Adzan secara lughawi (etimologi): Menginformasikan semata-mata. Sedangkan secara istilah (terrninologi) adalah: Menginformasikan (memberitahukan) tentang waktu-waktu shalat dengan kata-kata tertentu. Adzan ini telah diperintahkan (dilakukan) sejak pada tahun pertama dari Hijrah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam ke Madinah. Sedangkan diperintahkan (disyariatkan) menurut Syi’ah adalah bahwa malaikat Jibril yang membawa turun dari Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam yang Mulia. Sedangkan menurut Sunni adalah Abdullah bin Zaid bermimpi ada orang yang mengajarinya, kemudian diceritakan hasil mimpinya itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam memastikannya untuk dipergunakan.
Adzan Adalah Sunnah
Hanafi, Syafi’i dan Imamiyah: Adzan itu adalah sunnah muakkad (yang dikuatkan). Hambali: Adzan itu adalah fardhu kifayah di desa-desa dan di kota-kota pada sedap shalat lima waktu bagi lelaki yang mukim bukan musafir. Maliki: Wajib fardhu kifayah disuatu desa (negara) yang didirikan shalat Jum’at. Bila penduduk desa (negara) tersebut meninggalkannya (mengabaikannya), maka mereka harus diperangi.
Adzan Tidak Boleh Pada Hal-hal Berikut
Hambali: Adzan itu tidak dilakukan untuk jenazah, shalat sunnah dan shalat nadzar. Maliki: Adzan itu tidak boleh untuk shalat sunnah, shalat yang telah lewat, dan tidak pula untuk shalat jenazah.Hanafi: Tidak boleh untuk shalat jenazah, juga tidak untuk shalat dua hari raya, gerhana matahari dan gerhana bulan, shalat tarawih dan tidak boleh pula untuk shalat sunnah. Syafi’i: Tidak boleh untuk shalat jenazah, dan tidak pula pada shalat nadzar, dan tidak pula shalat-halat nafilah (sunnah) lainnya. Imamiyah: Adzan itu tidak diperintahkan kecuali pada shalat-shalat yang sehari-hari saja dan setelah itu disunnahkan untuk shalat qadha’ dan fardhu, baik berjama’ah maupun sendiri, baik musafir maupun bukan, baik wanita maupun lelaki. Dan tidak boleh adzan untuk shalat apa saja selain hal tersebut diatas, baik sunnah maupun wajib. Hanya pada shalat dua hari raya dan gerhana (baik bulan maupun matahari) seorang yang adzan itu cukup dengan mengucapkan “As-Sholah” sebanyak tiga kali.
Syarat-syarat Adzan Semua ulama mazhab sepakat bahwa syarat sahnya adzan adalah kata-katanya harus berurutan dan tertib antara tiap-tiap bagiannya, dan orang yang adzan itu harus orang lelaki,19 muslim, dan berakal, tetapi sah juga kalau yang adzan itu anak kecil yang sudah mumayyiz (bisa membedakan antara yang bersih dan tidak). 19 Imamiyah: Bagi wanita disimnahkan adzan kalau mau shalat, tapi bukan untuk memberitahukan, sebagaimana disunnahkan juga shalat jama’ah bagi wanita agar salah seorang dari mereka adzan dan iqamat, hanya diusahakan agar suaranya itu tidak terdengar oleh lelaki. Empa mazhab: Hanya disunnahkan untuk iqamat, dan dimakruhkan adzan. Semua ulama juga sepakat bahwa adzan ini tidak disyaratkan untuk suci.
Ulama mazhab berbeda pendapat selain hal di atas.Hanafi dan Syafi’i: Sah adzan tanpa niat. Mazhab-mazhab lain: Harus dengan niat. Hambali: Adzan itu boleh dengan bahasa selain bahasa Arab secara mutlak.Maliki, Hanafi dan Syafi’i: Bagi orang Arab tidak boleh adzan dengan selain bahasa Arab, dan bagi orang selain orang Arab boleh adzan dengan bahasanya sendiri untuk dirinya dan untuk para jama’ahnya. Imamiyah: tidak boleh adzan sebelum masuk waktu shalat fardhu selain shalat Shubuh. Syafi’i, Maliki, Hambali dan kebanyakan dari Imamiyah: Boleh mendahulukan adzan untuk memberitahukan tentang shalat Shubuh. Hanafi: Dilarang mendahulukannya, dan tidak membedakan antara shalat Shubuh dengan shalat-shalat lainnya dan pendapat ini adalah lebih selamat.
Bentuk (Contoh) Adzan
“Allah Maha Besar”, adalah empat kali menurut semua ulama mazhab.20 20 Selain Maliki, karena Maliki berpendapat bahwa bertakbir itu cukup dua kali saja. Mari melaksanakan Shalat”, dua kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab. “Marilah menuju pada sebaik-baiknya perbuatan”, dua kali menurut Imamiyah saja. “Allah Maha Besar”, dua kali menurut kesepakatan semua ulama mazhab. “Tidak ada Tuhan selain Allah”, satu kali menurut empat mazhab, tetapi menurut Imamiyah dua kali. Maliki dan Syafi’i: Boleh mengulang dua kali, hanya yang kedua kali itu adalah sunnah. Maksudnya tidaklah batal adzannya yang mencukupkan dengan satu kali, sebagaimana pendapat Imamiyah, bahwa pengulangan itu dinamakan i’addah (pengulangan lagi). Pengarang buku Al-Fiqhu ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah menukil tentang kesepakatan empat mazhab, yang menyatakan bahwa tatswib itu disunnahkan, yaitu menambah: “Shalat itu adalah lebih baik dan tidur”, dua kali setelah “Marilah menuju pada sebaik- baiknya perbuatan Tetapi Imamiyah melarangnya. 2121 Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayatul Mujtahid Jilid 1 halaman 103, cetakan tahun 1935 menjelaskan: Ada yang berpendapat bahwa tidak boleh mengatakannya, karena kalimat tersebut tidak termasuk adzan yang disunnahkan. Syafi’i memban-tahnya, yaitu bahwa sebab perbedaannya adalah, apakah penambahan itu terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam atau pada masa Umar. Dalam buku Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, jilid I, halarnan 408, cetakan ketiga, dijelaskan: Ishaq berpendapat bahwa penambahan itu adalah merupakan sesuatu yang diadakan (diciptakan) oleh manusia. Abu ‘Isa berpendapat: Tatswib ini adalah hal yang tidak disukai oleh para ahl ilmu (ilmuwan). Tatswib inilah yang menjadikan Ibnu Umar keluar dari masjid ketika mendengarnya.