® Rajawally Intermezo

Baca sebelumnya: Istri-istri Nabi

Setelah Medinah dikosongkan dari Banu Nadzir, kemudian setelah peristiwa Badr Terakhir dan sesudah ekspedisi-ekspedisi Ghatafan dan Dumat’l-Jandal berlalu, tiba waktunya kaum Muslimin sekarang merasakan hidup yang lebih tenang di Medinah. Mereka sudah dapat mengatur hidup, sudah tidak begitu banyak mengalami kesulitan berkat adanya rampasan perang yang mereka peroleh dari peperangan selama itu, meskipun dalam banyak hal kejadian ini telah membuat mereka lupa terhadap masalah-masalah pertanian dan perdagangan. Tetapi disamping ketenangan itu Muhammad selalu waspada terhadap segala tipu-muslihat dan gerak-gerik musuh. Mata-mata selalu disebarkan ke seluruh pelosok jazirah, mengumpulkan berita-berita sekitar kegiatan masyarakat Arab yang hendak berkomplot terhadap dirinya. Dengan demikian ia selalu dalam siap-siaga, sehingga kaum Muslimin dapat selalu mempertahankan diri.

Tidak begitu sulit orang menilai betapa perlunya harus bersikap waspada dan berhati-hati selalu setelah kita melihat adanya segala macam tipu-muslihat Quraisy dan yang bukan Quraisy terhadap kaum Muslimin, juga karena negeri-negeri masa itu - juga sesudah itu sebagian besar dalam perkembangan sejarahnya masing-masing mereka itu merupakan sekumpulan republik-republik kecil, yang satu sama lain berdiri sendiri-sendiri. Mereka masing-masing menggunakan sistem organisasi yang lebih dekat pada cara-cara kabilah. Hal ini memaksa mereka harus berlindung pada adat-lembaga dan tradisi yang ada, yang tidak mudah dapat kita bayangkan seperti halnya pada bangsa-bangsa yang sudah teratur. Dalam hal ini Muhammad pun sebagai orang Arab sangat waspada sekali mengingat nafsu hendak membalas dendam yang ada dalam naluri orang-orang Arab itu besar sekali. Baik Quraisy maupun Yahudi Banu Qainuqa’ dan Yahudi Banu Nadzir, demikian juga kabilah-kabilah Arab Ghatafan, Hudhail dan kabilah-kabilah yang berbatasan dengan Syam, mereka saling menunggu, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu akan binasa. Kalaupun mereka akan mendapat kesempatan, masing-masing berharap akan dapat mengadakan balas dendam terhadap laki-laki yang sekarang datang mencerai-beraikan masyarakat Arab dengan kepercayaan mereka itu. Laki-laki yang pergi keluar Mekah, mengungsi dalam keadaan tidak berdaya, tidak punya kekuatan, selain iman yang telah memenuhi jiwanya yang besar itu, dalam waktu lima tahun sekarang orang ini sudah kuat, sudah mempunyai kemampuan, sehingga kota-kota dan kabilah-kabilah Arab yang terkuat sekalipun, merasa segan kepadanya.

Orang-orang Yahudi ialah musuh Muhammad yang paling tajam memperhatikan ajaran-ajaran dan cara berdakwahnya. Dengan kemenangannya itu merekalah yang paling banyak memperhitungkan nasib yang telah menimpa diri mereka. Mereka di negeri-negeri Arab sebagai penganjur-penganjur ajaran tauhid (monotheisma). Mengenai penguasaan bidang ini mereka bersaingan sekali dengan pihak Kristen. Mereka selalu berharap akan dapat mengalahkan lawannya ini. Dan barangkali mereka benar juga mengingat bahwa orang-orang Yahudi ialah bangsa Semit yang pada dasarnya lebih condong pada pengertian monotheisma. Sementara ajaran trinitas Kristen suatu hal yang tidak mudah dapat dicernakan oleh jiwa Semit. Dan sekarang Muhammad, orang yang berasal dari pusat Arab dan dari pusat orang-orang Semit sendiri, menganjurkan ajaran tauhid dengan cara yang sungguh kuat dan mempesonakan sekali, dapat menjelajahi dan merasuk sampai ke lubuk hati orang, dan mengangkat martabat manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Sekarang ia sudah begitu kuat, dapat mengeluarkan Banu Qainuqa’ dari Medinah, mengusir Banu Nadzir dari daerah koloni mereka. Dapatkah mereka membiarkannya terus begitu, dan mereka sendiri pergi ke Syam atau pulang ke tanah air mereka yang pertama, ke Bait’l-Maqdis (Yerusalem) di Negeri yang Dijanjikan - Ardz’l-Mi’ad - (Palestina), ataukah mereka harus berusaha menghasut orang-orang Arab itu supaya dapat membalas dendam kepada Muhammad?

Rencana hendak menghasut orang-orang Arab adalah yang paling terutama menguasai pikiran pemuka-pemuka Banu Nadzir. Untuk melaksanakan rencana itu, beberapa orang dari kalangan mereka pergi hendak menemui Quraisy di Mekah. Mereka terdiri dari Huyayy b. Akhtab. Sallam b. Abi’l-Huqaiq dan Kinana bin’l-Huqaiq, bersama-sama dengan beberapa orang dari Banu Wa’il Hawadha b. Qais dan Abu ‘Ammar.

Ketika oleh pihak Mekah, Huyayy ditanya mengenai golongannya itu ia menjawab:

“Mereka saya biarkan mundar-mandir ke Khaibar dan ke Medinah sampai tuan-tuan nanti datang ke tempat mereka dan berangkat bersama-sama menghadapi Muhammad dan sahabatsahabatnya.”

Ketika oleh mereka ditanya tentang Quraiza, ia menjawab:

“Mereka tinggal di Medinah sekedar mau mengelabui Muhammad. Kalau tuan-tuan sudah datang mereka akan bersama-sama dengan tuan-tuan.”

Pihak Quraisy jadi ragu-ragu akan maju, atau mundur saja. Mereka dengan Muhammad tidak berselisih apa-apa, selain ajarannya tentang Tuhan. Bukan tidak mungkinkah bahwa dia juga yang benar, sebab makin hari ajarannya itu ternyata makin kuat dan tinggi juga?

“Tuan-tuan dari golongan Yahudi,” kata pihak-Quraisy. “Tuan-tuan adalah ahli kitab yang mula-mula dan sudah mengetahui pula apa yang menjadi pertentangan antara kami dengan Muhammad. Soalnya sekarang: manakah yang lebih baik, agama kami atau agamanya.”

Pihak Yahudi menjawab:

“Tentu agama tuan-tuan yang lebih baik, sebab tuan-tuan lebih benar dari dia.”

Dalam hal ini firman Tuhan dalam Qur’an menyebutkan;

“Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah diberi sebahagian kitab? Mereka percaya kepada sihir dan berhala dan mereka berkata kepada orang-orang kafir: ‘Jalan mereka lebih benar dari orang yang beriman.’ Mereka itulah yang dikutuk oleh Tuhan. Dan barangsiapa yang dikutuk Tuhan, maka baginya takkan ada penolong.” (Qur’an, 4: 51-52)

Dalam posisi orang-orang Yahudi menghadapi Quraisy ini dengan sikap lebih mengutamakan paganisma mereka daripada tauhid Muhammad, maka dalam Tarikh’l-Yahudi fi Bilad’l-‘Arab, Dr. Israel Wilfinson menyebutkan: “Seharusnya mereka itu tidak boleh sampai terjerumus ke dalam kesalahan yang begitu kotor, dan jangan pula berkata dengan terus-terang di depan pemuka-pemuka Quraisy, bahwa cara menyembah berhala itu lebih baik daripada tauhid seperti yang diajarkan Islam, meskipun hal itu akan mengakibatkan permintaan mereka tidak akan dipenuhi. Oleh karena orang-orang Israil sejak berabad-abad lamanya atas nama nenek-moyang dahulu kala sebagai pengemban panji tauhid (monotheisma) diantara bangsa-bangsa di dunia, dan telah pula mengalami pelbagai macam penderitaan, pembunuhan dan penindasan hanya karena iman mereka kepada Tuhan Yang Tunggal itu, yang mereka alami dalam berbagai zaman selama dalam perkembangan sejarah, maka sudah seharusnya mereka itu bersedia mengorbankan hidup mereka, mengorbankan segala yang mereka cintai dalam menghadapi dan menaklukan kaum musyrik itu. Apalagi dengan minta perlindungan kepada pihak penyembah berhala, itu berarti mereka telah memerangi diri sendiri serta menentang ajaran-ajaran Taurat yang meminta mereka menjauhi penyembah-penyembah berhala dan dalam menghadapi mereka supaya bersikap seperti menghadapi musuh.

Huyayy b. Akhtab dan orang-orang Yahudi yang sepaham dengan dia, yang telah mengatakan kepada Quraisy bahwa paganisma mereka lebih baik daripada tauhid Muhammad dengan maksud supaya mereka sudi memeranginya, dan yang akan mereka laksanakan setelah sekian bulan disiapkan, tampaknya tidak cukup sampai di situ saja. Malah orang-orang Yahudi itu pergi lagi menemui kabilah Ghatafan2 yang terdiri dari Qais ‘Ailan, Banu Fazara, Asyja’ Sulaim, Banu Sa’d dan Asad, serta semua pihak yang ingin menuntut balas kepada Muslimin. Mereka ini aktif sekali mengerahkan orang supaya menuntut balas dengan menyebutkan bahwa Quraisy juga ikut serta memerangi Muhammad. Paganisma Quraisy mereka puji dan mereka menjanjikan, bahwa mereka pasti akan mendapat kemenangan.

Kelompok-kelompok3 yang sudah diorganisasikan oleh pihak Yahudi itu kini berangkat hendak memerangi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Dari pihak Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan sudah disiapkan 4000 orang prajurit, tiga ratus ekor kuda dan 1500 orang dengan unta. Pimpinan brigade yang disusun di Dar’n-Nadwa diserahkan kepada ‘Uthman b. Talha. Ayah orang ini telah mati terbunuh dalam memimpin pasukan di Uhud. Banu Fazara yang dipimpin oleh ‘Uyaina b. Hishn b. Hudhaifa telah siap dengan sejumlah pasukan besar dan 100 unta. Sedang Asyja’ dan Murra masing-masing membawa 400 prajurit. Pihak Murra dipimpin oleh Al-Harith b. ‘Auf dan dari pihak Asyja’ oleh Misiar ibn Rukhaila. Menyusul pula Sulaim, biang-keladi peristiwa Bi’r Ma’una, dengan 700 orang. Mereka itu semua berkumpul, yang kemudian datang pula Banu Sa’d dan Asad menggabungkan diri. Jumlah mereka kurang lebih semuanya menjadi 10.000 orang. Semua mereka itu berangkat menuju Medinah dibawah pimpinan Abu Sufyan.

Setelah mereka sampai, selama dalam perang, pemuka-pemuka kabilah itu saling bergantian pimpinan, masing-masing sehari mendapat giliran.

Berita keberangkatan mereka ini sampai juga kepada Muhammad dan kaum Muslimin di Medinah. Mereka merasa gentar. Ya, sekarang seluruh kabilah Arab sudah bersatu sepakat hendak menumpas dan memusnahkan mereka, sudah datang dengan perlengkapan dan jumlah manusia yang besar, suatu hal yang dalam sejarah peperangan Arab secara keseluruhannya belum pernah terjadi. Apabila dalam perang Uhud Quraisy telah mendapat kemenangan atas mereka, ketika mereka keluar menyongsong keluar Medinah, padahal baik jumlah perlengkapan maupun jumlah manusia jauh di bawah pasukan sekutu ini, apa lagi yang dapat dilakukan kaum Muslimin sekarang dalam menghadapi jumlah pasukan yang terdiri dari beribu-ribu rnanusia itu - barisan berkuda, unta, persenjataan serta perlengkapan lainnya?! Tidak ada jalan lain, hanya bertahan di Yathrib yang masih perawan ini, seperti dikatakan oleh Abdullah b. Ubayy.

Tetapi cukup hanya bertahan sajakah menghadapi kekuatan raksasa itu? Salman al-Farisi adalah orang yang banyak mengetahui seluk-beluk peperangan, yang belum dikenal di daerah-daerah Arab. Ia menyarankan supaya di sekitar Medinah itu digali parit dan keadaan kota diperkuat dari dalam. Saran ini segera dilaksanakan oleh kaum Muslimin. Ketika menggali parit itu Nabi a.s. juga dengan tangannya sendiri ikut bekerja. Ia turut mengangkat tanah dan sambil terus memberi semangat, dengan menganjurkan kepada mereka supaya terus melipat gandakan kegiatan. Pihak Muslimin sudah membawa alat-alat yang diperlukan, terdiri dari sekop, cangkul dan keranjang pengangkut tanah dari tempat orang-orang Yahudi Quraiza yang masih berada di bawah pihak Islam. Dengan bekerja giat terus-menerus penggalian parit itu selesai dalam waktu enam hari. Dalam pada itu dinding-dinding rumah yang menghadap ke arah datangnya musuh, yang jaraknya dengan parit itu kira-kira dua farsakh, diperkuat pula. Rumah-rumah yang ada di belakang parit itu dikosongkan. Wanita dan anak-anak ditempatkan dalam rumah-rumah yang sudah diperkuat, dan di samping parit dari arah Medinah ditaruh pula batu supaya di waktu perlu dapat dilemparkan sebagai senjata.

Tatkala pihak Quraisy dan kelompok-kelompoknya itu datang dengan harapan akan menemui Muhammad di Uhud, ternyata tempat itu kosong. Mereka meneruskan perjalanan ke Medinah; tapi mereka dikejutkan oleh adanya parit. Di luar dugaan semula, mereka heran sekali melihat jenis pertahanan yang masih asing bagi mereka itu. Dibawa oleh perasaan jengkel, mereka pun menganggap bahwa berlindung di balik parit semacam itu adalah suatu perbuatan pengecut yang belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab. Pasukan Quraisy dan sekutu-sekutunya lalu bermarkas di Mujtama’l’-As-yal di daerah Ruma, dan pasukan Ghatafan serta pengikut-pengikutnya dari Najd, bermarkas di Dhanab Naqama. Sedang Muhammad sekarang berangkat dengan tiga ribu orang Muslimin, dengan membelakanyi bukit Sal’ dan dijadikannya parit itu sebagai batas dengan pihak musuh. Di tempat inilah ia bermarkas dan memasang kemahnya yang berwarna merah.

Pihak Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya melihat, bahwa tidak mungkin mereka menerobos parit itu. Dengan demikian selama beberapa hari mereka hanya saling melemparkan anak panah. Abu Sufyan sendiri dengan pengikutpengikutnya pun yakin bahwa akan sia-sia saja mereka lama-lama menghadapi kota Yathrib dengan paritnya itu, karena tidak akan dapat mereka
menerobosnya

Pada waktu itu sedang terjadi musim dingin yang luarbiasa disertai angin badai yang bertiup kencang, sehingga sewaktu-waktu dikawatirkan hujan lebat akan turun. Kalau orang-orang Mekah dan orang-orang Ghatafan dengan mudah saja dapat berlindung dalam rumah-rumah mereka di Mekah atau di Ghatafan, maka kemah-kemah yang mereka pasang sekarang di depan kota Yathrib itu sama-sekali takkan dapat melindungi mereka. Disamping itu tadinya memang mereka mengharap akan memperoleh kemenangan secara lebih mudah, tidak perlu susah-payah seperti pada waktu di Uhud. Mereka akan kembali pulang dengan menyanyikan lagu-lagu kemenangan serta menikmati adanya pembagian barang-barang jarahan dan rampasan perang. Jadi apalagi kalau begitu yang masih menahan Ghatafan buat kembali pulang?! Mereka ikut melibatkan diri dalam perang itu hanya karena pihak Yahudi pernah menjanjikan mereka dengan buah-buahan hasil pertanian dan perkebunan Khaibar, apabila mereka memperoleh kemenangan, Tetapi sekarang mereka melihat untuk memperoleh kemenangan itu tampaknya tidak mudah, atau setidak-tidaknya sudah diluar kenyataan. Dalam musim dingin yang begitu hebat rupanya diperlukan kerja keras yang luarbiasa yang akan membuat mereka lupa segala buah-buahan berikut kebun-kebunnya itu!

Sebaliknya pihak Quraisy yang hendak menuntut balas karena peristiwa Badr dan kekalahan-kekalahan lain sesudah Badr, pada suatu waktu masih akan dapat mengejar dengan harapan parit itu tidak akan selamanya berada dalam genggaman Muhammad dan selama pihak Banu Quraiza masih bersedia memberikan bantuan kepada penduduk Yathrib, yang akan memperpanjang perlawanan mereka sampai berbulan-bulan. Bukankah lebih baik pihak Ahzab itu kembali pulang saja? Ya! Akan tetapi mengumpulkan kembali kelompok-kelompok itu nanti buat memerangi Muhammad lagi bukanlah soal yang mudah. Sebenarnya orang-orang Yahudi itu, terutama Huyayy b. Akhtab sebagai pemimpin mereka, sekali itu telah berhasil mengumpulkan kabilah-kabilah itu untuk membalas dendam golongannya dan golongan Banu Qainuqa’ terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apabila kesempatan itu sudah hilang, maka jangan diharap ia akan kembali, dan bilamana Muhammad mendapat kemenangan dengan ditariknya pihak Ahzab itu, maka bahaya besar akan mengancam pihak Yahudi.

Semua itu sudah diperhitungkan oleh Huyayy b. Akhtab. Ia kuatir akan akibatnya. jalan lain tidak ada. Ia harus mempertaruhkan nasib terakhir. Kepada pihak Ahzab itu ia membisikkan, bahwa ia sudah dapat meyakinkan Banu Quraiza supaya membatalkan perjanjian perdamaiannya dengan Muhammad dan pihak Muslimin, dan selanjutnya akan menggabungkan diri dengan mereka, dan bahwa begitu Banu Quraiza melaksanakan hal ini, maka dari suatu segi terputuslah semua perbekalan dan bala bantuan kepada Muhammad itu, dan dari, segi lain jalan masuk ke Yathrib akan terbuka. Quraisy dan Ghatafan merasa gembira atas keterangan Huyayy itu. Huyayy sendiri cepat-cepat berangkat hendak menemui Ka’b b. Asad, orang yang berkepentingan dengan adanya perjanjian Banu Quraiza itu. Tetapi begitu mengetahui kedatangannya itu Ka’b sudah menutup pintu bentengnya, dengan perhitungan bahwa pembelotan Banu Quraiza terhadap Muhammad dan membatalkan perjanjiannya secara sepihak kemudian menggabungkan diri dengan musuhnya, adakalanya memang akan menguntungkan pihak Yahudi kalaupun pihak Muslimin yang dapat dihancurkan. Tetapi sebaliknya sudah seharusnya pula mereka akan habis samasekali bila pihak Ahzab itu yang mengalami kekalahan dan kekuatan mereka hilang dari Medinah. Sungguhpun begitu Huyayy terus juga berusaha, hingga akhirnya pintu benteng itu dibuka.

“Ka’b, sungguh celaka,” katanya kemudian. “Saya datang pada waktu yang tepat dan membawa tenaga yang tepat pula. Saya datang membawa Quraisy dan Ghatafan dengan pemimpinpemimpin dan pemuka-pemuka mereka. Mereka sudah berjanji kepadaku, bahwa mereka tidak akan beranjak sebelum dapat mengikis habis Muhammad dan kawan-kawannya itu.”

Tetapi Ka’b masih juga maju mundur. Disebutnya kejujuran serta kesetiaan Muhammad kepada perjanjian itu. Ia kuatir akan akibatnya atas apa yang diminta oleh Huyayy itu. Tetapi Huyayy masih terus menyebut-nyebut bencana yang dialami orang-orang Yahudi karena Muhammad itu, dan juga bencana yang akan mereka alami sendiri nanti bilamana Ahzab tidak berhasil mengikisnya. Diuraikannya juga kekuatan pihak Ahzab itu serta perlengkapan dan jumlah orangnya. Yang sekarang masih merintangi mereka untuk menumpas semua orang-orang Islam dalam sekejap mata itu, hanyalah parit itu saja. Sekarang Ka’b sudah mulai lunak.

“Kalau pasukan Ahzab itu berbalik?” tanyanya kemudian. Di sini Huyayy memberikan jaminan, bahwa kalau Quraisy dan Ghatafan sampai kembali dan tidak berhasil menghantam Muhammad ia pun akan tinggal dalam benteng itu dan akan tetap bersama-sama dalam seperjuangan. Dalam hati Ka’b nafsu Yahudinya sudah mulai bergerak-gerak. Permintaan Huyayy itu diterimanya, perjanjian dengan Muhammad dan kaum Muslimin mulai dilanggarnya dan ia sudah keluar dari sikap kenetralannya.

Berita-berita penggabungan Quraiza dengan pihak Ahzab itu sampai juga kepada Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka sangat terkejut sekali dan kuatir juga akan akibat yang mungkin terjadi. Muhammad segera mengutus Sa’d b. Mu’adh, pemimpin Aus dan Sa’d b. ‘Ubada, pemimpin Khazraj, disertai pula oleh Abdullah b. Rawaha dan Khawat b. Jubair dengan tujuan supaya mempelajari duduk perkara yang sebenarnya. Bilamana mereka kembali pulang, hendaknya dapat memberikan isyarat kalau memang hal itu benar, supaya jangan nanti sampai mematahkan semangat orang.

Tetapi sesampainya para utusan itu kesana, mereka melihat keadaan Quraiza justeru lebih jahat lagi dari apa yang pernah mereka dengar semula. Diusahakan juga oleh utusan itu supaya mereka mau menghormati perjanjian yang ada. Tetapi Ka’b berkata kepada mereka, supaya orang-orang Yahudi Banu Nadzir dikembalikan ke kampung halaman mereka. Ketika itu Said b. Mu’adh - yang juga bersahabat baik dengan pihak Quraiza - mencoba meyakinkan supaya jangan sampai mereka mengalami nasib seperti yang pernah dialami oleh Banu Nadzir, atau yang lebih parah lagi dari itu. Pihak Yahudi sekarang mau terus melancarkan serangan kepada Muhammad a.s.

“Siapa Rasulullah itu!?” kata Ka’b. “Kami dengar Muhammad tidak terikat oleh sesuatu persahabatan atau perjanjian apa pun!”

Kedua belah pihak itu lalu saling adu mulut.

Utusan-utusan Muhammad pulang. Mereka melaporkan apa yang telah mereka saksikan. Bencana besar kini mengancam. Kekuatiran makin menjadi-jadi. Penduduk Medinah kini melihat pihak Quraiza telah membukakan jalan bagi Ahzab, yang akan memasuki kota dan membasmi mereka. Hal ini bukan hanya sekedar khayal dan ilusi saja. Terbukti Banu Quraiza sekarang sudah memutuskan segala bantuan dan bahan makanan kepada mereka. Juga terbukti sekembalinya Huyayy b. Akhtab yang memberitahukan kepada mereka, bahwa Quraiza telah tergabung dengan pihak Quraisy dan Ghatafan - jiwa mereka sudah berubah dan mereka sudah siap-siap melakukan peperangan. Soalnya lagi pihak Quraiza telah memperpanjang waktu selama sepuluh hari lagi buat pihak Ahzab guna mengadakan persiapan, asal Ahzab selama sepuluh hari itu benar-benar mau menyerbu kaum Muslimin. Dan memang itulah yang mereka lakukan. Mereka telah menyusun tiga buah pasukan besar guna memerangi Nabi. Sebuah pasukan dibawah pimpinan Ibn’l-A’war as-Sulami didatangkan dari jurusan sebelah atas wadi, pasukan yang dipimpin oleh ‘Uyayna b. Hishn datang dari sebelah samping, dan pasukan yang dipimpin oleh Abu Sufyan ditempatkan di jurusan parit. Dalam peristiwa inilah ayat berikut ini turun:

“Tatkala mereka datang kepadamu dari jurusan atas dan bawah, dan pandangan mata sudah jadi kabur, hati pun naik menyekat di kerongkongan (sangat gelisah), ketika itu kamu berprasangka tentang Tuhan, prasangka yang salah belaka. Saat itulah orang-orang yang beriman mendapat cobaan dan mereka mengalami keguncangan yang hebat sekali. Dan ingat! ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya itu berkata: Apa yang dijanjikan Allah dan RasulNya kepada kami hanyalah tipu daya belaka. Juga ketika ada satu golongan diantara mereka itu berkata: “Wahai penduduk Yathrib! Tak ada tempat buat kamu. Kembalilah kamu pulang.” Dan ada sebagian dari mereka itu yang meminta ijin kepada Nabi seraya berkata:

"‘Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka.’ Tetapi sebenarnya tidak terbuka. Hanya saja mereka itu ingin melarikan diri.” (Qur’an, 33: 10-13)

Tetapi buat penduduk Yathrib masih dapat dimaafkan kalau mereka sampai begitu takut dan hati mereka terguncang karenanya. Mereka yang masih dapat dimaafkan itu ialah yang berpendapat: Dulu Muhammad menjanjikan kami, bahwa kami mendapat harta kekayaan Kisra dan Kaisar Rumawi. Tetapi sekarang orang sudah merasa tidak aman lagi sekalipun hanya akan pergi ke kebun. Pandangan mata mereka yang jadi kabur pun dapat dimaafkan. Demikian juga mereka yang merasa sangat gelisah dalam ketakutan dapat juga dimaafkan. Bukankah maut juga yang sekarang sedang menari-nari di depan matanya, menjilat-jilat menyala keluar dari mata pedang yang di tangan Quraisy dan Ghatafan, menyusup-nyusup kedalam hati sebagai ancaman, dan juga yang datang dari rumah-rumah Banu Quraiza yang berkhianat itu? Sungguh celaka orang-orang Yahudi. Sungguh patut sekali kalau Muhammad mengikis habis saja Banu Nadzir itu daripada hanya sekedar membiarkan mereka pergi dalam keadaan berkecukupan, serta membiarkan Huyayy cs. menghasut masyarakat dan kabilah-kabilah Arab supaya menghantam kaum Muslimin. Ya, sungguh suatu bencana besar, suatu ancaman besar. “Tak ada daya upaya kalau tidak dengan Allah juga.”

Dari segi moril pihak Ahzab sudah merasa begitu tinggi, sehingga ada beberapa orang ksatria dari Quraisy yang sudah berani maju kedepan, seperti ‘Amr b. ‘Abd Wudd, ‘Ikrima b. Abi Jahl dan Dzirar bin’l-Khattab. Mereka langsung menyerbu parit itu. Mereka menuju ke suatu bagian yang agak sempit. Dipacunya kuda mereka itu sehingga mereka dapat menyeberangi parit dan sampai di Sabkha yang terletak antara parit dengan bukit Sal’. Ketika itu juga Ali b. Abi Talib keluar dengan beberapa orang dari kalangan Muslimin, terus cepat-cepat merebut sebuah rongga dalam parit yang telah diserbu oleh pasukan berkuda mereka. Ketika itu ‘Amr b. ‘Abd. Wudd memanggil-manggil:

“Siapa berani bertanding?!”

Setelah ajakannya itu disambut oleh Ali b. Abi Talib, ia berkata lagi dengan congkak sekali:

“Oh kemenakanku ! Aku tidak ingin membunuhmu.”

“Tapi aku ingin membunuh kau,” sahut Ali.

Kemudian duel itu terjadi, dan Ali berhasil membunuhnya. Saat itu juga pasukan berkuda pihak Ahzab lari kucar-kacir, sehingga mereka terbentur sekali lagi ke dalam parit sambil lari terus tanpa melihat kekanan-kiri lagi.

Tatkala matahari sudah terbenam, ketika itu datang pula Naufal b. Abdullah bin’l-Mughira dengan menunggang kudanya hendak menyeberangi parit itu, tapi saat itu juga ia mendapat pukulan hebat sehingga ia berikut kudanya itu mati dan hancur di tempat tersebut. Dalam hal ini Abu Sufyan menyampaikan tawaran hendak menebus mayat kawannya itu dengan seratus ekor unta, Tetapi itu oleh Nabi a.s. ditolak, seraya berkata:

“Ambillah mayat itu. Barang yang kotor tebusannya kotor juga.”

Dengan cara yang berlebih-lebihan pihak Ahzab sekarang mulai lagi hendak mengobarkan api permusuhannya dengan maksud menakut-nakuti dan melemahkan jiwa kaum Muslimin. Orang-orang Quraiza yang bersemangat mulai turun dari benteng-benteng dan kubu-kubu mereka. Mereka memasuki rumah-rumah di Medinah yang terdekat pada mereka. Maksud mereka mau menakut-nakuti penduduk.

Pada waktu itu Shafia bt. Abd’l-Muttalib sedang berada dalam Fari’, benteng Hassan b. Thabit. Juga Hassan ketika itu disana dengan kaum wanita dan anak-anak. Waktu itu ada seorang orang Yahudi yang mundar-mandir sekeliling benteng itu.

“Kaulihat bukan?” kata Shafia kepada Hassan, “Orang Yahudi itu mundar-mandir sekeliling benteng kita. Sungguh aku tidak mempercayainya. Ia akan menunjukkan rahasia kita kepada pihak Yahudi. Sedang Rasulullah dan sahabat-sahabat sedang sibuk. Turunlah kau dan bunuh orang itu.”

“Semoga Tuhan mengampunimu, Shafia,” jawab Hassan. “Engkau tahu, aku bukan orangnya akan melakukan itu.”

Mendengar itu Shafia langsung mengambil sebatang tongkat. Ia turun dari benteng itu dan orang Yahudi tadi dipukulnya Sampai ia menemui ajalnya.

“Hassan, turunlah dan lucuti dia. Sayang dia laki-laki; kalau tidak aku sendiri yang akan melakukannya.”

“Shafia, tidak perlu aku melucuti dia,” jawab Hassan. Penduduk Medinah masih dalam ketakutan, hati mereka masih gelisah selalu. Dalam pada itu yang selalu menjadi pikiran Muhammad ialah bagaimana caranya mencari jalan keluar. Harus ada suatu taktik. Dikirimnya utusan kepada pihak Ghatafan dengan menjanjikan sepertiga hasil buah-buahan Medinah untuk mereka asal mereka mau pergi meninggalkan tempat itu.

Pihak Ghatafan sendiri sebenarnya sudah mulai jemu. Mereka sudah memperlihatkan perasaan muak, karena begitu lama mereka mengadakan pengepungan dengan segala jerih payah yang mereka hadapi selama itu. Soalnya hanyalah karena mau memenuhi ajakan Huyayy b, Akhtab dan orang-orang Yahudi yang menjadi pengikutnya. Di samping itu, Nu’aim b. Mas’ud, dengan perintah Rasul telah pergi hendak menemui pihak Quraiza, yang ketika itu belum mengetahui bahwa dia sudah masuk Islam. Pada zaman jahiliah ia bergaul rapat sekali dengan pihak Quraiza. Diingatkannya kembali hubungan dan persahabatan mereka masa dahulu itu. Kemudian disebut-sebutnya juga bahwa mereka telah mendukung Quraisy dan Ghatafan dalam menghadapi Muhammad, sedang baik Quraisy maupun Ghatafan mungkin tidak akan tahan lama tinggal di tempat itu. Kedua kabilah ini tentu akan berangkat pulang, dan mereka akan ditinggalkan sendirian menghadapi Muhammad yang tentunya nanti akan menghajar mereka pula. Oleh karena itu dinasehatinya supaya mereka jangan mau ikut golongan itu sebelum mendapat jaminan beberapa orang sebagai sandera dari kedua golongan itu. Dengan demikian Quraisy dan Ghatafan tidak akan meninggalkan mereka. Quraiza merasa puas dengan keterangan Nu’aim itu.

Selanjutnya ia pergi lagi kepada Quraisy dengan membisikkan, bahwa sebenarnya pihak Quraiza merasa menyesal sekali atas tindakannya melanggar perjanjian dengan Muhammad dan bahwa mereka sekarang berusaha hendak mengambil hatinya dan mengadakan tali persahabatan lagi dengan jalan hendak menyerahkan pemimpin-pemimpin Quraisy kepadanya supaya dibunuh. Oleh karena itu lalu disarankannya, bahwa bilamana nanti pihak Yahudi mengutus orang meminta jaminan berupa pemimpin-pemimpin mereka, jangan dikabulkan. Seperti terhadap Quraisy, kemudian Nu’aim melakukan hal yang sama pula terhadap Ghatafan. Keterangan Nu’aim ini telah menimbulkan keraguan dalam hati Quraisy dan Ghatafan.

Pemimpin-pemimpin mereka segera berunding. Abu Sufyan lalu mengutus orang menemui Ka’b, pemimpin Banu Quraiza dengan pesan: “Kami sudah cukup lama tinggal di tempat dan mengepung orang itu. Menurut hemat kami besok kamu harus sudah menyerbu Muhammad dan kami dibelakangmu.”

Tetapi utusan Abu Sutyan itu kembali dengan membawa jawaban pemimpin Quraiza: “Besok hari Sabtu, dan pada hari Sabtu itu kami tidak dapat berperang atau bekerja apa pun.”

Mendengar itu Abu Sufyan naik pitam. Benar juga kata Nu’aim kalau begitu. Utusan itu disuruhnya kembali dengan mengatakan kepada pihak Quraiza: “Cari Sabtu4 lain saja sebagai pengganti Sabtu besok, sebab besok Muhammad harus sudah diserbu. Kalau kami sudah mulai menyerang Muhammad sedang kamu tidak ikut serta dengan kami, maka persekutuan kita dengan sendirinya bubar, dan kamulah yang akan kami serbu lebih dulu sebelum Muhammad.”

Pernyataan Abu Sufyan itu oleh Quraiza tetap dijawab dengan mengulangi bahwa mereka tidak akan melanggar hari Sabtu. Ada golongan mereka yang telah mendapat kemurkaan Tuhan karena telah melanggar hari Sabtu sehingga mereka itu menjadi monyet dan babi. Kemudian disebutnya juga jaminan yang mereka minta sebagai sandera, supaya mereka lebih yakin akan perjuangan mereka itu.

Mendengar permintaan semacam itu Abu Sufyan lebih yakin lagi akan keterangan yang telah diberikan Nu’aim itu. Terpikir olehnya sekarang apa yang harus diperbuatnya. Ketika hal ini dibicarakan dengan pihak Ghatafan ternyata mereka juga masih maju-mundur hendak memerangi Muhammad. Mereka terpengaruh oleh janji yang pernah diberikan kepada mereka, bahwa sepertiga hasil buah-buahan kota Medinah nanti untuk mereka, tapi janji tersebut belum ter]aksana karena masih mendapat tantangan dari Said b. Mu’adh dan pemuka-pemuka Medinah, baik kalangan Aus dan Khazraj maupun dari sahabat-sahabat Rasulullah.

Malam harinya angin topan bertiup kencang sekali, disertai oleh hujan yang turun dengan lebatnya. Bunyi petir menderu-deru diselingi oleh halilintar yang sambung-menyambung. Tiba-tiba angin topan itu bertiup kencang sekali dan kuali-kuali tempat mereka masak terbalik belaka. Sekarang timbul rasa takut dalam hati. Terbayang oleh mereka bahwa kaum Muslimin akan mengambil kesempatan ini untuk menyerang dan menghantam mereka. Ketika itu Tulaiha b. Khuailid tampil seraya berteriak: “Muhammad telah mendahului menyerang kita. Selamatkan dirimu ! Selamatkan!”

“Saudara-saudara dari Quraisy,” kata Abu Sufyan. “Tidak layak lagi kita tinggal lama-lama di tempat ini. Pasukan kita yang terdiri dari kuda dan unta sudah binasa, Banu Quraiza sudah tidak menepati janjinya lagi dengan kita, bahkan kita mendengar hal-hal dari mereka yang tidak menyenangkan hati. Ditambah lagi kita menghadapi angin yang begitu dahsyat. Maka lebih baik pulang sajalah. Saya pun akan berangkat pulang.”

Ditengah-tengah angin yang masih bertiup kencang, rombongan itu berangkat dengan membawa perbekalan seringan mungkin, diikuti oleh Ghatafan dan kelompok-kelompok lainnya.

Keesokan harinya sudah tidak seorang juga yang dijumpai oleh Muhammad di tempat itu. Ia pun lalu kembali pulang ke Medinah bersama-sama umat Islam yang lain. Mereka bersama-sama menyatakan rasa syukur yang sedalam-dalamnya kepada Tuhan, karena mereka telah terhindar dari segala mara bahaya, orang-orang beriman itu tidak sampai terlibat dalam pertempuran.

***
Setelah pihak Ahzab berangkat pulang, Muhammad kembali memikirkan keadaannya. Tuhan telah menyelamatkannya dari musuh yang selama ini mengancamnya. Tetapi sungguhpun begitu pihak Yahudi dapat saja mengulang kembali peristiwa semacam itu, dapat saja mereka mencari kesempatan lain, tidak lagi pada musim dingin yang begitu dahsyat seperti dalam tahun ini, yang telah merupakan bantuan Tuhan dalam menghancurkan pihak musuh. Disamping itu, kalaupun tidak karena Azhab telah pergi, dan peristiwa perpecahan di pihaknya sendiri telah terjadi, niscaya Banu Quraiza itu sudah siap-siap pula turun ke Medinah, akan menghantam dan akan memberikan segala macam bantuan dalam menghancurkan kaum Muslimin.

Jadi, jangan membiarkan ekor ular yang sudah dipotong. Atas perbuatannya itu Banu Quraiza harus dibasmi. Dalam hal ini Nabi a.s. memerintahkan supaya diserukan kepada segenap orang, yakni: Barangsiapa yang tetap setia, bersembahyang Asar supaya dilakukan di perkampungan Banu Quraiza. Lalu Ali diberangkatkan lebih dulu dengan membawa bendera ke tempat itu. Sungguhpun pihak Muslimin sudah begitu payah akibat pengepungan Quraisy dan Ghatafan yang cukup lama, namun mereka segera bergegas ke medan perang lagi. Mereka yakin bahwa mereka akan mendapat kemenangan. Memang benar, bahwa Banu Quraiza tinggal dalam benteng-benteng yang begitu kukuh seperti perbentengan Banu Nadzir, tetapi kendatipun benteng-benteng itu dapat melindungi mereka, namun mereka tidak akan dapat tahan menghadapi pihak Muslimin. Persediaan bahan makanan kini berada di tangan penduduk Medinah, setelah pihak Ahzab meninggalkan tempat tersebut. Oleh karena itu, pihak Muslimin pun dengan perasaan gembira bergegas pula berangkat di belakang Ali, menuju ke tempat Banu Quraiza.

Ternyata mereka itu - juga Huyayy b. Akhtab dari Banu Nadzir ada di tempat itu - melemparkan kata-kata yang tidak senonoh dialamatkan kepada Muhammad. Mereka mendustakannya dan memakinya serta mau mencemarkan nama baik isterinya. Setelah kekalahan pasukan Ahzab di Medinah, seolah mereka memang sudah merasakan apa yang akan terjadi terhadap diri mereka.

Ketika Rasul kemudian sampai ke tempat itu Ali segera menemuinya dan dimintanya supaya jangan ia mendekati perbentengan Yahudi itu.

“Kenapa?” tanya Rasulullah. “Rupanya kau mendengar mereka memaki-maki aku.”
“Ya” jawab Ali.
“Kalau mereka melihat aku” kata Rasulullah, “tentu mereka tidak akan mengeluarkan kata-kata itu.”

Setelah berada dekat dari perbentengan itu mereka dipanggil-panggil:

“Hai, golongan kera. Tuhan sudah menghinakan kamu bukan, dan sudah menurunkan murkaNya kepada kamu sekalian?!”
“Abu’l-Qasim,” kata mereka. “Tentu engkau bukan tidak mengetahui.”

Sepanjang hari itu kaum Muslimin terus berdatangan ke tempat Banu Quraiza, sehingga mereka dapat berkumpul di sana. Kemudian Muhammad memerintahkan supaya tempat itu dikepung.

Pengepungan demikian itu terjadi selama duapuluh lima malam. Sementara itu terjadi pula beberapa kali bentrokan dengan saling melempar anak panah dan batu. Selama dalam kepungan itu Banu Quraiza samasekali tidak berani keluar dari kubu-kubu mereka. Setelah terasa lelah dan yakin pula bahwa mereka tidak akan dapat tertolong dari bencana dan mereka pasti akan jatuh ke tangan kaum Muslimin apabila masa pengepungan berjalan lama, maka mereka mengutus orang kepada Rasul dengan permintaan “supaya mengirimkan Abu Lubaba kepada kami untuk kami mintai pendapatnya sehubungan dengan masalah kami ini.” Sebenarnya Abu Lubaba ini golongan Aus yang termasuk sahabat baik mereka.

Begitu mereka melihat kedatangan Abu Lubaba, mereka memberikan sambutan yang luarbiasa. Kaum wanita dan anak-anak segera meraung pula, menyambutnya dengan ratap tangis. Ia merasa iba sekali melihat mereka.

“Abu Lubaba,” kata mereka kemudian. “Apa kita harus tunduk kepada keputusan Muhammad?”
“Ya” jawabnya sambil memberi isyarat dengan tangan kelehernya “Kalau tidak berarti potong leher.”

Beberapa buku sejarah Nabi mengatakan, bahwa Abu Lubaba merasa sangat menyesal sekali memberikan isyarat demikian itu.

Setelah Abu Lubaba pergi, Ka’b b. Asad menyarankan kepada mereka, supaya mereka mau menerima agama Muhammad dan menjadi orang Islam. Mereka serta harta-benda dan anak-anak mereka akan hidup lebih aman. Tetapi saran itu ditolak oleh teman Ka’b: “Kami tidak akan meninggalkan ajaran Taurat tidak akan menggantikannya dengan yang lain.”

Kemudian disarankannya lagi supaya kaum wanita dan anak-anak itu dibunuh saja, dan mereka boleh melawan Muhammad dan sahabat-sahabatnya dengan pedang terhunus tanpa meninggalkan suatu beban di belakang. Biar nanti Tuhan menentukan, kalah atau menang melawan Muhammad. Kalau mereka hancur, tidak ada lagi turunan nanti yang akan dikuatirkan. Sebaliknya, kalau menang mereka akan memperoleh wanita-wanita dan anak-anak lagi.

“Kasihan kita membunuhi mereka. Apa artinya hidup tanpa mereka itu.”
“Kalau begitu tak ada jalan lain kita harus tunduk kepada keputusan Muhammad. Kita sudah mendengar, apa sebenarnya yang sedang menunggu kita.” Demikian kata Ka’b kemudian kepada mereka.

Mereka sekarang berunding antara sesama mereka.

“Nasib mereka tidak akan lebih buruk dari Banu Nadzir,” kata salah seorang dari mereka. “Wakil-wakil mereka dari kalangan Aus akan membela. Kalau mereka mengusulkan supaya mereka dibolehkan pergi ke Adhri’at di wilayah Syam, tentu terpaksa Muhammad mengabulkan.”

Banu Quraiza mengirimkan utusan kepada Muhammad dengan menyarankan bahwa mereka akan pergi ke Adhri’at dengan meninggalkan harta-benda mereka. Tetapi ternyata usul ini ditolak. Mereka harus tunduk kepada keputusan. Dalam hal ini mereka lalu mengirim orang kepada Aus dengan pesan: Tuan-tuan hendaknya dapat membantu saudara-saudaramu ini; seperti yang pernah dilakukan oleh Khazraj terhadap saudara-saudaranya.
Sebuah rombongan dari kalangan Aus segera berangkat hendak menemui Muhammad.

“Ya Rasulullah,” kata mereka memulai, “dapatkah permintaan kawan-kawan sepersekutuan kami itu dikabulkan seperti permintaan kawan-kawan sepersekutuan Khazraj dulu yang juga sudah dikabulkan?”
“Saudara-saudara dari Aus,” kata Muhammad, “Dapatkah kamu menerima kalau kuminta salah seorang dari kamu menengahi persoalan dengan teman-teman sepersekutuanmu itu?”
“Tentu sekali,” jawab mereka.
“Kalau begitu,” katanya lagi, “katakan kepada mereka memilih siapa saja yang mereka kehendaki.”

Dalam hal ini pihak Yahudi lalu memilih Sa’d b. Mu’adh. Mata mereka seolah-olah sudah tertutup dari nasib yang sudah ditentukan bagi mereka itu, sehingga mereka samasekali lupa akan kedatangan Sa’d tatkala pertama kali mereka melanggar perjanjian, lalu diberi peringatan, juga tatkala mereka memaki-maki Muhammad di depannya serta mencerca kaum Muslimin tidak pada tempatnya.

Sa’d lalu membuat persetujuan dengan kedua belah pihak itu. Masing-masing hendaknya dapat menerima keputusan yang akan diambilnya. Setelah persetujuan demikian diberikan, kepada Banu Quraiza diperintahkan supaya turun dan meletakkan senjata. Keputusan ini mereka laksanakan. Seterusnya Sa’d memutuskan, supaya mereka yang terjun melakukan kejahatan perang dijatuhi hukuman mati, harta-benda dibagi, wanita dan anak-anak supaya ditawan.

Mendengar keputusan itu Muhammad berkata:

“Demi Yang menguasai diriku. Keputusanmu itu diterima oleh Tuhan dan oleh orang-orang beriman, dan dengan itu aku diperintahkan.”

Sesudah itu ia keluar ke sebuah pasar di Medinah. Diperintahkannya supaya digali beberapa buah parit di tempat itu. Orang-orang Yahudi itu dibawa dan disana leher mereka dipenggal, dan didalam parit-parit itu mereka dikuburkan. Sebenarnya Banu Quraiza tidak menduga akan menerima hukuman demikian dari Said b. Mu’adh teman sepersekutuannya itu. Bahkan tadinya mereka mengira ia akan bertindak seperti Abdullah b. Ubayy terhadap Banu Qainuqa.’ Mungkin teringat oleh Said, bahwa kalau pihak Ahzab yang menang karena pengkhianatan Banu Quraiza itu, kaum Muslimin pasti akan dikikis habis, akan dibunuh dan dianiaya. Maka balasannya seperti yang sedang mengancam kaum Muslimin sendiri.

Keuletan orang-orang Yalmudi menghadapi maut dapat kita lihat dalam percakapan Huyayy b. Akhtab ini ketika ia dihadapkan untuk menjalani hukuman potong leher, Nabi telah menatapnya seraya berkata:

“Huyayy, bukankah Tulman sudah membuat kau jadi hina?”
“Setiap orang merasakan kematian,” kata Huyayy. “Umurku juga tidak akan dapat kulampaui. Aku tidak akan menyalahkan diriku dalam memusuhimu ini.”’ Lalu ia menoleh kepada orang banyak sambil katanya lagi: “Saudara-saudara. Tidak apa kita menjalani perintah Tuhan, yang telah mentakdirkan kepada Banu Israil menghadapi perjuangan ini.”

Kemudian juga peristiwa yang terjadi dengan Zubair b. Bata dari Banu Quraiza. Ia pernah berjasa kepada Thabit b. Qais ketika terjadi perang Bu’ath, sebab ia telah membebaskannya dari tawanan musuh. Sekarang Thabit ingin membalas dengan tangannya sendiri budi orang itu, setelah Sa’d ibn Mu’adh menjatuhkan keputusannya terhadap orang-orang Yahudi. Disampaikannya kepada Rasulullah tentang jasa Zubair kepadanya dulu dan ia mempertaruhkan diri minta persetujuannya akan menyelamatkan nyawa Zubair. Rasulullah mengabulkan pernmintaannya itu. Tetapi setelah Zubair mengetahui usaha Thabit itu ia berkata: "Orang yang sudah setua aku ini, tidak lagi ada isteri, tidak lagi ada anak; buat apa lagi aku hidup?!”

Sekali lagi Thabit mempertaruhkan diri minta supaya isteri dan anak-anaknya dibebaskan. Ini pun dikabulkan juga. Selanjutnya dimintanya supaya hartanya juga diselamatkan. Juga ini dikabulkan.

Setelah Zubair merasa puas tentang isteri, anak dan hartanya itu, ia bertanya lagi tentang Ka’b b. Asad, tentang Huyayy b. Akhtab dan ‘Azzal b. Samu’al serta pemimpin-pemimpin Quraiza yang lain. Sesudah diketahuinya, bahwa mereka sudah menjalani hukuman mati, ia berkata:

“Thabit, dengan budiku kepadamu itu aku minta, susulkanlah aku kepada mereka. Sesudah mereka tidak ada, juga tidak berguna aku hidup lagi. Aku sudah tidak betah hidup lama-lama lagi. Biarlah aku segera bertemu dengan orang-orang yang kucintai itu!”

Dengan demikian hukuman potong leher dijalankan juga atas permintaannya sendiri.

Pada dasarnya dalam perang itu pihak Muslimin tidak akan membunuh wanita atau anak-anak. Tetapi pada waktu itu mereka sampai membunuh seorang wanita juga yang telah lebih dulu membunuh seorang Muslim dengan mempergunakan batu giling. Dalam hal ini Aisyah pernah berkata:

“Tentang dia sungguh suatu hal yang aneh tidak pernah akan saya lupakan. Dia seorang orang yang periang dan banyak tertawa, padahal dia mengetahui akan dibunuh mati.”

Waktu itu ada empat orang pihak Yahudi yang masuk Islam. Mereka ini terhindar dari maut.

Menurut hemat kami terbunuhnya Banu Quraiza itu berada di tangan Huyayy b. Akhtab, meskipun dia sendiri juga turut terbunuh. Dia telah melanggar janji yang dibuat oleh golongannya sendiri, oleh Banu Nadzir, yang oleh Muhammad telah dikeluarkan dari Medinah dengan tiada seorang pun yang dibunuh, setelah keputusannya itu mereka terima. Tetapi dengan tindakannya menghasut pihak Quraisy dan Ghatafan, kemudian menyusun masyarakat dan kabilah-kabilah Arab semua supaya memerangi Muhammad, hal ini telah memperbesar rasa permusuhan antara golongan Yahudi dengan kaum Muslimin, sehingga mereka itu berkeyakinan, bahwa kaum Israil itu tidak akan merasa puas sebelum dapat mengikis habis Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Dia juga lagi yang kemudian mengajak Banu Quraiza melanggar perjanjian dan meninggalkan sikap kenetralannya. Sekiranya Banu Quraiza tetap bertahan, tentu mereka takkan mengalami nasib seburuk itu. Dia juga yang kemudian datang ke benteng Banu Quraiza - setelah kepergian pihak Ahzab dan mengajak mereka melawan kaum Muslimin. Sekiranya dari semula mereka sudah bersedia pula menerima keputusan Muhammad serta mengakui kesalahannya yang telah melanggar janjinya sendiri itu, pertumpahan darah dan pemotongan leher niscaya takkan terjadi. Akan tetapi, permusuhan itu sudah begitu berakar dalam jiwa Huyayy dan kemudian menular pula ke dalam hati orang-orang Quraiza, sehingga Sa’d b. Mu’adh sendiri sebagai kawan sepersekutuan mereka yakin bahwa kalau mereka dibiarkan hidup, keadaan tidak akan pernah jadi tenteram. Mereka akan menghasut lagi golongan Ahzab, akan mengerahkan kabilah-kabilah dan orang-orang Arab supaya memerangi Muslimin, dan akan mengikis sampai ke akar-akarnya kalau mereka dapat mengalahkan. Keputusan yang telah diambilnya dengan begitu keras, hanyalah karena terdorong oleh sikap hendak mempertahankan diri, dengan pertimbangan bahwa adanya atau lenyapnya orang-orang Yahudi itu berarti hidup atau matinya kaum Muslimin.

Kaum wanita, anak-anak serta harta-benda Banu Quraiza oleh Nabi di bagi-bagikan kepada kaum Muslimin, setelah seperlimanya dikeluarkan, Setiap seorang dari pasukan berkuda mendapat dua pucuk panah, untuk kudanya sepucuk panah.

Prajurit yang berjalan kaki mendapat sepucuk panah. Jumlah kuda dalam peristiwa Quraiza itu sebanyak tigapuluh enam ekor.

Setelah itu, Sa’d b. Zaid kemudian mengirimkan tawanan-tawanan Banu Quraiza itu ke Najd. Dengan demikian dibelinya beberapa ekor kuda dan senjata untuk lebih memperkuat angkatan perang Muslimin.

Raihana adalah salah seorang tawanan Banu Quraiza. Ia jatuh menjadi bagian Muhammad. Kepadanya ditawarkan kalau-kalau ia bersedia menjadi orang Islam. Tetapi ia tetap bertahan dengan agama Yahudinya. Juga ditawarkan kepadanya kalau-kalau ia mau di kawini. Tetapi dia menjawab: “Biar sajalah saya dibawah tuan. Ini akan lebih ringan buat saya, juga buat tuan.”

Barangkali juga, melekatnya ia kepada agama Yahudi dan penolakannya akan dikawin, berpangkal pada fanatisma kegolongan, serta sisa-sisa kebencian yang masih tertanam dalam hatinya terhadap kaum Muslimin dan terhadap Nabi. Tetapi tidak ada orang yang bicara tentang kecantikan Raihana seperti yang pernah disebut-sebut orang tentang Zainab bt. Jahsy, sekalipun ada juga yang menyebutkan bahwa dia juga cantik. Buku-buku sejarah dalam hal ini berbeda-beda pendapat: Adakah ia juga menggunakan tabir seperti terhadap isteri-isteri Nabi, atau masih seperti wanita-wanita Arab umumnya pada waktu itu, yang memang tidak menggunakan tutup muka. Sampai pada waktu Raihana wafat di tempat Nabi, ia tetap sebagai miliknya.

Adanya serbuan Ahzab serta hukuman yang telah di jatuhkan kepada Banu Quraiza, telah memperkuat kedudukan Muslimin di Medinah. Orang-orang golongan Munafik sudah samasekali tidak bersuara lagi. Semua masyarakat dan kabilah-kabi]ah Arab sudah mulai bicara tentang kekuatan dan kekuasaan Muslimin, disamping posisi dan kewibawaan Muhammad yang ada. Akan tetapi ajaran itu bukan hanya buat Medinah saja, meiainkan buat seluruh dunia. Jadi Nabi dan sahabat-sahabatnya masih harus terus meratakan jalan dalam menjalankan perintah Allah, dalam mengajak orang menganut agama yang benar, dengan terus membendung setiap usaha yang hendak melanggarnya. Dan memang inilah yang mereka lakukan.



Catatan kaki:1 Khandaq berarti parit. Dalam terjemahan seterusnya sering dipakai kata parit (A).
2 Ghatafan merupakan sekumpulan kabilah-kabilah, yang terkenal diantaranya kabilah ‘Abs dan Dhubyan yang terlibat dalam perang Dahis, dan Dhubyan ini bercabang lagi menjadi ‘Ailan, Fazara, Murra, Asyja’, Sulaim dan lain-lain (A).
3 Aslinya Al-Ahzab, kelompok-kelompok atau puak-puak. Di sini berarti persekutuan atau gabungan kekuatan angkatan perang kabilah-kabilah Arab di sekitar Mekah dan Medinah serta golongan Yahudi, yang bersama-sama hendak menghancurkan kaum Muslimin di Medinah. Dalam terjemahan selanjutnya lebih banyak dipergunakan kata Ahzab (A).
4 Yakni Hari Sabat, hari besar agama Yahudi (A)

X
Donasi yang tertampung akan digunakan untuk perkembangan Aplikasi/website ini, dan sebagian akan disumbangkan untuk Mesjid atau Madrasah

Donasi dapat melalui bank BRI
No Rekening : 416001002997504
Atas Nama : Yudi Mansopyan

Terimakasih..!