang: akan tetapkah mereka dengan kawan-kawan mereka itu, ataukah akan dikikis habis. Abu Usaid Hudzair sebagai pemuka Aus, sangat dendam sekali kepada Khazraj.
Tatkala pertempuran sudah dimulai, pihak Aus mengalami suatu kekacauan. Mereka lari tunggang-langgang ke arah Najd, yang oleh pihak Khazraj lalu diejek. Hudzair yang mendengarkan ejekan itu menetakkan ujung lembingnya ke pahanya; lalu turun dengan mengatakan:
“Sungguh luarbiasa! Tidak akan tinggal diam sebelum aku mati terbunuh. Wahai masyarakat Aus, kalau kamu mau menyerahkan aku, lakukanlah!”
Pihak Aus sekarang mau bertempur lagi. Pengalaman pahit yang telah menimpa mereka menyebabkan mereka kini berjuang mati-matian. Khazraj dapat mereka hancurkan. Rumah-rumah dan kebun kurma Khazraj oleh Aus dibakar. Kemudian Sa’d b. Mu’adh al-Asyhadi bertindak melindungi Khazraj. Sementara itu Hudzair bermaksud akan mendatangi rumah demi rumah, membunuhi satu-satu mereka sampai tak ada yang hidup lagi, kalau tidak segera Abu Qais ibn’l-Aslat kemudian datang mencegahnya guna menjaga solidaritas kepercayaan mereka. “Bertetangga dengan mereka lebih baik daripada bertetangga dengan rubah.”
Sejak itu orang-orang Yahudi dapat mengembalikan kedudukannya di Yathrib. Baik yang menang maupun yang kalah dari kalangan Aus dan Khazraj sama-sama berpendapat tentang akibat buruk yang telah mereka lakukan itu. Hal ini yang sekarang terpikir oleh mereka, dan mereka sudah mempertimbangkan pula akan mengangkat seorang raja atas mereka itu. Untuk itu mereka lalu memilih Abdullah b. Muhammad dari pihak Khazraj yang sudah kalah, mengingat kedudukan dan pandangannya yang baik. Akan tetapi karena perkembangan situasi yang begitu pesat, keinginan mereka itu tidak sampai terlaksana. Soalnya ialah karena ada beberapa orang dari Khazraj pergi ke Mekah pada musim ziarah.
Di tempat ini Muhammad menemui mereka dan menanyakan keadaan mereka, yang kemudian diketahuinya, bahwa mereka adalah kawan-kawan orang-orang Yahudi. Ketika itu orang-orang Yahudi di Yathrib mengatakan apabila mereka saling berselisih.
“Sekarang akan ada seorang nabi utusan Tuhan yang sudah dekat waktunya. Kami akan jadi pengikutnya dan kami dengan dia akan memerangi kamu seperti dalam perang ‘Ad dan Iram.”
Setelah Nabi bicara dengan mereka dan diajaknya mereka bertauhid kepada Allah, satu sama lain mereka saling berpandang-pandangan.
“Sungguh inilah Nabi yang pernah dijanjikan orang-orang Yahudi kepada kita,” kata mereka. “Jangan sampai mereka mendahului kita.”
Seruan Muhammad mereka sambut dengan baik dan menyatakan diri mereka masuk Islam. Lalu kata mereka:
“Kami telah meninggalkan golongan kami - yakni Aus dan Khazraj - dan tidak ada lagi golongan yang saling bermusuhan dan saling mengancam. Mudah-mudahan Tuhan mempersatukan mereka dengan tuan. Bila mereka itu sudah dapat dipertemukan dengan tuan, maka tak adalah orang yang lebih mulia dari tuan.”
Orang-orang itu lalu kembali ke Medinah. Dua orang diantara mereka itu dari Banu’n-Najjar, keluarga Abd’l-Muttalib dari pihak ibu - kakek Muhammad yang telah mengasuhnya sejak kecil. Kepada masyarakatnya itu mereka menyatakan sudah menganut Islam. Ternyata merekapun menyambut pula dengan senang hati agama ini, yang berarti akan membuat mereka menjadi golongan monotheis seperti orang-orang Yahudi. Bahkan membuat lebih baik dari mereka. Dengan demikian tiada suatu keluargapun, baik Aus atau Khazraj, yang tidak menyebut nama Muhammad ‘alaihissalam.
Tiba giliran tahun berikutnya, bulan-bulan sucipun datang lagi bersama datangnya musim ziarah ke Mekah, dan ke tempat itu datang pula duabelas orang penduduk Yathrib. Mereka ini bertemu dengan Nabi di ‘Aqaba. Di tempat inilah mereka menyatakan ikrar atau berjanji kepada Nabi (yang kemudian dikenal dengan nama) Ikrar ‘Aqaba pertama. Mereka berikrar kepadanya untuk tidak menyekutukan Tuhan, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah, baik di depannya atau di belakang. Jangan menolak berbuat kebaikan. Barangsiapa mematuhi semua itu ia mendapat pahala surga, dan kalau ada yang mengecoh, maka soalnya kembali kepada Tuhan. Tuhan berkuasa menyiksa, juga berkuasa mengampuni segala dosa.
Dalam hal ini Muhammad menugaskan kepada Mush’ab bin ‘Umair supaya membacakan Qur’an kepada mereka, mengajarkan Islam serta seluk-beluk hukum agama.
Setelah adanya ikrar ini Islam makin tersebar di Yathrib. Mush’ab bertugas memberikan pelajaran agama di kalangan Muslimin Aus dan Khazraj. Gembira sekali ia melihat kaum Anshar itu makin teguh kepercayaannya kepada Allah dan kepada kebenaran. Menjelang bulan-bulan suci akan tiba, ia datang lagi ke Mekah dan kepada Muhammad diceritakannya keadaan Muslimin di Yathrib itu; tentang ketahanan dan kekuatan mereka, dan bahwa pada musim haji tahun ini mereka akan datang lagi ke Mekah dalam jumlah yang lebih besar dengan iman kepada Tuhan yang sudah lebih kuat.
Berita-berita yang disampaikan oleh Mush’ab ini membuat Muhammad berpikir lebih lama lagi. Pengikut-pengikutnya di Yathrib kini makin sehari makin berkuasa dan bertambah kuat juga. Dari orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik mereka tidak mendapat gangguan seperti yang dialami oleh kawan-kawannya di Mekah karena gangguan Quraisy. Di samping itu Yathrib lebih makmur daripada Mekah - ada pertanian, ada kebun kurma, ada anggur. Bukankah lebih baik sekali apabila Muslimin Mekah itu hijrah saja ke tempat saudara-saudara mereka di sana, yang akan terasa lebih aman? Mereka akan bebas dari Quraisy yang selalu memfitnah agama mereka.
Selama Muhammad berpikir-pikir itu teringat olehnya akan orang-orang dari Yathrib, mereka yang mula-mula masuk Islam itu, dan yang menceritakan adanya permusuhan antara golongan Aus dan Khazraj. Apabila dengan perantaraannya mereka itu sudah dapat dipersatukan Tuhan, maka tak ada orang yang lebih mulia dari Muhammad. Sekarang mereka sudah dipertemukan Allah bersama dia, bukankah lebih baik apabila dia juga hijrah? Ia tidak ingin membalas kejahatan Quraisy itu. Iapun sadar bahwa ia lebih lemah dari mereka. Kalaupun Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib melindunginya dari penganiayaan, mereka tidak akan membelanya dalam melakukan penganiayaan. Dan mereka yang sudah menjadi pengikutnya juga takkan dapat melindungi diri dari penganiayaan Quraisy dan segala macam kejahatannya.
Apabila iman itu merupakan landasan yang paling kuat, yang akan membuat segalanya di hadapan kita menjadi kecil, dan untuk itu dengan segala senang hati orang mengorbankan harta bendanya, kesenangan, kebebasan dan seluruh hidupnya, apabila penganiayaan itu dengan sendirinya akan membuat iman seseorang bertambah dalam, maka penganiayaan dan pengorbanan yang terus-menerus itu bagi seorang mukmin akan membuatnya ia merenungkan lebih dalam lagi, akan memberinya ruangan yang lebih luas serta pengertian tentang kebenaran yang lebih dalam dan kuat. Dahulu Muhammad pernah menganjurkan kepada pengikut-pengikutnya supaya mereka mengungsi ke Abisinia daerah Kristen, karena di situ ada kebenaran, ada seorang raja yang adil. Maka akan lebih baiklah bila sekarang kaum Muslimin itu mengungsi ke Yathrib, dapat saling memperkuat diri dengan sahabat-sahabat kaum Muslimin di sana, dapat saling tolong-menolong dalam menahan bahaya yang mungkin menimpa mereka. Dengan begitu mereka akan mendapat kebebasan dalam merenungkan agama serta berterang-terang pula guna mengangkat martabat mereka, sebagai jaminan suksesnya dakwah agama ini, suatu dakwah yang tidak mengenal paksaan, melainkan dasarnya adalah kasih-sayang, dapat meyakinkan dan bertukar pikiran dengan cara yang baik.
Tahun ini - 622 M - jemaah haji dari Yathrib praktis jumlahnya banyak sekali, terdiri dari tujuhpuluh lima orang, tujuhpuluh tiga pria dan dua wanita. Mengetahui kedatangan mereka ini, terpikir oleh Muhammad akan mengadakan suatu ikrar lagi, tidak terbatas hanya pada seruan kepada Islam seperti selama ini, yang selama tigabelas tahun ini terus-menerus dilakukannya, dengan lemah-lembut, dengan segala kesabaran menang gung pelbagai macam pengorbanan dan kesakitan - melainkan kini lebih jauh lagi dari itu. Ikrar itu hendaknya menjadi suatu pakta persekutuan, yang dengan demikian kaum Muslimin dapat mempertahankan diri: pukulan dibalas dengan pukulan, serangan dengan serangan. Muhammad lalu mengadakan pertemuan rahasia dengan pemimpin-pemimpin mereka.
Setelah ada kesediaan mereka, dijanjikannya pertemuan itu akan diadakan di ‘Aqaba pada tengah malam pada hari-hari Tasyriq.2 Peristiwa ini oleh Muslimin Yathrib tetap dirahasiakan dari kaum musyrik yang datang bersama-sama mereka. Menunggu sampai lewat sepertiga malam dari janji mereka dengan Nabi, mereka keluar meninggalkan kemah, pergi mengendap-endap seperti burung ayam-ayam, sembunyi-sembunyi jangan sampai rahasia itu terbongkar.
Sesampai mereka di gunung ‘Aqaba, mereka semua memanjati lereng-lereng gunung tersebut, demikian juga kedua wanita itu. Mereka tinggal di tempat ini menunggu kedatangan Rasul.
Kemudian Muhammad pun datang, bersama pamannya ‘Abbas b. Abd’l-Muttalib - yang pada waktu itu masih menganut kepercayaan golongannya sendiri. Akan tetapi sejak sebelum itu ia sudah mengetahui dari kemenakannya ini akan adanya suatu pakta persekutuan; dan adakalanya hal ini dapat mengakibatkan perang. Disebutkan juga, bahwa dia sudah mengadakan perjanjian dengan Keluarga Muttalib dan Keluarga Hasyim untuk melindungi Muhammad. Maka dimintanya ketegasan kemanakannya itu dan ketegasan golongannya sendiri, supaya jangan kelak timbul bencana yang akan menimpa Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib, dan dengan demikian berarti orang-orang Yathrib itu akan kehilangan pembela. Atas dasar itulah, maka ‘Abbas yang pertama kali bicara.
“Saudara-saudara dari Khazraj!” kata ‘Abbas. “Posisi Muhammad di tengah-tengah kami sudah sama-sama tuan-tuan ketahui. Kami dan mereka yang sepaham dengan kami telah melindunginya dari gangguan masyarakat kami sendiri. Dia adalah orang yang terhormat di kalangan masyarakatnya dan mempunyai kekuatan di negerinya sendiri. Tetapi dia ingin bergabung dengan tuan-tuan juga. Jadi kalau memang tuan-tuan merasa dapat menepati janji seperti yang tuan-tuan berikan kepadanya itu dan dapat melindunginya dari mereka yang menentangnya, maka silakanlah tuan-tuan laksanakan. Akan tetapi, kalau tuan-tuan akan menyerahkan dia dan membiarkannya terlantar sesudah berada di tempat tuan-tuan, maka dari sekarang lebih baik tinggalkan sajalah.”
Setelah mendengar keterangan ‘Abbas pihak Yathrib menjawab: “Sudah kami dengar apa yang tuan katakan. Sekarang silakan Rasulullah bicara. Kemukakanlah apa yang tuan senangi dan disenangi Tuhan.”
Setelah membacakan ayat-ayat Qur’an dan memberi semangat Islam, Muhammad menjawab:
“Saya minta ikrar tuan-tuan akan membela saya seperti membela isteri-isteri dan anak-anak tuan-tuan sendiri.”
Ketika itu Al-Bara’ b. Ma’rur hadir. Dia seorang pemimpin masyarakat dan yang tertua di antara mereka. Sejak ikrar ‘Aqaba pertama ia sudah Islam, dan menjalankan semua kewajiban agama, kecuali dalam sembahyang ia berkiblat ke Ka’bah, sedang Muhammad dan seluruh kaum Muslimin waktu itu masih berkiblat ke al-Masjid’l-Aqsha. Oleh karena ia berselisih pendapat dengan masyarakatnya sendiri, begitu mereka sampai di Mekah segera mereka minta pertimbangan Nabi. Muhammad melarang Al-Bara’ berkiblat ke Ka’bah.
Setelah tadi Muhammad minta kepada Muslimin Yathrib supaya membelanya seperti mereka membela isteri dan anak-anak mereka sendiri, Al-Bara’ segera mengulurkan tangan menyatakan ikrarnya seraya berkata: “Rasulullah, kami sudah berikrar. Kami adalah orang peperangan dan ahli bertempur yang sudah kami warisi dari leluhur kami.”
Tetapi sebelum Al-Bara’ selesai bicara, Abu’l-Haitham ibn’t-Tayyihan datang menyela:
“Rasulullah, kami dengan orang-orang itu - yakni orang-orang Yahudi - terikat oleh perjanjian, yang sudah akan kami putuskan. Tetapi apa jadinya kalau kami lakukan ini lalu kelak Tuhan memberikan kemenangan kepada tuan, tuan akan kembali kepada masyarakat tuan dan meninggalkan kami?”
Muhammad tersenyum, dan katanya: “Tidak, saya sehidup semati dengan tuan-tuan. Tuan-tuan adalah saya dan saya adalah tuan-tuan. Saya akan memerangi siapa saja yang tuan-tuan perangi, dan saya akan berdamai dengan siapa saja yang tuan-tuan ajak berdamai.”
Tatkala mereka siap akan mengadakan ikrar itu, ‘Abbas b. ‘Ubada datang menyela dengan mengatakan: “Saudara-saudara dari Khazraj. Untuk apakah kalian memberikan ikrar kepada orang ini? Kamu menyatakan ikrar dengan dia tidak melakukan perang terhadap yang hitam dan yang merah3 melawan orang-orang itu.4 Kalau tuan-tuan merasa, bahwa jika harta benda tuan-tuan habis binasa dan pemuka-pemuka tuan-tuan mati terbunuh, tuan-tuan akan menyerahkan dia (kepada musuh), maka (lebih baik) dari sekarang tinggalkan saja dia. Kalaupun itu juga yang tuan-tuan lakukan, ini adalah suatu perbuatan hina dunia akhirat. Sebaliknya, bila tuan-tuan memang dapat menepati janji seperti yang tuan-tuan berikan kepadanya itu, sekalipun harta-benda tuan-tuan akan habis dan bangsawan-bangsawan akan mati terbunuh, maka silakan saja tuan-tuan terima dia. Itulah suatu perbuatan yang baik, dunia akhirat.”
Orang ramai itu menjawab:
“Akan kami terima, sekalipun harta-benda kami habis, bangsawan-bangsawan kami terbunuh. Tetapi, Rasulullah, kalau dapat kami tepati semua ini, apa yang akan kami peroleh?”
“Surga,” jawab Muhammad dengan tenang dan pasti.
Mereka lalu mengulurkan tangan dan dia juga membentangkan tangannya. Ketika itu mereka menyatakan ikrar kepadanya.
Selesai ikrar itu, Nabi berkata kepada mereka:
“Pilihkan dua belas orang pemimpin dari kalangan tuan-tuan yang akan menjadi penanggung-jawab masyarakatnya.”
Mereka lalu memilih sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus. Kemudian kepada pemimpin-pemimpin itu Nabi berkata:
“Tuan-tuan adalah penanggung-jawab masyarakat tuan-tuan seperti pertanggung-jawaban pengikut-pengikut Isa bin Mariam. Terhadap masyarakat saya, sayalah yang bertanggungjawab.”
Dalam ikrar kedua ini mereka berkata:
“Kami berikrar mendengar dan setia di waktu suka dan duka, di waktu bahagia dan sengsara, kami hanya akan berkata yang benar di mana saja kami berada, dan kami tidak takut kritik siapapun atas jalan Allah ini.”
Peristiwa ini selesai pada tengah malam di celah gunung ‘Aqaba, jauh dari masyarakat ramai, atas dasar kepercayaan, bahwa hanya Allah Yang mengetahui keadaan mereka. Akan tetapi, begitu peristiwa itu selesai, tiba-tiba mereka mendengar ada suara berteriak yang ditujukan kepada Quraisy: “Muhammad dan orang-orang yang pindah kepercayaan itu sudah berkumpul akan memerangi kamu!”
Suara itu datangnya dari seseorang yang keluar untuk urusannya sendiri. Mengetahui keadaan mereka itu sedikit dengan melalui pendengarannya yang selintas, ia lalu bermaksud hendak mengacaukan rencana itu dan mau menanamkan kegelisahan dalam hati mereka, bahwa rencana mereka malam itu diketahui. Akan tetapi pihak Khazraj dan Aus tetap pada janji mereka. Bahkan ‘Abbas b. ‘Ubada - setelah mendengar suara simata-mata itu - berkata kepada Muhammad:
“Demi Allah Yang telah mengutus tuan atas dasar kebenaran, kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami habiskan dengan pedang kami.”
Ketika itu Muhammad menjawab:
“Kami tidak diperintahkan untuk itu. Kembalilah ke kemah tuan-tuan.”
Merekapun kembali ke tempat mereka bermalam, lalu tidur. Keesokan harinya pagi-pagi baru mereka bangun.
Akan tetapi pagi itu juga Quraisy sudah mengetahui berita adanya ikrar itu. Mereka terkejut sekali. Pagi itu pemuka-pemuka Quraisy mendatangi Khazraj di tempatnya masing-masing. Mereka menyesalkan Khazraj dan mengatakan, bahwa mereka tidak ingin berperang dengan Khazraj. Tetapi kenapa mau bersekutu dengan Muhammad memerangi mereka. Ketika itu juga orang-orang musyrik dari kalangan Khazraj bersumpah-sumpah bahwa hal semacam itu tidak ada sama sekali. Sedang Muslimin malah diam saja setelah dilihatnya Quraisy lagaknya akan mempercayai keterangan orang-orang yang seagama dengan mereka itu.
Sekarang Quraisy kembali tanpa dapat mengiakan atau meniadakan berita tersebut. Tetapi mereka terus menyelidiki, kalau-kalau dapat mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Sementara itu orang-orang Yathrib sudah mengangkat perbekalan mereka dan kembali menuju negeri mereka sebelum pihak Quraisy mengetahui benar apa yang mereka lakukan itu.
Setelah kemudian Quraisy mengetahui, bahwa berita itu memang benar, mereka berangkat mencari orang-orang Yathrib itu. Tetapi sudah tak ada lagi yang akan dapat mereka jumpai selain Sa’d b. ‘Ubada, yang lalu diambil dan dibawanya ke Mekah. Ia disiksa. Tetapi kemudian Jubair b. Mut’im b. ‘Adi dan al-Harith b. Umayya datang menolongnya. Dulu orang ini pernah menolong mereka ketika mereka dalam perjalanan perdagangan ke Syam lewat Yathrib.
Kalau begitu kekuatiran Quraisy kiranya tidak berlebih-lebihan, begitu juga dalam mengejar jejak mereka yang telah ikrar kepada Muhammad akan memerangi mereka itu. Mereka telah mengenalnya selama tigabelas tahun terus-menerus, sejak permulaan kenabiannya. Mereka sudah berusaha mati-matian melancarkan perang pasif itu kepadanya, dan masing-masing sudah pula menghadapinya. Mereka mengetahui itu adalah karena keyakinannya kepada Tuhan, karena teguhnya ia berpegang pada ajaran yang benar. Ia sudah tak dapat dilunakkan dan tak dapat pula dibujuk. Ia tak pernah gentar menghadapi gangguan, menghadapi siksaan, menghadapi pembunuhan. Sesudah ia dan pengikut-pengikutnya disakiti dengan pelbagai macam gangguan, sesudah ia dikepung di celah-celah bukit, seluruh penduduk Mekah diteror dengan bermacam-macam ketakutan supaya jangan jadi pengikutnya, terbayang oleh Quraisy bahwa mereka sudah hampir mengalahkannya, kegiatannya hanya akan terbatas dalam lingkaran sempit pengikut-pengikutnya yang masih berpegang pada agama itu saja. Dia dan sahabat-sahabatnya tidak lama lagi sudah akan jemu dalam pengasingan, dan akan kembali tunduk menyerah di bawah kekuasaan mereka.
Tetapi sekarang, dengan adanya perjanjian persekutuan baru ini, pintu harapan akan menang jadi terbuka didepan Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Setidak-tidaknya harapan kebebasan menyebarkan agama, serta menyerang berhala-berhala dan penyembah-penyembahnya. Siapa tahu apa yang akan terjadi kelak terhadap masyarakat seluruh jazirah Arab itu, bila sudah mendapat bantuan Yathrib berikut Aus dan Khazrajnya, dan sesudah mendapat perlindungan dari serangan musuh, disertai adanya kebebasan melakukan upacara agama serta mengajak pihak lain turut bergabung. Kalau Quraisy tidak dapat mengikis gerakan ini di tanah tumpah darahnya sendiri maka kekuatiran mereka pada hari kemudiannya tetap selalu membayang, dan kemenangan Muhammad terhadap mereka masih tetap menggelisahkan mereka.
Oleh karena itu sungguh-sungguh mereka memikirkan apa yang harus mereka lakukan guna menggagalkan usaha Muhammad itu, serta menghancurkan gerakan barunya. Demikian juga dia sendiri tidak kurang dari Quraisy dalam memikirkan hal ini. Pintu yang telah dibukakan Tuhan di hadapannya itu ialah pintu kehormatan bagi agama Allah, pintu yang akan memberi tempat pada arti kebenaran. Perjuangan yang sekarang berkecamuk antara dia dengan pihak Quraisy, adalah suatu peristiwa yang paling hebat terjadi sejak masa kerasulannya, yakni suatu perjuangan hidup atau mati bagi kedua belah pihak. Sudah tentu, kemenangan itu ada pada pihak yang benar. Keputusannya sudah bulat. Bolehlah ia minta pertolong an Tuhan. Biarlah, segala tipu-daya yang sudah dilakukan Quraisy itu akan bersifat lebih menghina mereka sendiri melebihi yang sudah-sudah. Ia akan terus maju, tapi dengan sikap bijaksana, tenang dan hati-hati. Masalahnya adalah masalah kecekatan politik dan kecerdikan seorang pemimpin yang saksama.
Dimintanya sahabat-sahabatnya supaya menyusul kaum Anshar ke Yathrib. Hanya saja dalam meninggalkan Mekah hendaknya mereka terpencar-pencar, supaya jangan sampai menimbulkan kepanikan pihak Quraisy terhadap mereka.
Mulailah kaum Muslimin melakukan hijrah secara sendiri-sendiri atau kelompok-kelompok kecil. Akan tetapi hal itu rupanya sudah diketahui oleh pihak Quraisy. Mereka segera bertindak, berusaha mengembalikan yang masih dapat dikembalikan itu ke Mekah untuk kemudian dibujuk supaya kembali kepada kepercayaan mereka, kalau tidak akan disiksa dan dianiaya. Sampai-sampai tindakan itu ialah dengan cara memisahkan suami dari isteri; kalau si isteri dari pihak Quraisy ia tidak dibolehkan pergi ikut suami. Yang tidak menurut, isterinya yang masih dapat mereka kurung, dikurung.
Akan tetapi mereka takkan dapat berbuat lebih dari itu. Mereka kuatir akan pecah perang saudara antar-kabilah jika mereka mencoba membunuh salah seorang dari kabilah itu.
Berturut-turut kaum Muslimin hijrah ke Yathrib, sedang Muhammad tetap berada di posnya. Tak ada orang yang mengetahui, dia akan tetap tinggal di tempatnya itu atau sudah mengambil keputusan akan hijrah juga. Dahulu juga mereka tidak mengetahui, ketika sahabat-sahabatnya diijinkan hijrah ke Abisinia, sedang dia sendiri tetap di Mekah menyerukan anggota-anggota keluarganya yang lain ke dalam Islam. Bahkan Abu Bakrpun, ketika minta ijin akan turut hijrah ke Yathrib, ia hanya berkata: “Jangan tergesa-gesa; kalau-kalau Tuhan menyertakan seorang kawan.” Dan tidak lebih dari itu.
Sungguhpun begitu pihak Quraisy sendiri sudah seribu kali memperhitungkan hijrah Nabi ke Yahtrib itu. Jumlah kaum Muslimin di sana sudah begitu banyak sehingga hampir-hampir mereka itu menjadi pihak yang menentukan. Sekarang datang pula mereka yang hijrah dari Mekah menggabungkan diri, sehingga mereka jadi bertambah kuat juga adanya. Dalam pada itu, apabila Muhammad - orang yang sudah mereka kenal berpendirian teguh dengan pendapatnya yang tepat dan berpandangan jauh - sampai menyusul ke Yathrib, mereka kuatir penduduk Yathrib itu kelak akan menyerbu Mekah, atau akan menutup jalur perjalanan perdagangan mereka ke Syam atau akan membuat mereka mati kelaparan seperti yang pernah mereka lakukan dulu terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya tatkala mereka membuat piagam pemboikotan dan memaksa mereka tinggal di celah-celah gunung selama tigapuluh bulan.
Apabila Muhammad masih tinggal di Mekah dan berusaha akan meninggalkan tempat itu, maka mereka masih merasa terancam oleh adanya tindakan pihak Yathrib dalam membela Nabi dan Rasul. Jadi tak ada jalan keluar bagi mereka selain dengan membunuhya. Dengan begitu mereka lepas dari malapetaka yang terus-menerus itu. Tetapi kalau juga mereka membunuhnya, tentu Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib akan menuntut balas. Maka pecahlah perang saudara di Mekah, dan suatu bencana yang sangat mereka takuti juga akan datang dari pihak Yathrib.
Sekarang mereka mengadakan pertemuan di Dar’n-Nadwa membahas semua persoalan itu serta cara-cara pencegahannya. Salah seorang dari mereka mengusulkan:
“Masukkan dia dalam kurungan besi dan tutup pintunya rapat-rapat kemudian awasi biar dia mengalami nasib seperti penyair-penyair semacamnya sebelum dia; seperti Zuhair dan Nabigha.”
Tetapi pendapat ini tidak mendapat suara.
“Kita keluarkan dia dari lingkungan kita, kita buang dari negeri kita. Sesudah itu tidak perlu kita pedulikan lagi urusannya,” demikian terdengar suara yang lain. Tetapi mereka kuatir ia akan terus menyusul ke Medinah dan apa yang mereka takuti justru akan menimpa mereka.
Akhirnya mereka memutuskan, dari setiap kabilah akan diambil seorang pemuda yang tegap, dan setiap pemuda itu akan dipersenjatai dengan sebilah pedang yang tajam, yang secara bersama-sama sekaligus mereka akan menghantamnya, dan darahnya dapat dipencarkan antar-kabilah. Dengan demikian Banu ‘Abd Manaf takkan dapat memerangi mereka semua. Mereka akan menebus darah itu kemudian dengan harta. Maka terlepaslah Quraisy dan orang yang membuat porak-poranda dan mencerai-beraikan kabilah-kabilah mereka itu.
Mereka menyetujui pendapat ini dan merasa cukup puas. Mereka mengadakan seleksi di kalangan pemuda-pemuda mereka. Mereka menganggap bahwa soal Muhammad akan sudah selesai. Beberapa hari lagi ia akan terkubur habis ke dalam tanah, bersama ajarannya, dan mereka yang sudah hijrah ke Yathrib akan kembali ke tengah-tengah masyarakat, akan kembali kepada kepercayaan dan kepada dewa-dewa mereka. Quraisy dan negeri Arab yang sudah dipecah-belah, kedudukannya yang sudah mulai lemah, dengan demikian akan kembali bersatu.
Baca kelanjutannya: Hijrah
Catatan kaki:
1 Hilf (amak ahlaf) pernyataan sumpah setia-kawan atau bersahabat baik antar kabilah bersangkutan yang biasa berlaku dalam tradisi masyarakat Arab pada masa itu. Halif (jamak hulafa’), yakni pihak yang mengadakan persahabatan, kawan-kawan sepersekutuan (A).
2 Hari-hari Tasyriq ialah tiga hari berturut-turut setelah hari Raya Kurban (lebaran Haji) (A).
3 Yakni berperang habis-habisan melawan semua orang (A).
4 Yakni Quraisy (A).
1 Hilf (amak ahlaf) pernyataan sumpah setia-kawan atau bersahabat baik antar kabilah bersangkutan yang biasa berlaku dalam tradisi masyarakat Arab pada masa itu. Halif (jamak hulafa’), yakni pihak yang mengadakan persahabatan, kawan-kawan sepersekutuan (A).
2 Hari-hari Tasyriq ialah tiga hari berturut-turut setelah hari Raya Kurban (lebaran Haji) (A).
3 Yakni berperang habis-habisan melawan semua orang (A).
4 Yakni Quraisy (A).