Fiqh Imam Madzhab
Madzhab Hanafi
Kelahiran dan Sikap Politik Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M.)
Madzhab Hanafi didirikan oleh an-Nu’man ibn Thabit ibn Zuthi, yang lebih dikenal dengan Abu Hanifah (lahir di Kufah). Beliau hidup di dua zaman (52 tahun masa Umayyah—’Abd al-Malik ibn Marwan—dan 18 tahun Abbasiyah). Sikap politiknya berpihak pada keluarga Ali (ahlul bait) yang teraniaya. Ketika Yazid ibn Umar ibn Hubairah menjadi gub. Irak, Abu Hanifah menolak menjadi hakim atau bendahara negara, sehingga dipenjara. Lolos hijrah ke Mekah. Setelah Dinasti Umayyah berakhir, beliau pulang kampung. Sayang kebijakan al-Manshur (Abbasiyah) juga menindas ahlul bait. Abu Hanifah tampil mengkritik pemerintah, dan menolak dijadikan hakim. Dipenjara dan dicambuk, meninggal di penjara (150 H).
Guru dan Murid Abu Hanifah
Cara Ijtihad Abu Hanifah
Ijtihad Tambahan Abu Hanifah
- Dilalah ‘am (lafad umum) adalah qath’i, seperti lafad khash
- Pendapat sahabat yang “tidak sejalan” dengan pendapat umum adalah bersifat khusus
- Banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)
- Menolak mafhum (makna tersirat) syarat dan shifat
- Apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya
- Mendahulukan qiyas jali atas khabar Ahad yang dipertentangkan
- Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan.
Fikih Abu Hanifah
- benda wakaf masih tetap milik wakif, wakaf = Ariyah, kecuali wakaf untuk mesjid, wakaf dengan penetapan hakim, wakaf wasiyat, dan wakaf yang diikrarkan untuk diteruskan walau wakif meninggal dunia. Abu Yusuf dan asy-Syaibani meralat pendapat ini setelah mendapatkan praktek wakaf Umar ibn al-Khattab yang tertulis dalam Shaih Bukhari “wakaf tidak boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan”.
- perempuan boleh menjadi hakim, khusus perkara perdata, bukan pidana. Alasannya qiyas; perempuan boleh menjadi saksi perdata (ashl), hakim (far’u)
- Abu Hanifah dan ulama Kufah; shalat gerhana dilakukan 2 raka’at seperti shalat ‘id, tidak dilakukan 2 x ruku dalam satu raka’at.
Kitab Fikih Hanafiyah
Menurut Abu Zahrah, Abu Hanifah tidak menulis kitab secara langsung kecuali beberapa ‘risalah’ kecil yang dinisbahkan kepadanya, seperti risalah al-Fiqh al-Akbar dan al-’Alim wa al-Muta’alim.
Masalah fikih dalam madzhab Hanafi dibedakan menjadi 3, yaitu: al-Ushul, an-Nawadir, dan al-Fatawa.
Al-Ushul: masalah-masalah yang termasuk zhahir ar-riwayah, yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan 3 sahabat/muridnya. Asy-Syaibani telah mengumpulkannya dalam Zhahir ar-Riwayah. Ada 6 kitab; al-Mabsuth/al-Ashl, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ as-Shagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Shagir, dan az-ziyadat. Keenamnya kemudian disusun oleh Hakim as-Syahid menjadi satu kitab, al-Kafi. Al-Kafi dikomentari/disyarah oleh Syamsuddin as-Syarakhshi yang diberi nama al-Mabsuth (30 Jilid).
An-Nawadir: pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam kitab zahir ar-riwayah. Yang termasuk an-Nawadir: al-Kaisaniyyat,ar-Ruqayyat, al-Haruniyyat, dan al-Jurjaniyyat. Setelah muridnya, ganti murid dari muridnya menyusun kitab, yaitu Ala’uddin Abi Bakr ibn Mas’ud al-Kasani al-Hanafi (w. 587H) menyusun Bada’i as-Shana’i dan Fi Tartib asy-Syara’i.
Al-Fatawa: pendapat para pengikut Abu Hanifah yang tidak diriwayatkan dari Abu Hanifah, seperti kitab an-Nawazil karya Abi al-Laith as-Samarqandi. Kitab fatawa yang terkenal: 1. al-Fatawa al-Khaniyyat oleh Qadhi Khan, 2. al-Fatawa al-Hindiyyah, 3. al-Fatawa al-Khairiyyah, 4. al-Fatawa al-Bazziyah, dan 5. al-Fatawa al-Hamidiyyah.
Kitab Hanafiyah Muta’akhkhirin: Jami al-Fushulain, Dlarar al-Hukkam, Multaqa al-Akhbar, Majmu’ al-Anshar, dan Radd al-Mukhtar atau Hasiyah ibn ‘Abidin.
Kitab Ushul fikih: karya Abu Zaid ad-Dabusi (w. 430 H), Fakhr al-Islam al-Bazdawi, dan an-Nasafi (w. 790 H) + syarahnya, Misykat al-Anwar.
Kitab Qawa`id al-Fiqh: Usul al-Karkhi, Tasis an-Nadzar = Abu Zaid ad-Dabusi, al-Asybah wan-Nadza’ir karya Ibnu Nujaim, Majami’ al-Haqa’iq karya Abu Sa’id al-Khadimi (w. 1176H), Majallah al-Ahkam al-’Adliyah (Turki Usmani, 1292 H), al-Fawa’id al-Bahiyah fi al-Qawa’id wal-Fawa’id karta Ibnu Hamzah (w.1305 H), dan Qawa’id al-Fiqh karya Mujaddidi.
Madzhab Maliki
Didirikan oleh Imam Malik, 93-179 H (Malik ibn Anas ibn Abi ‘Amar al-Ashbahi, lahir di Madinah, 93 H). Ulama 2 jaman, Umayah-al-Walid ‘Abd al-Malik (40 tahun), dan Abasiyah-Harun al-Rasyid (46 tahun).
Guru dan Murid Imam Malik
Cara Ijtihad Imam Malik
5 langkah (Ushul Khamsah)
- mengambil dari al-Qur’an
- menggunakan zhahir al-Qur’an (lafad umum)
- menggunakan dalil al-Qur’an (mafhum muwafaqah)
- menggunakan mafhum al-Qur’an (Mafhum mukhalafah)
- menggunakan tanbih al-Qur’an (perhatikan ‘illat)
Ijma’ Ulama Madinah; menurut Musthafa Daib al-Bu’a, beliau lebih mengutamakan ijma ulama Madinah daripada qiyas, khabar Ahad, dan qaul shahabat.
Fikih Imam Malik berdasarkan Ijma’ dan amal ulama Madinah:
- kesucian mustahadah; mustahadah diwajibkan 1x mandi, setelah itu cukup dengan berwudhu (kebanyakan ulama: wajib mandi setiap akan shalat, 3 x mandi sehari—dhuhur-ashar, maghrib-isya, dan subuh).
- berjimak dengan mustahadhah, boleh jika darahnya telah kering (= pendapat Abu Hanifah dan asy-Syafi’i)
- Iqamah shalat. Bacaannya satu kali, awal-akhir (Allahu Akbar) dan qad qamat as-Shalah.
- Bacaan shalat di belakang imam; makmum disunatkan membaca bacaan shalat jika bacaan imam tidak terdengar (berbeda dengan pendapat Abdullah ibn Umar)
- Takbir zawa’id shalat hari raya; rakaat pertama 7x (sudah dengan takbiratul ihram), rakaat ke-2, 5 x takbir. (Syafi’i, rakaat pertama 7 x ditambah takbiratul ihram sendiri, jadi 8 x)
- Jumlah rakaat minimal witir, 3 rakaat dengan 2 salam (Abu hanifah 3 rakaat dengan satu salam, Syafi’i minimal witir 1 rakaat. Pendapat syafii diikuti imam Ahmad ibn Hanbal).
- Salat musafir, jika musafir niat ta’khir tapi ternyata sudah sampai rumah (muqim), ia tetap harus melaksanakan shalat sebagi musafir karena ia dibebani shalat ketika musafir (= Abu Hanifah. Sedangkan Syafi’i, wajib shalat sebagai muqim).
- Bacaan shalat jenazah, setelah takbir pertama memuji Allah (bukan al-Fatihah), dan setelah takbir ke-4 salam (bukan do’a) (berbeda dengan Sfafi’i dan Ibn Qudamah).
- Sujud Tilawah , dianjurkannya sujud tilawah ada di 11 ayat, sedang dalam surat al-hajj, an-Najm, al-Insyiqaq, dan al-’Alaq/al-qalam tidak dianjurkan (Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad, 14 tempat/ayat).
- Zakat harta milik yang mempunyai utang. Jika mempunyai harta + hutang, wajib zakat setelah utang dibayar dan memang mencapai/lebih dari nishab, jika kurang dari se-nishab, tidak wajib (= Abu Hanifah, karena hutang menjadi penghalang kewajiban zakat. Sedangkan Syafi’i, hutang bukan penghalang, sehingga tetap wajib zakat jika sudah se-nishab tanpa terlebih dahulu dipotong utangnya.
- Zakat utang. Piutang yang sudah sampai senishab wajib dikeluarkan zakatnya jika telah kembali, atau dicicil + dengan harta sendiri sudah se-nishab, wajib zakat. (Syafi’i, piutang yang mencapai haul dan nishab wajib dikeluarkan zakatnya—walau belum di kembalikan, tapi mungkin diambil. Jika sulit diambil, tidak wajib zakat=Ah.
- Tanaman dan buah-buahan yang wajib dizakati.harta yang tidak termasuk buah-buahan dan tanaman tidak wajib dizakati, buah delima dan tin juga tidak wajib zakat (Abu Hanifah; setiap yang tumbuh wajib dizakati kecuali kayu bakar, tmbuhan berbuku dan beruas, dan rumput (Yusuf dan Syaibani, hanya tanaman yang berbuah). Syafi’i, hanya tanaman yang sengaja ditanam yang wajib dizakati).
- Berhenti Talbiyah. Talbiyah tidak diucapkan lagi jika matahari terbenam pada hari Arafah (berdasar pendapat Ali ibn Abi Talib)
- Khiyar Majlis, tidak ada (= Abu Hanifah) karena jual beli telah lazim (mengikat) jika sudah ada ijab qabul. (Syafi’i dan Ahmad, ada khiyar majlis. Jual beli belum lazim setelah ijab qabul selama keduanya masih berada dalam satu tempat yang sama dan belum berpisah).
- Barter gandum dengan jelai dengan tambahan. Jelai dan gandum sejenis jadi tidak boleh ditukar dengan tambahan (Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad, keduanya tidak sejenis, jadi boleh ditukar dengan tambahan).
- Bapak menikahkan gadisnya tanpa ijin sah (diikuti Syafi’i. Abu Hanifah, wali tidak boleh memaksa jika gadisnya sudah dewasa).
- Hak Bulan madu bagi suami poligami, 7 hari jika istri barunya gadis dan 3 hari jika janda, diikuti Syafi’i (Abu Hanifah, tidak membedakan gadis dan janda)
- Kadar susuan yang mengharamkan perkawinan. Setiap susuan dapat menjadi sebab haramnya menikah dengan ibu dan saudara sesusuan, sebab banyak/sedikitnya susuan adalah sama (= Abu Hanifah. Sedangkan Syafi’i, susuan minimal 5 x secara terpisah—berdasarkan hadis Aisyah. Mazhab Hanbali ada 3 pendapat: sedikit/banyak, 3 x, dan 5x/lebih susuan yang menjadi haram menikahi)
- Talak dua yang berkelanjutan. Cerai satu/dua, menikah dengan orang lain. kemudian kembali lagi mantan suaminya, menceraikan lagi (dihitung telah talak tiga) (= Syafi’i. Abu Hanifah dan Abu Yusuf, tidak melanjutkan, sehingga dihitung seperti awal atau talak satu).
- Pengaruh zina terhadap perkawinan. Zina tidak dapat menentukan kekerabatan, karena itu anaknya boleh menikah dengan perempuan yang pernah berzina dengan bapaknya (diikuti Syafi’i. Berbeda Abu Hanifah, zina menentukan kekerabatan, tidak boleh menikah)
- Kesaksian penuduh zina setelah tobat, dapat diterima (diikuti Syafii dan Ahmad,Abu Hanifah berbeda = tidak dapat diterima kesaksiannya Qadzif).
Pendapat Imam Malik
- tentang wanita yang menikah pada masa iddah dan telah dukhul. Wajib dipisahkan dan haram selamanya menikah dengan laki-laki yang menikahi dalam masa iddah (Abu Hanifah, Syafi’i dan ath-Thawri, dipisahkan untuk menghabiskan iddah dan boleh kembali)
- Shalat gerhana 2 rakaat dengan 2x ruku’ setiap rakaatnya (berdasar hadis A’isyah)
- Mahar minimal 3 dirham/seperempat Dinar, diqiyaskan dengan nishab harta curian yang dikenai sanksi potong tangan.
Kitab-kitab Malikiyyah
Di antara pengikutnya yang terkenal: Asad ibn al-Furat, Abdus-Salam at-Tanukhi (Sahnun), Ibn Rusyd, al-Qurafi, dan asy-Syatibi.
Kitab utama:
- al-Muwatta, disyarah oleh:
- M.Zakaria al-Kandahlawi, Aujaz al-Masalik ila muwatta Malik
- M. Ibn ‘Abd al-Baqi az-Zarqani, Syarh az-Zarqani ala muwatta al-imam Malik
-Jalaluddin abd Rahman as-Suyuti as-Syafi’i, Tanwir al-Hawalik Syarh ‘ala muwatta. - al-Mudawwanah al-Kubra karya at-Tanukhi
- Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid karya Ibn Rusyd al-Qurtubi al-Andalusi
- Fath ar-Rahim ‘ala fiqh al-imam malik bil-Adillah
- al-I’tisham, Abi Ishaq ibn Musa asy-Syatibi
Kitab U.Fiqh dan Qawaid Maliki
- Syarh Tanqih al-Fushul fi Ikhtishar al-Mahshul fil-Ushul, karya Syihabuddin al-Qurafi
- al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, asy-Syatibi
- Ushul al-Futiya, M. Ibn al-Haris al-Husaini
- al-Furuq, al-Qurafi (w. 684H)
- al-Qawa’id karya al-Maqqari (w. 758H)
Madzhab Syafi’i
Kelahiran Imam Syafi’i (150-204 H)
Nama lengkapnya: Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Usman ibn Syafi’ ibn as-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthalib ibn ‘Abd Manaf. Lahir di Gazza (dekat Palestina), kemudian dibawa ibunya ke Mekah, meninggal di Mesir.
Perjalanan hidupnya, lahir pada masa Bani Abbas (Abu Ja’far al-Manshur). Belajar hadis dan fikih di Mekah, pindah ke Madinah belajar pada Imam Malik. Setelah Imam Malik meninggal (179), Syafi’i menjadi PN di Yaman. Gub Yaman menuduhnya bersekongkol dengan ahlul bait untuk menggulingkan pemerintah, tapi ia lolos berkat bantuan qadli Bagdad Muhannad ibn al-Hasan asy-Syaibani. Syafi’i belajar pada asy-Syaibani mempelajari fikih Iraq. Kembali ke Mekah, mengajar di mesjid al-Haram fikih dengan dua corak (9 tahun), tahun 195 kembali lagi ke Iraq (2 tahun beberapa bulan). Tidak betah di Iraq karena al-Makmun cenderung berpihak pada unsur Persia dan dekat dengan Mu’tazilah. Menolak jadi hakim dan pindah ke Mesir.
Guru dan Murid Syafi’i; dalam peta aliran pemikiran fikih sunni, ia mrp ulama “sintesis” dari dua aliran yang berbeda; aliran Madinah dan Iraq. Ia juga mempelajari fikih al-Auza’i dari Umar ibn Abi Salamah dan mempelajari fikih al-Laith dari Yahya ibn Hasan.
Cara Ijtihad Imam Syafi’i
Thuruq al-Istinbat al-Ahkam Syafi’i:
- Rujukan pokok/asal adalah al-Qur’an dan Sunnah; jika tidak ada, ia melakukan qiyas terhadap keduanya
- Sunnah digunakan jika muttasil dan sanadnya sahih
- Ijma lebih diutamakan atas khabar mufrad
- makna hadis yang diutamakan adalah makna zhahir (jika lafadznya ihtimal = mengandung makna lain); hadis munqathi tertolak kecuali riwayat Ibn al-Musayyab
- asal (pokok) tidak boleh diqiyas/analogikan kepada asal/pokok; al-Qur’an dan as-Sunnah tidak boleh dipertanyakan lima wa kaifa (karena ini pertanyaan pada furu’)
- Qiyas dapat menjadi hujjah jika peng-qiyasannya benar
Kesimpulan: dalil hukum Syafi’i adalah al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Teknik ijtihadnya adalah Qiyas dan Takhyir jika menghadapi ikhtilaf pendahulunya.
Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Qaul Qadim; pendapat Syafi’i yang dikemukakan di Iraq, bercorak ra’yu
Qaul Jadid; pendapat Syafi’i ketika di Mesir—bertemu dan berguru dengan sahabat Imam Malik–, bercorak hadis (mulai tahun 199 H)
Sebab munculnya qaul jadid; 1. Syafi’i mendengar dan menemukan hadis dan fikih yang diriwayatkan ulama Mesir yang tergolong ahlul-hadis—yang tidak didapatkan di Iraq dan Hijaz, 2. ia menyaksikan adat dan kegiatan muamalah yang berbeda dengan di Iraq. Qaul Jadid dikumpulkan di al-Umm. Jadi qaul jadid adalah refleksi dari kehidupan sosial yang berbeda.
Kitab yang menghimpun qaul qadim dan jadid adalah; 1. al-Muhadzab fil-fiqh al-Imam asy-Syafi’i karya Abi Ishaq Ibrahim asy-Syirazi, 2. al-Imam asy-Syafi’i fi Madzhabaih al-Qadim wa al-jadid karya Ahmad Nahrawi Abdussalam.
Adanya qaul qadim dan jadid sering dijadikan alasan oleh pembaharu untuk memodifikasi fikih Islam
Pendapat Syafi’i
- Imamah; termasuk masalah agama—amr diniy, karenanya mendirikan imamah merupakan kewajiban agama—bukan sekedar kewajiban aqli. Pemimpin umat Islam harus orang Islam dan non-muslim terlindungi. Pemimpin mesti dari kalangan Quraish berdasarkan hadis yang dijadikan kunci penyelesaian konflik di saqifah Bani Sa’adah (Bukhari, VIII: 105 dan Muslim, II: 120). Kriteria pemimpin berkualitas: berakal, dewasa, merdeka, muslim, laki-laki, dapat berijtihad, berkemampuan manajerial/tadbir, gagah berani, melakukan perbaikan agama, dan quraish.
- Hakim Perempuan, tidak boleh secara mutlak, diqiyaskan dengan tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin. Syarat hakim: muslim, dewasa, merdeka, laki-laki, adil, dapat mendengar, melihat, berbicara, berkecukupan, dan mampu berijtihad.
Rujukan Syafi’iyah
Rujukan utama yang pada awalnya diimlakan kemudian ditulisnya adalah kitab al-Umm (hujjah al-ula), kedua ar-Risalah (karena kitab ini, Syafi’i dianggap sebagai Bapak Ushul Fiqih). Kitab yang lain: Musnad lisy-Syafi’i, al-Hujjah, dan al-Mabsuth.
Kitab Kaidah Fikih:
- Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Ibnu Abdis-Salam (w. 660H),
- 4 kitab al-Asybah wan-Nadza’ir karya Ibnu Wakil (w.716), Tajuddin as-Subki (w. 771), Ibn Mulaqqin (w. 804H), dan Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H).
Madzhab Hanbali
Kelahiran Ahmad ibn Hanbal (164-241H)
Nama lengkapnya Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad asy-Syaibani al-Marwazi. Lahir di Baghdad pada masa khalifah Musa al-Mahdi. Pada masa al-Makmun, madzhab negara adalah Mu’tazilah. Ia terkena mihnah karena tidak menjawab khalq al-qur’an ‘makhluq/tidak (qadim), dipenjara pada masa Mu’tashim (220H). Jamannya al-Watsiq, dikeluarkan—jadi tahanan rumah, baru setelah al-Mutawakkil, mihnah dihapuskan.
Beliau disepakati sebagai ahli hadis, tetapi kepakarannya dalam bidang fikih diperselisihkan. Ibnu Jarir at-Thabari, Ibnu Qutaibah—dalam kitab al-Ma’arif—dan al-Maqdisi mengelompokkannya sebagai ahli hadis, bukan ahli fikih.
Guru dan Murid Imam Ahmad
Cara Ijtihad Imam Ahmad
Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, pendapat Imam Ahmad dibangun atas 5 dasar:
- an-Nusus dari al-Qur’an dan Sunnah, makna tersurat (tersirat diabaikan)
- Jika tidak ada nusus, menukil fatwa sahabat yang disepakati. Jika berbeda-beda, ambil pendapat yang lebih dekat kepada nusus
- Memakai hadis mursal dan dha’if apabila tidak ada atsar, qaul sahabat, atau ijmak yang menyalahinya
- Jika tidak ada mursal dan daif, memakai qiyas (qiyas jika terpaksa
- Memakai sadd az-Zara’i (preventiv terhadap hal negatif).
Fikih Ahmad ibn Hanbal
- Nishab harta curian yang pelakunya dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 dirham; pencuri dengan kadar ¼ dinar harus dipotong tangannya meskipun tidak sebanding dengan 3 dirham, begitu juga jika sudah mencapai 3 dirham walaupun tidak sebanding dengan ¼ dinar.
- Dalam bidang pemerintahan, mewajibkan ketaatan mutlak pada pemimpin—baik/jahat. Tidak taat = maksiyat, mati dalam keadaan jahiliyyah.
- Muamalah, membenarkan adanya khiyar majlis; selama belum berpisah, belum lazim, berdasar hadis dari Nafi dan Abdullah ibn Umar: والمتبيعان كل واحد منهما بالخيار مالم يتفرقا بابدانهما
Kitab-kitab Hanabilah
- Mukhtashar al-Khurqi, Abul-Qasim Umar ibn al-Hasan al-Khurqi (w. 334H), yang di syarh oleh Ibnu Qudamah (w.620), yaitu al-Mughni Syarh ala Mukhtashar al-Khurqi
- Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah, Taqiyuddin Ahmad ibn Taimiyyah (w. 728)
- Ghayat al-Muntaha fil-Jam’i bainal-Iqna’ wal-Muntaha, Mar’i ibn Yusuf al-Hanbali (w. 1032H), dan
- Al-Jami’ al-Kabir, Ahmad ibn Muhammad ibn Harun/Abu Bakar al-Khallal.
Madzhab Zhahiri
Pendirinya Abu Sulaiman Daud ibn ‘Ali ibn Khalaf al-Ashbahani al-Baghdadi (202-270H), lahir di Baghdad. Setelah selang waktu yang cukup lama, madzhab ini diteruskan oleh Ibnu Hazm al-Andalusi (384-456H).
Disebut aliran Zhahiri, karena dinisbahkan kepada gelar pendirinya, Daud az-Zhahiri. Diberi gelar az-Zhahiri karena pendapatnya tentang cara memahami al-Qur’an dan Sunnah, yakni dengan menggunakan makna zhahir.
Awalnya imam Daud belajar fikih Syafi’i kepada gurunya di Baghdad, kemudian melakukan perjalanan ke Naisabur untuk belajar Hadis. Setelah itu keluar dari aliran Syafi’i dan membangun aliran sendiri.
Alasan keluar, Syafi’i berpendapat nash bisa dipahami secara tersurat maupun tersirat. Daud menolak, menurutnya, Syari’ah itu terkandung hanya dalam nash, tidak ada wilayah ra’yu dalam syari’ah, sehingga qiyas juga batal. “Sasya mengambil dalil Syafi’i dalam membatalkan Istihsan. Saya mendapatkan alasan itu untuk menolak qiyas”. Sangat anti qiyas, bahkan ia berkata “Yang pertama melakukan qiyas adalah Iblis”