Buku ini mencakup pengenalan ringkas tentang sejarah Al-Qur'an dari segi penulisan dan koleksinya. Barangkali muncul pertanyaan dari kalangan pembaca mengapa sepertiga isi buku ini mengupas Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru segala. Apa ada kaitannya dengan sejarah A1-Qur'an. Kami berharap pertanyaan ini dapat terungkap secara rinci melalui bab-bab yang menyentuh akar permasalahan.
Sebenarnya fikrah penulisan tentang koleksi dan pemeliharaan Al-Qur’an yang demikian unik telah mengusik pikiran kami sejak tiga setengah tahun yang silam. Buku yang sedang Anda baca ini, kami kerjakan bersamaan dengan tulisan lain tentang Metodologi Studi Keislaman. Tulisan Toby Lester (seorang wartawan) yang dimuat di The Atlantic Monthly bulan Januari, 1999, berusaha mengacaukan pikiran yang sedemikian parah di kalangan umat Islam dan telah membakar semangat konsentrasi penulisan. la mengatakan, "Kendati umat Islam percaya Al-Qur’an sebagai kitab suci Allah yang tak pernah ternoda dari pemalsuan mereka, tak mampu mengemukakan pendapat secara ilmiah." Tantangan ini mengemuka dan kami merasa terpanggil menghadapinya dengan mengupas tentang metode penelitian yang layaknya dipakai oleh ilmuwan di masa silam dalam menerima teks Al-Qur'an yang benar dan sikap penolakan mereka terhadap pemalsuan. Hal ini pula yang menyebabkan terjadinya pengulangan yang tak terelakkan dari beberapa materi buku ini. Karena sebagian besar ilmuwan, seperti dikutip oleh T. Lester, terdiri dari kaum Yahudi dan Kristen, maka kesimpulan kami akan dirasa tepat guna mengadakan pembedahan secara tuntas terhadap Kitab Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama sebagai studi banding. Dengan cara ini diharap dapat membantu para pembaca dalam menyikapi perbedaan pendapat antara cendekiawan muslim dan para orientalis secara objektif dan kritis.
Dengan memberi penekanan pendapat tentang transformasi teks Al-Qur'an seutuhnya secara lisan, kalangan orientalis berusaha menepis sejarah penulisan dan kompilasinya di masa Muhammad . (Banyak di antara mereka yang menepis anggapan bahwa hasil kompilasi di masa khalifah Abu Bakr dan sebagian yang lain lebih dapat menerima upaya yang dilakukan oleh ‘Uthman. Hanya selisih lima belas tahun setelah wafatnya Rasulullah dengan distribusi naskah Al-Qur'an ke pelbagai wilayah Dunia Islam. Dengan melihat rentang masa dan kekeliruan yang amat mendasar, kalangan orientalis berusaha memaksakan pendapat tentang kemungkinan terjadinya kesalahan yang menyeruak ke dalam teks Al-Qur'an di masa itu. Herannya, pa:a ilmuwan Kitab Injil selalu menganggap benar sejarahnya, meskipun beberapa Kitab Perjanjian Lama ditulis berdasarkan transformasi lisan setelah berselang delapan abad lamanya.1
Perhatian utama kaum orientalis tercurah pada aspek naskah bahasa Arab dengan menyentuh segi-segi kelemahannya, kendati hanya setengah abad setelah wafatnya Rasulullah dalam penyusunan naskah tulisan dan menghilangkan asal usul yang memiliki dwimakna. Mereka menuduh periode tersebut sebagai distorsi penting terjadinya pemalsuan teks asli, kendati dengan cara ini mereka menolak anggapan sebelumnya tentang keberadaannya secara lisan yang pada hakikatnya, orang-orang pada masa itu telah menghafal AlQur' an dan bahkan memiliki naskah tertulis. Oleh karena itu, "naskah yang tidak lengkap" tidak memberi pengaruh sedikit pun dalam rentang masa lima puluh tahun. Sebaliknya naskah bahasa Yahudi, yang mengalami transmisi saat kembalinya orang Yahudi itu dari Babilonia ke bumi Palestina sejak masa penawanan, sama sekali tanpa bukti ilmiah dan hal demikian berlaku selama dua ribu tahun hingga terjadinya kontak dengan orang-orang Arab Muslim yang memacu mereka dalam hal tersebut. Adanya anggapan bahwa selisih waktu lima puluh tahun sebagai pembuktian hancurnya naskah Al-Qur'an dan kemungkinan adanya keragu-raguan, sangat tidak masuk akal. Di waktu yang sama Kitab Perjanjian Lama mengalami kesenjangan masa transmisi lisan selama dua abad.
Melalui argumentasi dan bukti-bukti yang meyakinkan, pada masa itu terdapat Mushaf Hijazi sejak abad awal Hijriah (akhir abad ke-7 dan permulaan abad ke-8 Masehi). 2 Selain itu, juga terdapat bukti kuat adanya beberapa bagian naskah AI-Qur'an yang ditulis pada permulaan abad pertama. Menolak anggapan akan nilai lembaran tulisan itu, para orientalis beranggapan bahwa mereka terlambat dalam membuktikan teks Al-Qur'an yang bersih dari noda hitam. Mereka lebih senang mengikuti anggapan serta pendapat yang tak dapat dipertanggung jawabkan.3 Dengan membandingkan kesempurnaan naskah tertua yang ditulis pada pertnulaan abad ke-11 Masehi,4 dan naskah Kitab Injil bangsa Yunani yang ditulis pada abad.ke-10 Masehi,5 tampaknya sikap dan perhatian seperti itu tidak dapat diterapkan di sini. Ketidaksesuaian sikap terhadap Al-Qur'an di satu sisi, dan Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru di sisi lain, dapat diterapkan jika sekiranya kita hendak membuat penilaian terhadap nilai keutuhan Al-Qur'an.
Praktik yang telah mapan sejak lahirnya sejarah literatur keislaman memberi isyarat bahwa setiap teks keagamaan (hadits, tafsir, fiqh dll.) transmisinya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang pernah belajar langsung dari penulis dan kemudian mengajarkan pada generasi berikutnya. Transmisi secara utuh selalu dipertahankan guna memberi peluang pada kita agar dapat menatap secara tajam terhadap asal usul tiap buku yang berkaitan dengan hukum Islam,6 sekurang-kurangnya pada permulaan abad pertama-suatu metode pembuktian kesahihan yang tidak mungkin tersaingi oleh siapa pun hingga saat ini.7 Jika kita hendak menerapkan prinsip dasar sistem transmisi literatur Muslim pada semua buku apa saja yang tersedia guna membuktikan keabsahan pengarangnya merupakan hal yang tak mungkin dapat dilakukan. Selain Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditulis tanpa nama, bagaimanapun, tradisi keilmuan Barat merasa lebih senang memberi legitimasi sejarah daripada sistem mata rantai transmisi, yang senantiasa dipandang dengan sikap ragu dan kurang memadai. Setelah kami teliti kedua metode Muslim dan Barat, hasil yang ada kami serahkan sepenuhnya pada para pembaca untuk memberi kata kunci mana di antara keduanya yang lebih masuk akal.
Yahudi dan Kristen tidak diragukan lagi merupakan agama, seperti tercatat dalam sejarah. Hanya saja sikap keragu-raguan muncul dalam hal penulisan Kitab Perjanjian lama dan Perjanjian Baru. Tentunya jawaban itu tidak dapat dikemukakan secara sederhana. Pada mulanya Kitab Perjanjian Lama dianggap sebagai karya wahyu Ilahi, namun pada masa berikutnya dianggap sebagai karya Nabi Musa. Teori terakhir mengatakan bahwa beberapa sumber (lebih dari seribu tahun) bertambah akan adanya lima kitab karya Nabi Musa.8 Siapa sebenarnya para penulis gurem itu? Bagaimana sikap kejujuran dan akurasi mereka? Sejauh mana dapat tepercaya pengetahuan mereka tentang kejadian-kejadian yang terlibat di dalamnya? Adakah mereka ikut berperan dalam peristiwa yang terjadi? Dan sejauh manakah buku-buku yang tersedia dari peristiwa yang ada dapat sampai ke tangan kita? Dari fakta yang dapat dilacak, semua Kitab Perjanjian Lama muncul ke atas pentas lalu tenggelam beberapa ratus tahun kemudian sebelum muncul kembali secara tiba-tiba.9 Kemudian kitab-kitab itu kembali tenggelam tanpa bekas selama beberapa abad, yang kemudian tiba-tiba ditemukan kembali. Coba bandingkan cerita sejarah ini dengan ribuan manusia berjiwa saleh yang hidup mengelilingi Nabi Muhammad dan berperan secara aktif di saat perang dan kedamaian, di kala susah dan senang, semuanya terlibat dalam proses dokumentasi tiap ayat Al-Qur'an dan hadits. Sejarah hidupnya membentuk rangkaian peristiwa yang tajam - a poignant chronicle -kendati para orientalis kebanyakan menolak dan menganggap masalah ini sebagai cerita fiktif di mana menurut pendapat Wansbrough laksana percontohan "kedamaian sejarah", tanpa menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sementara itu, para ilmuwan lain secara aktif terlibat dalam penghapusan riwayat keagamaan mereka karena semata-mata menginginkan sesuatu yang baru di mana dapat kami sajikan secara sekilas cerita penyaliban Jesus. Pendapat Yahudi ortodoks menegaskan,
Menurut Kitab Talmud, Jesus dieksekusi melalui pengadilan para rahib karena pemujaan terhadap berhala, yang menyebabkan orang Yahudi membuat berhala lain serta menghina otoritas para rahib agama Yahudi. Semua sumber klasik agama Yahudi mengatakan penyaliban Jesus dilakukan dengan senang hati guna menanggung rasa tanggung jawab, sedangkan menurut cerita dalam Talmud bangsa Romawi sama sekali tidak disebut.10
Sebagai tambahan terhadap serangkaian pelecehan seks terhadap Jesus, Talmud mempertegas bahwa sanksi hukuman yang diberikan di dalam neraka adalah ditenggelamkan ke dalam tempat najis yang mendidih... 11
Ironisnya, Kitab Perjanjian Baru dan Kristiani modern melenyapkan semua sumber itu kendati tersebut dalam Talmud. Apakah arti definisi kesucian jika perubahan secara sengaja dilakukan baik dari segi kata-kata maupun nada yang dibuat pada kitab suci pada saat ini dan seterusnya?12 Dan apa yang sedang berlaku untuk dijadikan latar belakang permasalahan, bagaimana mungkin beberapa kalangan intelektual dapat menerima Yahudi dan Kristen sebagai agama sejarah saat mereka menolak hal yang sama terhadap agama Islam?13
Pokok permasalahan di sini bukan masalah Islam atau apa yang dikatakan oleh sumber-sumber keislaman melainkan bagaimana seorang Muslim memandang keimanan mereka dan bagaimana yang dikehendaki oleh para peneliti orientalis dalam melihat permasalahan. Beberapa tahun yang silam Profesor C.E Bosworth, salah seorang editor ensiklopedi Islam yang diterbitkan oleh J. Brill, menyampaikan kuliah di Universitas Colorado. Ketika ditanya mengapa para intelektual Muslim yang mendapat pendidikan di Barat tidak pernah diikutsertakan kontribusinya pada ensiklopedi yang menyangkut berbagai masalah mendasar (seperti Al-Qur'an, hadits, jihad, dll.), dia menjawab bahwa karya ini ditulis oleh para penulis Barat untuk orang Barat. Jawaban tersebut kendati mungkin setengahnya benar, kenyataannya karya tersebut bukanlah semata-mata untuk kalangan masyarakat Eropa. Untuk itu pantas kiranya dicatat apa yang ditulis oleh Edward Said dalam karya ilmiahnya yang berjudul Orientalism:
"Mereka tidak dapat mewakili diri sendiri melainkan mereka harus diwakili." -Karl Marx.14
Di sini Marx sedang mengutarakan pikirannya pada kaum tani Prancis, akan tetapi upaya membungkam contoh besar pihak lain dengan sebuah anak kalimat dan melempar beban representasi secara keseluruhan pada pihak luar tidak dapat dianggap sebagai cerita novel.
Poin terakhir sebelum menyudahi kata pengantar ini. Saat penelitian tertentu menghasilkan sebuah teori, dunia akademi mencatat bahwa ia mesti dihadapkan pada sistem tes yang amat mendasar. Jika ternyata gagal maka harus diadakan perubahan atau diuji kembali dan bahkan mungkin dicampakkan. Sangat disayangkan pengajian tentang Islam dikotori oleh teori yang menyakitkan yang meningkat pada salah satu titik yang hampir menjadi fakta kasar, kendati mereka gagal pada beberapa langkah yang dilakukan. Kedua contoh berikut akan memberi penjelasan.
Professor Wensinck memberi komentar terhadap hadits terkenal tentang kelima rukun Islam:
Islam dibangun atas lima fondasi: Memberi kesaksian tiada tuhan melainkan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah.15
Ia memandangnya sebagai hal yang palsu karena mencakup kalima syahadat
( memberi kesaksian bahwa tiada tuhan melainkan Allah ). Menurutnya, para sahabat Nabi Muhammad mengenalkan kalima tersebut setelah bertemu dengan orang-orang Kristen dari Suriah yang kemudian memberi kesaksian keimanan. Dari itu, katanya lagi, ia mencuri ide itu dari orang Kristen untuk membangun salah satu faktor penting dari rukun Islam. Dihadapkan pada persoalan bahwa kalima shahada merupakan bagian dari tashahud ( ) dalam shalat harian, Wensinck membuat teori baru selain mengadakan modifikasi teori sebelumnya: bahwa standard shalat dibuat setelah wafatnya Nabi Muhammad.16 Barangkali, teori selanjutnya masih diperlukan mengingat Wensick tidak memberi penjelasan adanya teori kalima dalam adhan ( ) dan iqama ( ),17 demikian pula halnya ia tidak memberi penjelasan bila kedua kalima tersebut diperkenalkan ke dalam Islam.
Contoh kedua yang kami kemukakan di sini adalah Goldziher, di mana ia membuat sebuah teori bahwa munculnya perbedaan qira'at ( ) dalam Al-Qur'an disebabkan konsonan teks yang digunakan pada naskah Al-Qur'an terdahulu. Dengan mengangkat beberapa contoh guna menunjukkan validitas pemikirannya, ia mengelak untuk menyebut ratusan contoh di mana teori yang ia bangun telah gagal-kendati ia tak pernah berhenti mencari popularitas di tengah sementara kelompoknya.18
Upaya sungguh-sungguh telah dilakukan dalam membuat atau melakukan pekerjaan ini sedang faedah sebagai seorang ilmuwan hanya berlaku pada orang-orang biasa. Jika terdapat bagian di mana yang terdahulu terdapat pengulangan atau yang kemudian dipahami oleh beberapa orang saja, hal ini karena mempertahankan penggunaan perantara yang menyenangkan dirasa kurang memungkinkan.
Sehubungan dengan terjemahan ayat-ayat Al-Qur'an bahasa Inggris, sebenarnya tidak terdapat terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa itu secara seragam dalam buku ini, kendati sebagian besar ayat-ayat yang diterjemahkan mengacu pada terjemahan Yusuf Ali atau Mohammad Asad. Terjemahanterjemahan tersebut sering mengalami perubahan dan kadang-kadang ditulis kembali tergantung sejauh mana kejelasan yang kami temukan dalam upaya terjemahan yang asli. Hal ini tidak membuat kekhilafan mengingat Al-Qur'an itu ditulis dalam bahasa Arab, sedang tugas penerjemah semata untuk menghilangkan beberapa arti yang tak jelas dalam teks. Hasil terakhir bukanlah Al-Qur'an melainkan semata-mata terjemahan (seperti adanya bayang-bayang adalah karena disebabkan bayangan itu sendiri), dan selama tidak ada kesalahan dalam mencatat atau pengambilan di luar konteks, maka tidak dirasa perlu mengikuti terjemahan tertentu.
Pembaca dapat melihat bahwa secara umum kami menggunakan ungkapan-ungkapan kebesaran atau doa setelah menyebut beberapa nama seperti (suatu ungkapan menunjukkan kebesaran) setelah menyebut nama Allah, (shalawat dan salam kepadanya) setelah menyebut nama Muhammad, (salam untuknya) setelah menyebut nama-nama lain dari para Nabi seperti Ibrahim, Isma'il, Musa, ‘Isa dll.), atau (semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya) setelah menyebut nama sahabat. Tujuan saya adalah untuk menjaga keserasian naskah sebisa mungkin, dengan harapan para pembaca di kalangan umat Islam dapat memasuki sisipan ungkapan itu ke dalam teks secara benar dan sesuai. Beberapa intelektual Muslim terkemuka seperti Imam Ahmad bin Hanbal mengikuti cara yang sama, kendati para penulis berikutnya menganggap lebih tepat guna menambahkan ungkapan-ungkapan seperti itu secara lebih detail ke dalam teks, seperti pandangan mata mampu menempatkan penglihatan secara tepat sesuai dengan nalurinya.
Sebuah catatan dan peringatan. Keimanan seorang Muslim memerlukan adanya kepercayaan tangguh tentang keaslian dan kesalehan perilaku semua Nabi Allah. Di sini kami hendak mencatat dari sumber-sumber bukan orang Islam di mana sebagian mereka tak segan-segan merujuk kepada Tuhan mereka, Jesus sebagai pelaku zina ataupun homoseksual, Nabi Dawud sebagai perencana zina, dan Nabi Sulaiman sebagai pelaku syirik. (Ya Allah, betapa tidak adilnya kata-kata seperti itu.) Sebagaimana kurang praktis memasukkan satu catatan bilamana kami menukil ide-ide murahan seperti itu, namun kami cukup dengan memperjelas sikap umat Islam di mana kata-kata seperti itu tidak memantulkan penghormatan di mana umat Islam mempertahankan tanpa syarat dan melakukan pembelaan pada semua Nabi-Nabi Allah. Pada akhirnya, dalam menulis buku ini kami selalu berusaha memilih pendapat terbaik yang representatif dalam memberi penjelasan kasus permasalahan dan menghindari pembicaraan bertele-tele tentang semua pendapat yang ada dan hal ini, barangkali, akan memberi minat pada para pembaca secara umum. Kami harap para pembaca akan terus menelusuri halaman-halaman berikut yang kami tawarkan.
Kami merasa berkewajiban, dengan segala senang hati, menyebut beberapa nama dari negeri Yaman. Tanpa bantuan, ketja sama, serta izin yang mereka berikan rasanya tidak mungkin dapat memfotokopi naskah AI-Qur'an kuno dari San'a'. Mereka adalah Sheikh 'Abdullah bin Husain al-Ahmar, Sheikh al-Qadi Isma'il al-Akwa' (yang telah memperlakukan sebagai kesayangan seorang ayah), Dr. Yusuf Muhammad ‘Abdulllah, al-Ustadh 'Abdul Malik al-Maqhafi, dan Nasir al-‘Absi (di mana dengan segala kebaikannya mereka memfotokopi naskah). Semoga Allah membalas kebaikan mereka dunia dan akhirat. Kami harus mengakui jasa baik Khuda Buksh Library, Patna, dan juga Salar Jung Meseum, Hyderabad (terutama Dr. Rahmat 'All) di mana telah mengizinkan pemanfaatan materi yang begitu luas, dan Dr. Wiqar Husain dan Abu Sa'd Islahi dari Raza Library, Rampur, yang telah menyedikan slides berwarna dari beberapa naskah tertentu.
Rasanya masih banyak lagi yang perlu diberi kata penghargaan secara khusus. Yayasan Raja Faisal (King Faisal Foundation) yang telah menominasikan saya sebagai profesor tamu pada Princeton University, dan juga Princeton Seminary yang telah menyediakan kaleidoskop yang kaya dengan bahan penulisan buku ini, orang-orang di Mushaf Madinah yang telah membantu mencetak teks Al-Qur'an secara akurat. Terima kasih juga kami sampaikan pada Madani Iqbal Azmi dan juga pada Tim Bowes atas bantuan mereka dalam penyusunan naskah ini, dan kepada Muhammad Ansar yang telah menyiapkan indeks, Ibrahim al-Sulaifih sebagai pembantu luar biasa selama penulisan buku ini, dan kepada Prof. Muhammad Qutb, Dr. ‘Adil Salahi, Br. Daud Matthews, Dr. ‘Umar Chapra, Sheikh Jamal Zarabozo, Br. Hashir Faruqi Sheikh Iqbal Azmi, 'Abdul Basil Kazmi, 'Abdul Haq Muhammad, Sheikh Niham Ya'cubi, Dr. ‘Abdullah Subayh, Haroon Shirwani, dan juga tnasih banyak lagi yang terlibat dalam proofreading naskah dan memberi masukan-masukan yang sangat berharga.
Kami juga harus menyampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya atas bantuan yang tak terhingga dalam upaya penulisan buku terutama kepada anak saya yang pertama `Aqil atas bantuari yang tak putus dalam menyiapkan naskah, sistem transliterasi, pengumpulan bibliografi, dan pada anak perempuan saya, Fatimah, dalam membantu memfotokopi dan anak lelaki saya yang lebih muda, Anas, yang perlu mendapat penghargaan sepenuhnya dalam membuat naskah bahasa Inggris sehingga menjadi lebih balk dan jelas. Penghargaan khusus saya sampaikan pada istriku yang telah berlapang dada selama lebih kurang lima puluh tahun membina rumah tangga dan mengalami penderitaan dan pengorbanan yang telah ia alami dengan kesabaran yang luar biasa dan selalu menunjukkan sikap ceria. Semoga Allah membalas kebaikan dan kemurahan hati mereka.
Pada akhirnya, rasa syukur yang teramat dalam kami sampaikan kepada Allah Yang Mahakuasa yang telah memberi kemudahan dan keistimewaan dalam mengarungi penulisan. Jika terdapat kekhilafan dalam buku ini adalah semata-mata dari saya pribad19 dan apa pun yang menggembirakan-Nya adalah semata-mata dalam rangka memuji kebesaran-Nya. Kami berdoa mudahmudahan Dia berkenan menerima karya ini sebagai upaya ikhlas karena-Nya.
Buku ini pada dasarnya diselesaikan di Riyad, Saudi Arabia, pada bulan Safar 1420 A.H./Mei 1999. Pada tahun-tahun berikutnya mengalami revisi sewaktu saya berada di beberapa kota di luar negeri (Timur Tengah dan Eropa). Salah satunya di al-Haram as-Sharif, Mekah, pada Ramadan 1420 A.H./ Desember 1999, dan revisi terakhir dilakukan di Riyad, Dhul-Qi'dah 1423 A.H./Januari 2003.
Footnote:
Sebenarnya fikrah penulisan tentang koleksi dan pemeliharaan Al-Qur’an yang demikian unik telah mengusik pikiran kami sejak tiga setengah tahun yang silam. Buku yang sedang Anda baca ini, kami kerjakan bersamaan dengan tulisan lain tentang Metodologi Studi Keislaman. Tulisan Toby Lester (seorang wartawan) yang dimuat di The Atlantic Monthly bulan Januari, 1999, berusaha mengacaukan pikiran yang sedemikian parah di kalangan umat Islam dan telah membakar semangat konsentrasi penulisan. la mengatakan, "Kendati umat Islam percaya Al-Qur’an sebagai kitab suci Allah yang tak pernah ternoda dari pemalsuan mereka, tak mampu mengemukakan pendapat secara ilmiah." Tantangan ini mengemuka dan kami merasa terpanggil menghadapinya dengan mengupas tentang metode penelitian yang layaknya dipakai oleh ilmuwan di masa silam dalam menerima teks Al-Qur'an yang benar dan sikap penolakan mereka terhadap pemalsuan. Hal ini pula yang menyebabkan terjadinya pengulangan yang tak terelakkan dari beberapa materi buku ini. Karena sebagian besar ilmuwan, seperti dikutip oleh T. Lester, terdiri dari kaum Yahudi dan Kristen, maka kesimpulan kami akan dirasa tepat guna mengadakan pembedahan secara tuntas terhadap Kitab Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama sebagai studi banding. Dengan cara ini diharap dapat membantu para pembaca dalam menyikapi perbedaan pendapat antara cendekiawan muslim dan para orientalis secara objektif dan kritis.
Dengan memberi penekanan pendapat tentang transformasi teks Al-Qur'an seutuhnya secara lisan, kalangan orientalis berusaha menepis sejarah penulisan dan kompilasinya di masa Muhammad . (Banyak di antara mereka yang menepis anggapan bahwa hasil kompilasi di masa khalifah Abu Bakr dan sebagian yang lain lebih dapat menerima upaya yang dilakukan oleh ‘Uthman. Hanya selisih lima belas tahun setelah wafatnya Rasulullah dengan distribusi naskah Al-Qur'an ke pelbagai wilayah Dunia Islam. Dengan melihat rentang masa dan kekeliruan yang amat mendasar, kalangan orientalis berusaha memaksakan pendapat tentang kemungkinan terjadinya kesalahan yang menyeruak ke dalam teks Al-Qur'an di masa itu. Herannya, pa:a ilmuwan Kitab Injil selalu menganggap benar sejarahnya, meskipun beberapa Kitab Perjanjian Lama ditulis berdasarkan transformasi lisan setelah berselang delapan abad lamanya.1
Perhatian utama kaum orientalis tercurah pada aspek naskah bahasa Arab dengan menyentuh segi-segi kelemahannya, kendati hanya setengah abad setelah wafatnya Rasulullah dalam penyusunan naskah tulisan dan menghilangkan asal usul yang memiliki dwimakna. Mereka menuduh periode tersebut sebagai distorsi penting terjadinya pemalsuan teks asli, kendati dengan cara ini mereka menolak anggapan sebelumnya tentang keberadaannya secara lisan yang pada hakikatnya, orang-orang pada masa itu telah menghafal AlQur' an dan bahkan memiliki naskah tertulis. Oleh karena itu, "naskah yang tidak lengkap" tidak memberi pengaruh sedikit pun dalam rentang masa lima puluh tahun. Sebaliknya naskah bahasa Yahudi, yang mengalami transmisi saat kembalinya orang Yahudi itu dari Babilonia ke bumi Palestina sejak masa penawanan, sama sekali tanpa bukti ilmiah dan hal demikian berlaku selama dua ribu tahun hingga terjadinya kontak dengan orang-orang Arab Muslim yang memacu mereka dalam hal tersebut. Adanya anggapan bahwa selisih waktu lima puluh tahun sebagai pembuktian hancurnya naskah Al-Qur'an dan kemungkinan adanya keragu-raguan, sangat tidak masuk akal. Di waktu yang sama Kitab Perjanjian Lama mengalami kesenjangan masa transmisi lisan selama dua abad.
Melalui argumentasi dan bukti-bukti yang meyakinkan, pada masa itu terdapat Mushaf Hijazi sejak abad awal Hijriah (akhir abad ke-7 dan permulaan abad ke-8 Masehi). 2 Selain itu, juga terdapat bukti kuat adanya beberapa bagian naskah AI-Qur'an yang ditulis pada permulaan abad pertama. Menolak anggapan akan nilai lembaran tulisan itu, para orientalis beranggapan bahwa mereka terlambat dalam membuktikan teks Al-Qur'an yang bersih dari noda hitam. Mereka lebih senang mengikuti anggapan serta pendapat yang tak dapat dipertanggung jawabkan.3 Dengan membandingkan kesempurnaan naskah tertua yang ditulis pada pertnulaan abad ke-11 Masehi,4 dan naskah Kitab Injil bangsa Yunani yang ditulis pada abad.ke-10 Masehi,5 tampaknya sikap dan perhatian seperti itu tidak dapat diterapkan di sini. Ketidaksesuaian sikap terhadap Al-Qur'an di satu sisi, dan Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru di sisi lain, dapat diterapkan jika sekiranya kita hendak membuat penilaian terhadap nilai keutuhan Al-Qur'an.
Praktik yang telah mapan sejak lahirnya sejarah literatur keislaman memberi isyarat bahwa setiap teks keagamaan (hadits, tafsir, fiqh dll.) transmisinya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang pernah belajar langsung dari penulis dan kemudian mengajarkan pada generasi berikutnya. Transmisi secara utuh selalu dipertahankan guna memberi peluang pada kita agar dapat menatap secara tajam terhadap asal usul tiap buku yang berkaitan dengan hukum Islam,6 sekurang-kurangnya pada permulaan abad pertama-suatu metode pembuktian kesahihan yang tidak mungkin tersaingi oleh siapa pun hingga saat ini.7 Jika kita hendak menerapkan prinsip dasar sistem transmisi literatur Muslim pada semua buku apa saja yang tersedia guna membuktikan keabsahan pengarangnya merupakan hal yang tak mungkin dapat dilakukan. Selain Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditulis tanpa nama, bagaimanapun, tradisi keilmuan Barat merasa lebih senang memberi legitimasi sejarah daripada sistem mata rantai transmisi, yang senantiasa dipandang dengan sikap ragu dan kurang memadai. Setelah kami teliti kedua metode Muslim dan Barat, hasil yang ada kami serahkan sepenuhnya pada para pembaca untuk memberi kata kunci mana di antara keduanya yang lebih masuk akal.
Yahudi dan Kristen tidak diragukan lagi merupakan agama, seperti tercatat dalam sejarah. Hanya saja sikap keragu-raguan muncul dalam hal penulisan Kitab Perjanjian lama dan Perjanjian Baru. Tentunya jawaban itu tidak dapat dikemukakan secara sederhana. Pada mulanya Kitab Perjanjian Lama dianggap sebagai karya wahyu Ilahi, namun pada masa berikutnya dianggap sebagai karya Nabi Musa. Teori terakhir mengatakan bahwa beberapa sumber (lebih dari seribu tahun) bertambah akan adanya lima kitab karya Nabi Musa.8 Siapa sebenarnya para penulis gurem itu? Bagaimana sikap kejujuran dan akurasi mereka? Sejauh mana dapat tepercaya pengetahuan mereka tentang kejadian-kejadian yang terlibat di dalamnya? Adakah mereka ikut berperan dalam peristiwa yang terjadi? Dan sejauh manakah buku-buku yang tersedia dari peristiwa yang ada dapat sampai ke tangan kita? Dari fakta yang dapat dilacak, semua Kitab Perjanjian Lama muncul ke atas pentas lalu tenggelam beberapa ratus tahun kemudian sebelum muncul kembali secara tiba-tiba.9 Kemudian kitab-kitab itu kembali tenggelam tanpa bekas selama beberapa abad, yang kemudian tiba-tiba ditemukan kembali. Coba bandingkan cerita sejarah ini dengan ribuan manusia berjiwa saleh yang hidup mengelilingi Nabi Muhammad dan berperan secara aktif di saat perang dan kedamaian, di kala susah dan senang, semuanya terlibat dalam proses dokumentasi tiap ayat Al-Qur'an dan hadits. Sejarah hidupnya membentuk rangkaian peristiwa yang tajam - a poignant chronicle -kendati para orientalis kebanyakan menolak dan menganggap masalah ini sebagai cerita fiktif di mana menurut pendapat Wansbrough laksana percontohan "kedamaian sejarah", tanpa menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sementara itu, para ilmuwan lain secara aktif terlibat dalam penghapusan riwayat keagamaan mereka karena semata-mata menginginkan sesuatu yang baru di mana dapat kami sajikan secara sekilas cerita penyaliban Jesus. Pendapat Yahudi ortodoks menegaskan,
Menurut Kitab Talmud, Jesus dieksekusi melalui pengadilan para rahib karena pemujaan terhadap berhala, yang menyebabkan orang Yahudi membuat berhala lain serta menghina otoritas para rahib agama Yahudi. Semua sumber klasik agama Yahudi mengatakan penyaliban Jesus dilakukan dengan senang hati guna menanggung rasa tanggung jawab, sedangkan menurut cerita dalam Talmud bangsa Romawi sama sekali tidak disebut.10
Sebagai tambahan terhadap serangkaian pelecehan seks terhadap Jesus, Talmud mempertegas bahwa sanksi hukuman yang diberikan di dalam neraka adalah ditenggelamkan ke dalam tempat najis yang mendidih... 11
Ironisnya, Kitab Perjanjian Baru dan Kristiani modern melenyapkan semua sumber itu kendati tersebut dalam Talmud. Apakah arti definisi kesucian jika perubahan secara sengaja dilakukan baik dari segi kata-kata maupun nada yang dibuat pada kitab suci pada saat ini dan seterusnya?12 Dan apa yang sedang berlaku untuk dijadikan latar belakang permasalahan, bagaimana mungkin beberapa kalangan intelektual dapat menerima Yahudi dan Kristen sebagai agama sejarah saat mereka menolak hal yang sama terhadap agama Islam?13
Pokok permasalahan di sini bukan masalah Islam atau apa yang dikatakan oleh sumber-sumber keislaman melainkan bagaimana seorang Muslim memandang keimanan mereka dan bagaimana yang dikehendaki oleh para peneliti orientalis dalam melihat permasalahan. Beberapa tahun yang silam Profesor C.E Bosworth, salah seorang editor ensiklopedi Islam yang diterbitkan oleh J. Brill, menyampaikan kuliah di Universitas Colorado. Ketika ditanya mengapa para intelektual Muslim yang mendapat pendidikan di Barat tidak pernah diikutsertakan kontribusinya pada ensiklopedi yang menyangkut berbagai masalah mendasar (seperti Al-Qur'an, hadits, jihad, dll.), dia menjawab bahwa karya ini ditulis oleh para penulis Barat untuk orang Barat. Jawaban tersebut kendati mungkin setengahnya benar, kenyataannya karya tersebut bukanlah semata-mata untuk kalangan masyarakat Eropa. Untuk itu pantas kiranya dicatat apa yang ditulis oleh Edward Said dalam karya ilmiahnya yang berjudul Orientalism:
"Mereka tidak dapat mewakili diri sendiri melainkan mereka harus diwakili." -Karl Marx.14
Di sini Marx sedang mengutarakan pikirannya pada kaum tani Prancis, akan tetapi upaya membungkam contoh besar pihak lain dengan sebuah anak kalimat dan melempar beban representasi secara keseluruhan pada pihak luar tidak dapat dianggap sebagai cerita novel.
Poin terakhir sebelum menyudahi kata pengantar ini. Saat penelitian tertentu menghasilkan sebuah teori, dunia akademi mencatat bahwa ia mesti dihadapkan pada sistem tes yang amat mendasar. Jika ternyata gagal maka harus diadakan perubahan atau diuji kembali dan bahkan mungkin dicampakkan. Sangat disayangkan pengajian tentang Islam dikotori oleh teori yang menyakitkan yang meningkat pada salah satu titik yang hampir menjadi fakta kasar, kendati mereka gagal pada beberapa langkah yang dilakukan. Kedua contoh berikut akan memberi penjelasan.
Professor Wensinck memberi komentar terhadap hadits terkenal tentang kelima rukun Islam:
Islam dibangun atas lima fondasi: Memberi kesaksian tiada tuhan melainkan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah.15
Ia memandangnya sebagai hal yang palsu karena mencakup kalima syahadat
( memberi kesaksian bahwa tiada tuhan melainkan Allah ). Menurutnya, para sahabat Nabi Muhammad mengenalkan kalima tersebut setelah bertemu dengan orang-orang Kristen dari Suriah yang kemudian memberi kesaksian keimanan. Dari itu, katanya lagi, ia mencuri ide itu dari orang Kristen untuk membangun salah satu faktor penting dari rukun Islam. Dihadapkan pada persoalan bahwa kalima shahada merupakan bagian dari tashahud ( ) dalam shalat harian, Wensinck membuat teori baru selain mengadakan modifikasi teori sebelumnya: bahwa standard shalat dibuat setelah wafatnya Nabi Muhammad.16 Barangkali, teori selanjutnya masih diperlukan mengingat Wensick tidak memberi penjelasan adanya teori kalima dalam adhan ( ) dan iqama ( ),17 demikian pula halnya ia tidak memberi penjelasan bila kedua kalima tersebut diperkenalkan ke dalam Islam.
Contoh kedua yang kami kemukakan di sini adalah Goldziher, di mana ia membuat sebuah teori bahwa munculnya perbedaan qira'at ( ) dalam Al-Qur'an disebabkan konsonan teks yang digunakan pada naskah Al-Qur'an terdahulu. Dengan mengangkat beberapa contoh guna menunjukkan validitas pemikirannya, ia mengelak untuk menyebut ratusan contoh di mana teori yang ia bangun telah gagal-kendati ia tak pernah berhenti mencari popularitas di tengah sementara kelompoknya.18
Upaya sungguh-sungguh telah dilakukan dalam membuat atau melakukan pekerjaan ini sedang faedah sebagai seorang ilmuwan hanya berlaku pada orang-orang biasa. Jika terdapat bagian di mana yang terdahulu terdapat pengulangan atau yang kemudian dipahami oleh beberapa orang saja, hal ini karena mempertahankan penggunaan perantara yang menyenangkan dirasa kurang memungkinkan.
Sehubungan dengan terjemahan ayat-ayat Al-Qur'an bahasa Inggris, sebenarnya tidak terdapat terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa itu secara seragam dalam buku ini, kendati sebagian besar ayat-ayat yang diterjemahkan mengacu pada terjemahan Yusuf Ali atau Mohammad Asad. Terjemahanterjemahan tersebut sering mengalami perubahan dan kadang-kadang ditulis kembali tergantung sejauh mana kejelasan yang kami temukan dalam upaya terjemahan yang asli. Hal ini tidak membuat kekhilafan mengingat Al-Qur'an itu ditulis dalam bahasa Arab, sedang tugas penerjemah semata untuk menghilangkan beberapa arti yang tak jelas dalam teks. Hasil terakhir bukanlah Al-Qur'an melainkan semata-mata terjemahan (seperti adanya bayang-bayang adalah karena disebabkan bayangan itu sendiri), dan selama tidak ada kesalahan dalam mencatat atau pengambilan di luar konteks, maka tidak dirasa perlu mengikuti terjemahan tertentu.
Pembaca dapat melihat bahwa secara umum kami menggunakan ungkapan-ungkapan kebesaran atau doa setelah menyebut beberapa nama seperti (suatu ungkapan menunjukkan kebesaran) setelah menyebut nama Allah, (shalawat dan salam kepadanya) setelah menyebut nama Muhammad, (salam untuknya) setelah menyebut nama-nama lain dari para Nabi seperti Ibrahim, Isma'il, Musa, ‘Isa dll.), atau (semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya) setelah menyebut nama sahabat. Tujuan saya adalah untuk menjaga keserasian naskah sebisa mungkin, dengan harapan para pembaca di kalangan umat Islam dapat memasuki sisipan ungkapan itu ke dalam teks secara benar dan sesuai. Beberapa intelektual Muslim terkemuka seperti Imam Ahmad bin Hanbal mengikuti cara yang sama, kendati para penulis berikutnya menganggap lebih tepat guna menambahkan ungkapan-ungkapan seperti itu secara lebih detail ke dalam teks, seperti pandangan mata mampu menempatkan penglihatan secara tepat sesuai dengan nalurinya.
Sebuah catatan dan peringatan. Keimanan seorang Muslim memerlukan adanya kepercayaan tangguh tentang keaslian dan kesalehan perilaku semua Nabi Allah. Di sini kami hendak mencatat dari sumber-sumber bukan orang Islam di mana sebagian mereka tak segan-segan merujuk kepada Tuhan mereka, Jesus sebagai pelaku zina ataupun homoseksual, Nabi Dawud sebagai perencana zina, dan Nabi Sulaiman sebagai pelaku syirik. (Ya Allah, betapa tidak adilnya kata-kata seperti itu.) Sebagaimana kurang praktis memasukkan satu catatan bilamana kami menukil ide-ide murahan seperti itu, namun kami cukup dengan memperjelas sikap umat Islam di mana kata-kata seperti itu tidak memantulkan penghormatan di mana umat Islam mempertahankan tanpa syarat dan melakukan pembelaan pada semua Nabi-Nabi Allah. Pada akhirnya, dalam menulis buku ini kami selalu berusaha memilih pendapat terbaik yang representatif dalam memberi penjelasan kasus permasalahan dan menghindari pembicaraan bertele-tele tentang semua pendapat yang ada dan hal ini, barangkali, akan memberi minat pada para pembaca secara umum. Kami harap para pembaca akan terus menelusuri halaman-halaman berikut yang kami tawarkan.
Kami merasa berkewajiban, dengan segala senang hati, menyebut beberapa nama dari negeri Yaman. Tanpa bantuan, ketja sama, serta izin yang mereka berikan rasanya tidak mungkin dapat memfotokopi naskah AI-Qur'an kuno dari San'a'. Mereka adalah Sheikh 'Abdullah bin Husain al-Ahmar, Sheikh al-Qadi Isma'il al-Akwa' (yang telah memperlakukan sebagai kesayangan seorang ayah), Dr. Yusuf Muhammad ‘Abdulllah, al-Ustadh 'Abdul Malik al-Maqhafi, dan Nasir al-‘Absi (di mana dengan segala kebaikannya mereka memfotokopi naskah). Semoga Allah membalas kebaikan mereka dunia dan akhirat. Kami harus mengakui jasa baik Khuda Buksh Library, Patna, dan juga Salar Jung Meseum, Hyderabad (terutama Dr. Rahmat 'All) di mana telah mengizinkan pemanfaatan materi yang begitu luas, dan Dr. Wiqar Husain dan Abu Sa'd Islahi dari Raza Library, Rampur, yang telah menyedikan slides berwarna dari beberapa naskah tertentu.
Rasanya masih banyak lagi yang perlu diberi kata penghargaan secara khusus. Yayasan Raja Faisal (King Faisal Foundation) yang telah menominasikan saya sebagai profesor tamu pada Princeton University, dan juga Princeton Seminary yang telah menyediakan kaleidoskop yang kaya dengan bahan penulisan buku ini, orang-orang di Mushaf Madinah yang telah membantu mencetak teks Al-Qur'an secara akurat. Terima kasih juga kami sampaikan pada Madani Iqbal Azmi dan juga pada Tim Bowes atas bantuan mereka dalam penyusunan naskah ini, dan kepada Muhammad Ansar yang telah menyiapkan indeks, Ibrahim al-Sulaifih sebagai pembantu luar biasa selama penulisan buku ini, dan kepada Prof. Muhammad Qutb, Dr. ‘Adil Salahi, Br. Daud Matthews, Dr. ‘Umar Chapra, Sheikh Jamal Zarabozo, Br. Hashir Faruqi Sheikh Iqbal Azmi, 'Abdul Basil Kazmi, 'Abdul Haq Muhammad, Sheikh Niham Ya'cubi, Dr. ‘Abdullah Subayh, Haroon Shirwani, dan juga tnasih banyak lagi yang terlibat dalam proofreading naskah dan memberi masukan-masukan yang sangat berharga.
Kami juga harus menyampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya atas bantuan yang tak terhingga dalam upaya penulisan buku terutama kepada anak saya yang pertama `Aqil atas bantuari yang tak putus dalam menyiapkan naskah, sistem transliterasi, pengumpulan bibliografi, dan pada anak perempuan saya, Fatimah, dalam membantu memfotokopi dan anak lelaki saya yang lebih muda, Anas, yang perlu mendapat penghargaan sepenuhnya dalam membuat naskah bahasa Inggris sehingga menjadi lebih balk dan jelas. Penghargaan khusus saya sampaikan pada istriku yang telah berlapang dada selama lebih kurang lima puluh tahun membina rumah tangga dan mengalami penderitaan dan pengorbanan yang telah ia alami dengan kesabaran yang luar biasa dan selalu menunjukkan sikap ceria. Semoga Allah membalas kebaikan dan kemurahan hati mereka.
Pada akhirnya, rasa syukur yang teramat dalam kami sampaikan kepada Allah Yang Mahakuasa yang telah memberi kemudahan dan keistimewaan dalam mengarungi penulisan. Jika terdapat kekhilafan dalam buku ini adalah semata-mata dari saya pribad19 dan apa pun yang menggembirakan-Nya adalah semata-mata dalam rangka memuji kebesaran-Nya. Kami berdoa mudahmudahan Dia berkenan menerima karya ini sebagai upaya ikhlas karena-Nya.
Buku ini pada dasarnya diselesaikan di Riyad, Saudi Arabia, pada bulan Safar 1420 A.H./Mei 1999. Pada tahun-tahun berikutnya mengalami revisi sewaktu saya berada di beberapa kota di luar negeri (Timur Tengah dan Eropa). Salah satunya di al-Haram as-Sharif, Mekah, pada Ramadan 1420 A.H./ Desember 1999, dan revisi terakhir dilakukan di Riyad, Dhul-Qi'dah 1423 A.H./Januari 2003.
Footnote:
1. Meskipun keberadaan transmisi secara lisan itu sendiri masih dipertanyakan. Harap dilihat pada bab ke-15.
2. Saya berusaha, jika memungkinkan, menggunakan istilah C.E (common era) sebagai ganti dari istilah A.D (Anno Domini), yang memberi pengertian tentang 'tahun ketuhanan'.
3. M. Minovi dalam artikelnya yang berjudul "Outline History of Arabic Writing", beranggapan bahwa bagian tulisan Al-Qur'an yang terdapat pada abad pcrmulaan hijriyah dianggap scbagai pemalsuan ataupun anggapan dugaan. (A. Grohmann, "The Problem of Dating Early Qur'ans", Dcr Islam, Band 33, Sep. 1958, hlm. 217).
4. Dalam ucapannya, A.B. Beck dalam kata pengantar terhadap Leningrad Codex, "The Leningrad Codex adalah Naskah Hebrew Bible yang paling sempurna ... Hanya dalam naskah lain yang dianggap "paling sempurna" Hebrew Bible dari segi tradisi penulisan. Aleppo Codex, dianggap satu abad lebih dulu.... Hanya saja, Aleppo Codex ternyata sekarang terdapat fragmentasi dan tidak tertulis tanggal, sedangkan Leningrad Codex lebih sempurna dan tertanggal 1008 atau 1009 C.E." ("Introduction to the Leningrad Codex", in The Leningrad Codex: A Facsimile Edition, W.B. Eerdmans Publishing Co., 1998, hlm. ix-x). Untuk lebih jclas dapat dilihat dalam buku ini him. 238-40.
5. Menurut B.M. Metzger, "...salah satu naskah Injil tertua dalam Bahasa Yunani di tulis oleh seorang pemimpin gereja bernama Michael pada tahun 6457/A.D.949). Sekarang terdapat pada perpustakaan Vatican (no.354)." (The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration, 3rd enlarged edition, Oxford Univ. Press, 1992, h1m.56). Untuk lebih jelas harap dilihat pada hlm. 285-6.
6. Hukum Islam.
7. Hal ini dapat dilihat pada bab ke-12.
8. Umat Islam mempercayai bahwa Kitab Taurah dan Zabur keduanya sebagai wahyu Tuhan namun kemudian hilang dan terjadi penyimpangan. Hanya sedikit saja di antara Kitab Perjanjian Lama yang ada sekarang dianggap asli kendati dalam kenyataan banyak tercecer dari seluruh naskah yang ada. Memberi Pengakuan sebagai sesuatu yang asli dirasa agak sulit menerimanya. Sebagai ukuran mesti memiliki kesamaan dengan ajaran yang terkandung di dalam AI-Qur'an dan as-Sunnah.
9. Lihat Kings hlm. 14-16.
10. Israel Shahak, Jewish History, Jewish Religion, Pluto Press, London, 19977, pp.97-98. Sedangkan Kitab Suci Al-Qur'an menafikan adanya penyaliban (Q 4:157), ia tidak mencatat anggapan Yahudi tentang penyaliban Jesus.
11. Ibid, h1m.20-21.
12. Untuk lebih jelas harap dilihat pada buku ini h1m.291-2.
13. Andrew Rippen, "Literary analysis of Qur'an, Tafsir, and Sira: The Methodologies of John Wansbrough", in R.C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, Univ. of Arizona Press, Tuscon, 1985, hlm. I51-52.
14. Edward Said, Orientalism, Vintage Books, New York, 1979, hlm. xiii.
15. Muslim, Sahih, al-Iman:22. Kata al-bayt' mengisyaratkan pada Masjid al-Haram di kota suci Mekah.
16. A.J. Wensinck, Muslim Creed, Cambridge, 1932, hlm. 19-32.
17. Terdapat dua panggilan bagi umat Islam dalam shalat lima waktu. Pertama adhan dan yang kedua iqama (sebelum shalat dilakukan).
18. Untuk lebih jelas dalam diskusi ini, harap dilihat pada bab ke-11.
19. "Allah tidak menghendaki adanya kitab yang bebas dari kesalahan kecuali Kitab-Nya sendiri."
|