Penulis: Ustadz Muhammad Umar as Sewed
Dalam menerapkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tidak boleh lepas dari kaidah maslahat (pengaruh yang baik) dan mafsadah (pengaruh yang jelek)nya.
Para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah umum yang ma’ruf dan dikenal dalam kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih. Kaidah tersebut diantaranya: “Jika dihadapkan kepada kita dua mafsadah, maka kita harus menghindari mafsadah yang lebih besar dengan mengerjakan yang lebih kecil”. Atau kaidah yang sejenisnya yakni “Menolak mafsadah lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat”.
Kaidah-kaidah yang seperti ini sesungguhnya diterapkan kalau terjadi dilematis antara 2 keadaan. Artinya jika dihindari yang satu, maka akan terkena yang lainnya. Adapun jika keadaannya tidak seperti itu, maka jelas mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam merupakan maslahat yang besar.
Kaidah-kaidah para ulama tadi diambil dari dalil-dalil yang banyak dan shahih. Salah satu di antaranya adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Aisyah:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْجَدْرِ أَمِنَ الْبَيْتِ هُوَ؟ قَالَ نَعَمْ. قُلْتُ فَمَا لَهُمْ لَمْ يُدْخِلُوْهُ فِي الْبَيْتِ؟ قَالَ إَنَّ قَوْمَكِ قَصَّرَتْ بِهِمُ النَّفَقَةُ. قُلْتُ فَمَا شَأْنُ بَابِهِ مُرْتَفِعًا؟ قَالَ فَعَلَ ذَلِكَ قَوْمُكِ لِيُدْخِلُوْا مَنْ شَاؤُوْا وَيَمْنَعُوْا مَنْ شَاؤُوْا وَلَوْلاَ أَنْ قَوْمَكِ حَدِيْثٌ عَهْدُهُمْ بِالْجَاهِلِيَّةِ فَأَخَافُ أَنْ تُنْكِرَ قُلُوْبَهُمْ أَنْ أَدْخُلَ الْجَدْرَ فِي الْبَيْتِ وَأَنْ أُلْصِقَ بَابَهُ بِاْلأَرْضِ. (رواه البخاري ومسلم)
Aku bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Apakah al-jadru (Hijr Ismail) itu termasuk Baitullah (Ka’bah)?”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab: “Ya”. Aku katakan: “Kalau begitu mengapa tidak dimasukkan ke dalam Baitullah?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya kaummu kekurangan dana”. Aku bertanya lagi: “Dan kenapa pintunya berada di atas?” Beliau menjawab: “Dibangun sedemikian rupa supaya kaummu bisa memasukkan siapa yang dikehendaki dan melarang siapa yang dikehendakinya. Kalau saja bukan karena kaummu yang baru masuk Islam dan sangat dekat dengan jahiliyah -yang aku khawatir hati-hati mereka akan mengingkarinya, niscaya aku akan memasukkan al-Jadru ke dalam bangunan Baitullah dan niscaya aku tempelkan pintunya ke bumi.” ( HR. Bukhari dan Muslim ).Hadist ini dimasukkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya dengan diberi judul: ”Bab meninggalkan sesuatu yang baik karena kekhawatiran kurangnya pemahaman manusia, hingga akan menyebabkan mereka bertambah jauh.” Ibnu Hajar dalam syarh hadist ini mengatakan: “Hadist ini memberikan faedah tentang bolehnya meninggalkan suatu maslahat karena kekhawatiran terjatuh ke dalam mafsadah”.
Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dianjurkan bagi seseorang untuk memiliki tujuan melembutkan hati-hati manusia dengan cara meninggalkan beberapa hal yang mustahab (tidak wajib). Karena maslahat menyatunya hati-hati kaum muslimin terhadap agamanya lebih besar daripada maslahat yang akan didapatkan dengan mengerjakannya. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam meninggalkan untuk membangun Ka’bah (dengan menyatukan Hijr Ismail dengan bangunan ka’bah –pent), karena dengan cara yang demikian akan terjaga hati-hati kaum muslimin yang baru masuk Islam pada saat itu”.
Juga dicontohkan oleh Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘anhu. Ketika beliau melihat perbuatan khalifah Utsman ibn Affan yang tidak mengqashar shalatnya ketika dalam safar. Beliau mengingkarinya dengan mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, aku shalat di belakang Abu Bakar dan Umar, keduanya mengqashar shalatnya. Namun Utsman bin Affan menyempurnakan shalatnya”. Meskipun demikian, beliau tetap sholat di belakang Utsman empat rakaat. Ketika hal ini ditanyakan kepadanya, beliau mengatakan bahwa perselisihan adalah suatu kejelekan.
Demikian pula jawaban khalifah Utsman bin Affan ketika beliau ditanya mengapa beliau menyempurnakan shalat dan tidak mengqasharnya. Beliau menjawab bahwa karena pada saat itu banyak orang awam dan mereka yang baru masuk Islam, maka beliau khawatir jika mereka menganggap bahwa shalat dluhur itu dua rakaat. Ini menunjukkan bahwa ta’liful qulub (menjinakkan hati) lebih besar maslahatnya daripada mengerjakan hal yang mustahab.
Oleh karena itu, mengerjakan suatu amalan sunnah bisa jadi pada satu keadaan menjadi mustahab (dianjurkan); namun dalam keadaan lain, meninggalkannya lebih afdhol sesuai dengan maslahat yang lebih unggul. (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juz 22, hal. 407).
Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa dalam masalah ini maslahat yang dimaksud adalah maslahat agama atau maslahat yang syar’iyah, bukan maslahat pribadi atau maslahat dunia (keuntungan dunia) belaka. Dan juga kaidah ini berlaku pada hal-hal yang hukumnya mustahab bukan pada perkara yang wajib. Adapun jika perkara itu adalah perkara yang wajib, maka meninggalkannya akan mendapat dosa dan diancam dengan adzab api neraka. Adakah mafsadah yang lebih besar dari pada masuknya seseorang ke dalam api neraka?
Kaidah ini tidak bertentangan dengan kaidah asal yang memerintahkan untuk senantiasa menghidupkan sunnah. Karena kaidah yang sedang kita bahas ini bersifat sementara dan pada keadaan tertentu, bukan untuk mematikan sunnah selama-lamanya.
Dalam masalah ini ada sebagian di antara kaum muslimin yang melampaui batas, seperti Ikhwanul Muslimin, Sururiyin (pengikut Muhammad Surur Nayif Zainal Abidin), Qutbiyyun (pengikut Sayid Qutub) dan sejenisnya. Mereka menggunakan kaidah ini dalam metode dakwahnya secara berlebihan, hingga mereka mematikan sunnah dan menggagap sunnah sebagai penghalang da’wah. Bahkan di antara mereka ada yang mendudukkan “Maslahatu Da’wah” seakan-akan tuhan, mereka menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan Allah, mengharamkan hal-hal yang telah dihalalkan, merubah syari’at, mematikan sunnah, bahkan membenci ahlussunnah yang menghidupkan sunnah hanya dengan alasan Maslahatud Da’wah (kepetingan dakwah).
Kita katakan bahwa kalau meninggalkan sunnah secara keseluruhan, apalagi meninggalkan perkara-perkara yang wajib, maka itu bukan maslahat untuk da’wah, bukan pula untuk agama ini, bahkan yang terjadi adalah mafsadah yang besar dan kehancuran Islam.
Berkata Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘anhu: ”Akan muncul suatu kaum yang meninggalkan sunnah seperti ini (yaitu satu ruas jari). Jika kalian biarkan, niscaya mereka akan mendatangkan bencana yang besar. Sesungguhnya tidaklah ahlul kitab meninggalkan agamanya kecuali diawali dengan meninggalkan satu sunnah demi satu sunnah, hingga berakhir dengan meninggalkan sholat. Kalau mereka tidak berusaha menghidupkan sunnah niscaya mereka pun akan meninggalkan sholat.” (diriwayatkan oleh al-Lalikai di dalam Syarh Ushulul I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, juz 1/91).
Untuk itu kita harus memiliki dan menerapkan kadah-kaidah dalam penerapan sunnah secara lengkap. Jangan mengambil salah satunya dan membuang yang lainnya. Kaidah yang pertama dan utama adalah bagaimana menghidupkan sunnah secara keseluruhan pada diri kita dan masyarakat kita. Allah berfirman:
يَآ أَيُّهَا الَذِيْنَ ءَامَنُوْا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَآفَةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ. ]البقرة: 208[
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan. Dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (al-Baqarah: 208)Kami berikan satu contoh, yaitu ketika kita melihat satu sunnah yang tidak wajib hukumnya (mustahab) seperti sunnahnya sholat memakai sandal. Dalam keadaan masyarakat yang jahil dan diperkirakan akan dapat menjadi fitnah bagi mereka dengan mencela sunnah tersebut atau mencela dakwah ahlu sunnah, maka hendaknya kita tidak mengerjakan atau lebih tepatnya menunda hingga kita menyampaikan ilmunya, menerangkan dalilnya, menegakkan hujahnya, membuktikan keshahihan riwayatnya dan menjelaskan istimbat hukumnya menurut para ulama agar tidak membuat salah paham mereka.
Berkata Syaikh Abdussalam bin Barjas: “Pemahaman yang benar terhadap kaidah ini adalah jika pada penerapan suatu sunnah dapat mengakibatkan mafsadah yang jelas lebih besar dari maslahat yang didapatkannya maka tahanlah sunnah tersebut di tempat tersebut (pada saat tersebut) dengan mengupayakan beberapa perkara:
1. Wajib menasehati mereka dan mengingatkan mereka tentang kedudukan sunnah yang tinggi dan agung tersebut.
2. Tidak meninggalkan sunnah tersebut untuk selamanya.
3. Jika diketahui bahwa para penentang sunnah tersebut menolaknya bukan karena bodoh, tetapi karena benci terhadap sunnah tersebut, karena ta’ashub (fanatik) kepada madzhab tertentu atau karena mengikuti aliran tertentu, maka sunnah harus tetap ditegakkan. Tidak peduli dengan mereka atau seribu orang seperti mereka. Karena telah shahih riwayatnya bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
...فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّيْ... (رواه البخاري)
...Barangsiapa yang benci pada sunnahku, maka dia bukan dari golonganku... (HR. Bukhari)Selanjutnya Syaikh Abdussalam bin Barjas mengatakan: “Karena maslahat besar yang kita inginkan adalah bagaimana kita mewujudkan kasih sayang di antara ahlus sunnah dan sebaliknya menghilangkan permusuhan dan kebencian di antara mereka, maka ketika telah diketahui seseorang atau sekelompok tertentu benci kepada sunnah, maka hilanglah kasih sayang kita kepada mereka dan wajib memboikot dan membenci mereka karena Allah.
Hal ini berbeda keadaannya jika yang membenci dan menolak sunnah adalah orang awam seperti kebanyakan kaum muslimin. Jika kita menunda beberapa perkara yang tidak wajib karena mengimbangi mereka hingga mereka paham terhadap perkara tersebut, hal ini adalah satu sikap yang bijaksana dan perkara yang disyari’atkan. Sikap ini dilakukan agar kebodohan mereka tidak membawa mereka terjerumus dalam ucapan-ucapan yang tidak pantas diucapkan. Langkah berikutnya adalah mengenalkan kepada mereka sunnah-sunnah tersebut dengan penuh hikmah dan kelembutan. Kalau perlu meminta bantuan kepada orang-orang yang berilmu dalam masalah tersebut.
Kalau upaya-upaya tersebut telah dilakukan dan telah jelas bagi mereka petunjuk, namun mereka tetap membenci dan menolaknya, maka gabungkanlah mereka dengan kelompok tadi (yakni ahlil bid’ah). (Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal. 96-97)
Sumber : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=738