® Rajawally Intermezo


Nabi Muhammad telah memilih Handai Tertinggi di rumah Aisyah dengan kepala di pangkuannya. Kemudian Aisyah meletakkan kepalanya di atas bantal. Ia berdiri, dan bersama-sama dengan wanita-wanita lain - yang segera datang begitu berita sampai kepada mereka - ia memukul-mukul mukanya sendiri. Dengan peristiwa itu kaum Muslimin yang sedang berada dalam mesjid sangat terkejut sekali, sebab ketika paginya mereka melihat Nabi dari segalanya menunjukkan, bahwa ia sudah sembuh. Itu pula sebabnya Abu Bakr pergi mengunjungi isterinya Bint Kharija di Sunh.

Setelah mengetahui hal itu cepat-cepat Umar ke tempat jenazah disemayamkan. Ia tidak percaya bahwa Rasulullah sudah wafat. Ketika dia datang, dibukanya tutup mukanya. Ternyata ia sudah tidak bergerak lagi. Umar menduga bahwa Nabi sedang pingsan. Jadi tentu akan siuman lagi. Dalam hal ini sia-sia saja, Mughira hendak meyakinkan Umar atas kenyataan yang pahit ini. Ia tetap berkeyakinan, bahwa Muhammad tidak mati. Oleh karena Mughira tetap juga mendesak, ia berkata:

“Engkau dusta!”

Kemudian ia keluar ke mesjid bersama-sama sambil berkata:

“Ada orang dari kaum munafik yang mengira bahwa Rasulullah s.a.w. telah wafat. Tetapi, demi Allah sebenarnya dia tidak meninggal, melainkan ia pergi kepada Tuhan, seperti Musa bin ‘Imran. Ia telah menghilang dari tengah-tengah masyarakatnya selama empat puluh hari, kemudian kembali lagi ke tengah mereka setelah dikatakan dia sudah mati. Sungguh, Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga. Orang yang menduga bahwa dia telah meninggal, tangan dan kakinya harus dipotong!”

Teriakan Umar yang datang bertubi-tubi ini telah didengar oleh kaum Muslimin di mesjid. Mereka jadi seperti orang kebingungan. Memang, kalau memang benar Muhammad telah berpulang, alangkah pilunya hati! Alangkah gundahnya perasaan mereka yang pernah melihatnya, pernah mendengarkan tutur katanya, orang-orang yang beriman kepada Allah Yang telah mengutusnya membawa petunjuk dan agama yang benar! Rasa gundah dan kesedihan yang sungguh membingungkan, sungguh menyayat kalbu! Apabila Muhammad telah pergi menghadap Tuhan - seperti kata Umar - ini sungguh membingungkan. Dan menunggu dia kembali lagi seperti kembalinya Musa, lebih-lebih lagi ini mengherankan.

Mereka semua datang mengerumuni Umar, lebih mempercayainya dan lebih yakin, bahwa Rasulullah tidak meninggal. Belum selang lama tadi mereka bersama-sama, mereka melihatnya dan mendengar suaranya yang keras dan jelas, mendengar doanya dan pengampunan yang dimohonkannya. Betapa ia akan meninggal, padahal dia adalah Khalilullah yang dipilihNya untuk menyampaikan risalah, risalah yang sekarang sudah dianut oleh Arab se]uruhnya, tinggal lagi Kisra dan Heraklius yang akan menganut Islam! Betapa ia akan meninggal, padahal dengan kekuatannya itu selama duapuluh tahun terus-menerus ia telah menggoncangkan dunia dan telah menimbulkan suatu revolusi rohani yang paling hebat yang pernah dikenal sejarah!

Tetapi di sana wanita-wanita masih juga memukul-mukul muka sendiri sebagai tanda, bahwa ia telah meninggal. Sungguh pun begitu Umar di mesjid masih juga terus menyebutkan bahwa dia tidak wafat, dia sedang pergi kepada Tuhan seperti Musa bin ‘Imran, dan mereka yang berpendapat bahwa ia sudah meninggal, mereka itu golongan orang-orang munafik, orang munafik, yang tangan dan kakinya oleh Muhammad nanti akan dihantamnya setelah ia kembali. Mana yang mesti dipercaya oleh kaum Muslimin? Mula-mula mereka cemas sekali. Kemudian kata-kata Umar itu masih menimbulkan harapan dalam hati mereka, karena Muhammad masih akan kembali. Hampir saja angan-angan mereka itu mereka percayai, menggambarkan dalam hati mereka sendiri hal-hal yang hampir-hampir pula membawa mereka jadi puas karenanya.

Sementara mereka dalam keadaan begitu tiba-tiba Abu Bakr datang. Ia segera kembali dari Sunh setelah berita sedih itu diterimanya. Ketika dilihatnya Muslimin demikian, dan Umar sedang berpidato, ia tidak berhenti lama-lama di tempat itu melainkan terus ke rumah Aisyah tanpa menoleh lagi ke kanan-kiri. Ia minta ijin akan masuk, tapi dikatakan kepadanya, orang tidak perlu minta ijin untuk hari ini.

Bila ia masuk, dilihatnya Nabi di salah satu bagian dalam rumah itu sudah diselubungi dengan burd hibara.1 Ia menyingkapkan selubung itu dari wajah Nabi dan setelah menciumnya ia berkata:

“Alangkah sedapnya di waktu engkau hidup, alangkah sedapnya pula di waktu engkau mati.”

Kemudian kepala Nabi diangkatnya dan diperhatikannya paras mukanya, yang ternyata memang menunjukkan ciri-ciri kematian.

“Demi ibu-bapakku.2 Maut yang sudah ditentukan Tuhan kepadamu sekarang sudah sampai kaurasakan. Sesudah itu takkan ada lagi maut menimpamu!”

Kemudian dikembalikannya kepala itu ke bantal, ditutupkannya kembali kain burd itu kemukanya. Sesudah itu ia keluar. Ternyata Umar masih bicara dan mau meyakinkan orang bahwa Muhammad tidak meninggal. Orang banyak memberikan jalan kepada Abu Bakr.

“Sabar, sabarlah Umar!” katanya setelah ia berada di dekat Umar. “Dengarkan!”

Tetapi Umar tidak mau diam dan juga tidak mau mendengarkan. Ia terus bicara. Sekarang Abu Bakr menghampiri orang-orang itu seraya memberi isyarat, bahwa dia akan bicara dengan mereka. Dan dalam hal ini siapa lagi yang akan seperti Abu Bakr! Bukankah dia Ash-Siddiq yang telah dipilih oleh Nabi dan sekiranya Nabi akan mengambil orang sebagai teman kesayangan tentu dialah teman kesayangannya?! Oleh karena itu cepat-cepat orang memenuhi seruannya itu dan Umar ditinggalkan.

Setelah mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Abu Bakr berkata:

“Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barangsiapa mau menyembah Tuhan, Tuhan hidup selalu tak pernah mati.”

Kemudian ia membacakan firman Tuhan:

“Muhammad hanyalah seorang rasul. Sebelum dia pun telah banyak rasul-rasul yang sudah lampau. Apabila dia mati atau terbunuh, apakah kamu akan berbalik ke belakang? Barangsiapa berbalik ke belakang, ia tidak akan merugikan Tuhan sedikit pun. Dan Tuhan akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Qur’an, 3:144)

Ketika itu Umar juga turut mendengarkan tatkala dilihatnya orang banyak pergi ke tempat Abu Bakr. Setelah didengarnya Abu Bakr membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah ia yakin bahwa Rasulullah memang sudah wafat. Ada pun orang banyak, yang sebelum itu sudah terpengaruh oleh pendapat Umar, begitu mendengar bunyi ayat yang dibacakan Abu Bakr, baru mereka sadar; seolah mereka tidak pernah mengetahui, bahwa ayat ini pernah turun. Dengan demikian segala perasaan yang masih ragu-ragu bahwa Muhammad sudah berpulang ke rahmat Allah, dapat dihilangkan.

Sudah melampaui bataskah Umar ketika ia berkeyakinan bahwa Muhammad tidak mati, ketika mengajak orang lain supaya juga yakin seperti dia? Tidak! Para sarjana sekarang mengatakan kepada kita, bahwa matahari akan terus memercik sepanjang abad sebelum tiba waktunya ia habis hilang sama sekali. Akan percayakah orang pada pendapat ini tanpa ia ragukan lagi kemungkinannya? Matahari yang memancarkan sinar dan kehangatan sehingga karenanya alam ini hidup, bagaimana akan habis, bagaimana akan padam sesudah itu kemudian alam ini masih akan tetap ada? Muhammad pun tidak kurang pula dari matahari itu sinarnya, kehangatannya, kekuatannya. Seperti matahari yang telah melimpahkan jasa, Muhammad pun telah pula melimpahkan jasa. Seperti halnya dengan matahari yang telah berhubungan dengan alam, jiwa Muhammad pun telah pula berhubungan dengan semesta alam ini, dan selalu sebutan Muhammad s.a.w. mengharumkan alam ini keseluruhannya. Jadi tidak heran apabila Umar yakin bahwa Muhammad tidak mungkin akan mati. Dan memang benar ia tidak mati, dan tidak akan mati.

Usama b. Zaid yang telah melihat Nabi pagi itu pergi ke mesjid, seperti orang-orang Islam yang lain dia pun menduga bahwa Nabi sudah sembuh. Bersama-sama dengan anggota pasukan yang hendak diberangkatkan ke Syam yang sementara itu pulang ke Medinah, sekarang ia kembali menggabungkan diri dengan markas yang di Jurf. Perintah sudah dikeluarkan supaya pasukannya itu siap-siap akan berangkat. Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba ada orang yang datang menyusulnya, dengan membawa berita sedih tentang kematian Nabi. Ia membatalkan niatnya akan berangkat dan pasukannya diperintahkan kembali semua ke Medinah. Ia pergi ke rumah Aisyah dan ditancapkannya benderanya di depan pintu rumah itu, sambil menantikan keadaan Muslimin

Sebenarnya Muslimin sendiri dalam keadaan bingung. Setelah mereka mendengar pidato Abu Bakr dan yakin sudah bahwa Muhammad sudah wafat, mereka lalu terpencar-pencar. Golongan Anshar lalu menggabungkan diri kepada Said b. ‘Ubada di Saqifa3 Banu Sa’ida; Ali b. Abi Talib, Zubair ibn’l-‘Awwam dan Talha b. ‘Ubaidillah menyendiri pula di rumah Fatimah; pihak Muhajirin, termasuk Usaid b. Hudzair dari Banu ‘Abd’l-Asyhal menggabungkan diri kepada Abu Bakr.

Sementara Abu Bakr dan Umar dalam keadaan demikian, tiba-tiba ada orang datang menyampaikan berita kepada mereka, bahwa Anshar telah menggabungkan diri kepada Sa’d b. ‘Ubada, dengan menambahkan bahwa: Kalau ada masalah yang perlu diselesaikan dengan mereka, segera susullah mereka, sebelum keadaan jadi berbahaya. Rasulullah s.a.w. masih di dalam rumah, belum lagi selesai (dimakamkan) dan keluarganya juga sudah menutupkan pintu.

“Baiklah,” kata Umar menujukan kata-katanya kepada Abu Bakr. “Kita berangkat ke tempat saudara-saudara kita dari Anshar itu, supaya dapat kita lihat keadaan mereka.”

Ketika di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan dua orang baik-baik dari kalangan Anshar, yang kemudian menceritakan kepada pihak Muhajirin itu tentang adanya orang-orang yang sedang mengadakan persepakatan.

“Tuan-tuan mau ke mana?” tanya dua orang itu.

Setelah diketahui bahwa mereka akan menemui orang-orang Anshar, kedua orang itu berkata:

“Tidak ada salahnya tuan-tuan tidak mendekati mereka. Saudara-saudara Muhajirin, selesaikanlah persoalan tuan-tuan.”

“Tidak, kami akan menemui mereka,” kata Umar.

Lalu mereka meneruskan perjalanan sampai di Serambi Banu Sa’ida. Di tengah-tengah mereka itu ada seorang laki-laki yang sedang berselubung.

“Siapa ini?” tanya Umar bin’l-Khattab.
“Sa’d b. ‘Ubada,” jawab mereka. “Dia sedang sakit.”

Setelah pihak Muhajirin duduk, salah seorang dari Anshar berpidato. Sesudah mengucapkan syukur dan puji kepada Tuhan ia berkata:

“Kemudian daripada itu. Kami adalah Ansharullah dan pasukan Islam, dan kalian dari kalangan Muhajirin sekelompok kecil dari kami yang datang ke mari mewakili golongan tuan-tuan. Ternyata mereka itu mau menggabungkan kami dan mengambil hak kami serta mau memaksa kami.”

Yang demikian ini memang merupakan jiwa Anshar sejak masa hidup Nabi. Oleh karena itu, begitu Umar mendengar kata-kata tersebut ia ingin segera menangkisnya. Tetapi oleh Abu Bakr ditahan, sebab sikapnya yang keras sangat dikuatirkan.

“Sabarlah, Umar!” katanya. Kemudian ia memulai pembicaraannya, ditujukan kepada Anshar:

“Saudara-saudara! Kami dari pihak Muhajirin orang yang pertama menerima Islam, keturunan kami baik-baik, keluarga kami terpandang, kedudukan kami baik pula. Di kalangan Arab kamilah yang banyak memberikan keturunan, dan kami sangat sayang kepada Rasulullah. Kami sudah Islam sebelum tuan-tuan dan di dalam Qu’ran juga kami didahulukan dari tuan-tuan; seperti dalam firman Tuhan:

‘Orang-orang yang terdahulu dan mula-mula (masuk Islam), dari Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam melakukan kebaikan.’ (Qur’an, 9:100)

Jadi kami Muhajirin dan tuan-tuan adalah Anshar, saudara-saudara kami seagama, bersama-sama menghadapi rampasan perang dan mengeluarkan pajak serta penolong-penolong kami dalam menghadapi musuh. Apa yang telah tuan-tuan katakan, bahwa segala kebaikan ada pada tuan-tuan, itu sudah pada tempatnya. Tuan-tuanlah dari seluruh penghuni bumi ini yang patut dipuji. Dalam hal-ini orang-orang Arab itu hanya mengenal lingkungan Quraisy ini. Jadi dari pihak kami para amir dan dari pihak tuan-tuan para wazir.”4

Ketika itu salah seorang dari kalangan Anshar ada yang marah, lalu berkata:

“Saya tongkat lagi senjata.5 Saudara-saudara Quraisy, dari kami seorang amir dan dari tuan-tuan juga seorang amir.”

“Dari kami para amir dan dari tuan-tuan para wazir,” kata Abu Bakr. “Saya menyetujui salah seorang dari yang dua ini untuk kita. Berikanlah ikrar tuan-tuan kepada yang mana saja yang tuan-tuan sukai.”

Lalu ia mengangkat tangan Umar bin’l-Khattab dan tangan Abu ‘Ubaida bin’l-Jarrah, sambil dia duduk di antara dua orang itu. Lalu timbul suara-suara ribut dan keras. Hal ini dikuatirkan akan membawa pertentangan. Ketika itu Umar lalu berkata dengan suaranya yang lantang:

“Abu Bakr, bentangkan tanganmu!”

Abu Bakr membentangkan tangan dan dia diikrarkan seraya kata
Umar:

“Abu Bakr, bukankah Nabi sudah menyuruhmu, supaya engkaulah yang memimpin Muslimin bersembahyang? Engkaulah penggantinya (khalifah). Kami akan mengikrarkan orang yang paling disukai oleh Rasulullah di antara kita semua ini.”

Kata-kata ini ternyata sangat menyentuh hati Muslimin yang hadir, karena benar-benar telah dapat melukiskan kehendak Nabi sampai pada hari terakhir orang melihatnya. Dengan demikian pertentangan di kalangan mereka dapat dihilangkan. Pihak Muhajirin datang memberikan ikrar, kemudian pihak Anshar juga memberikan ikrarnya.

Bilamana keesokan harinya Abu Bakr duduk di atas mimbar, Umar ibn’l-Khattab tampil berbicara sebelum Abu Bakr, dengan mengatakan - setelah mengucapkan syukur dan puji kepada Tuhan:

“Kepada saudara-saudara kemarin saya sudah mengucapkan kata-kata yang tidak terdapat dalam Kitabullah, juga bukan suatu pesan yang diberikan Rasulullah kepada saya. Tetapi ketika itu saya berpendapat, bahwa Rasulullah yang akan mengurus soal kita, sebagai orang terakhir yang tinggal bersama-sama kita. Tetapi Tuhan telah meninggalkan Qu’ran buat kita, yang juga menjadi penuntun RasulNya. Kalau kita berpegang pada Kitab itu Tuhan menuntun kita, yang juga telah menuntun Rasulullah. Sekarang Tuhan telah menyatukan persoalan kita di tangan sahabat Rasulullah s.a.w. yang terbaik di antara kita dan salah seorang dari dua orang, ketika keduanya itu berada dalam gua. Maka marilah kita ikrarkan dia.”

Ketika itu orang lalu memberikan ikrarnya kepada Abu Bakr sebagai Ikrar Umum setelah Ikrar Saqifa.

Selesai ikrar kemudian Abu Bakr berdiri. Di hadapan mereka itu ia mengucapkan sebuah pidato yang dapat dipandang sebagai contoh yang sungguh bijaksana dan sangat menentukan. Setelah mengucap puji syukur kepada Tuhan Abu Bakr r.a. berkata:

“Kemudian, saudara-saudara. Saya sudah dijadikan penguasa atas kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan kamu adalah kuat di mata saya, sesudah haknya nanti saya berikan kepadanya - insya Allah, dan orang yang kuat, buat saya adalah lemah sesudah haknya itu nanti saya ambil - insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana pada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan RasulNya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasul maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah salat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian.”

Sementara kaum Muslimin sedang berlainan pendapat - kemudian kembali sependapat lagi dalam melantik Abu Bakr dalam Ikrar Saqifa kemudian Ikrar Umum - jenazah Nabi masih tetap ditempatnya di atas ranjang kematian dikelilingi oleh kerabat-kerabat dan pihak keluarga.

Selesai memberikan ikrar kepada Abu Bakr orang segera bergegas lagi hendak menyelenggarakan pemakaman Rasulullah. Dalam hal di mana akan dimakamkan, orang masih berbeda pendapat. Kalangan Muhajirin berpendapat akan dimakamkan di Mekah, tanah tumpah darahnya dan di tengah-tengah keluarganya. Yang lain berpendapat supaya dimakamkan di Bait’l-Maqdis (Yerusalem} karena para nabi sebelumnya di sana dimakamkan. Saya tidak tahu bagaimana orang-orang ini berpendapat demikian, padahal Bait’l-Maqdis pada waktu itu masih di tangan Rumawi dan sejak kejadian Mu’ta dan Tabuk, Rumawi dengan pihak Islam sedang dalam permusuhan, sehingga Rasulullah menyiapkan pasukan Usama untuk mengadakan pembalasan.

Kaum Muslimin tak dapat menyetujui pendapat ini, juga mereka tidak setuju Nabi dimakamkan di Mekah. Mereka ini berpendapat supaya Nabi dimakamkan di Medinah, kota yang telah memberikan perlindungan dan pertolongan, dan kota yang mula-mula bernaung di bawah bendera Islam. Mereka berunding, di mana akan dimakamkan? Satu pihak mengatakan: dimakamkan di mesjid, tempat dia memberi khotbah dan bimbingan serta memimpin orang sembahyang, dan menurut pendapat mereka supaya dimakamkan ditempat mimbar atau di sampingnya. Tetapi pendapat demikian ini kemudian ditolak, mengingat adanya keterangan berasal dari Aisyah, bahwa ketika Nabi sedang dalam sakit keras, ia mengenakan kain selubung hitam, yang sedang ditutupkan di mukanya, kadang dibukakan sambil ia berkata: “Laknat6. Tuhan kepada suatu golongan yang mempergunakan pekuburan nabi-nabi sebagai mesjid.”

Kemudian Abu Bakr tampil memberikan keputusan kepada orang ramai itu dengan mengatakan:

“Saya dengar Rasulullah s.a.w. berkata Setiap ada nabi meninggal, ia dimakamkan di tempat dia meninggal.”

Lalu diambil keputusan, bahwa pada letak tempat tidur ketika Nabi meninggal itu, di tempat itulah akan digali.

Selanjutnya yang bertindak memandikan Nabi ialah keluarganya yang dekat. Yang pertama sekali Ali b. Abi Talib, lalu ‘Abbas b. ‘Abd’l-Muttalib serta kedua puteranya, Fadzl dan Qutham serta Usama b. Zaid. Usama b. Zaid dan Syuqran, pembantu Nabi, bertindak menuangkan air sedang Ali yang memandikannya berikut baju yang dipakainya. Mereka tidak mau melepaskan baju itu dari (badan) Nabi. Dalam pada itu mereka juga mendapatkan Nabi begitu harum, sehingga Ali berkata: “Demi ibu bapaku! Alangkah harumnya engkau di waktu hidup dan di waktu mati.”

Karena itu juga beberapa Orientalis ada yang berpendapat, bahwa bau harum itu disebabkan Nabi selama hidupnya biasa memakai wangi-wangian. Ia menganggap wangi-wangian itu sudah menjadi barang kesukaannya dalam kehidupan dunia ini.

Selesai dimandikan dengan mengenakan baju yang dipakainya itu, Nabi dikafani dengan tiga lapis pakaian: dua Shuhari7. dan satu pakaian jenis burd hibara dengan sekali dilipatkan. Selesai penyelenggaraan dengan cara demikian, jenazah dibiarkan di tempatnya. Pintu-pintu kemudian dibuka untuk memberikan kesempatan kepada kaum Muslimin, yang memasuki tempat itu dari jurusan mesjid, untuk mengelilingi serta melepaskan pandangan perpisahan dan memberikan doa selawat kepada Nabi. Kemudian mereka keluar lagi dengan membawa perasaan duka dan kepahitan yang dalam sekali, yang sangat menekan hati.

Ruangan itu telah menjadi penuh kembali tatkala kemudian Abu Bakr dan Umar masuk melakukan sembahyang bersama-sama Muslimin yang lain, tanpa ada yang bertindak selaku imam dalam sembahyang itu. Setelah orang duduk kembali dan keadaan jadi sunyi, Abu Bakr berkata:

“Salam kepadamu ya Rasulullah, beserta rahmat dan berkah Tuhan.8 Kami bersaksi, bahwa Nabi dan Rasulullah telah menyampaikan risalah Tuhan, telah berjuang di jalan Allah sampai Tuhan memberikan pertolongan untuk kemenangan agama. Ia telah menunaikan janjinya, dan menyuruh orang menyembah hanya kepada Allah tidak bersekutu.”

Pada setiap kata yang diucapkan oleh Abu Bakr disambut oleh Muslimin dengan penuh syahdu dan khusyu: Amin! Amin!

Selesai bagian laki-laki melakukan sembahyang, setelah mereka keluar, masuk pula kaum wanita, dan setelah mereka, kemudian masuk pula anak-anak. Semua mereka itu, masing-masing membawa hati yang pedih, perasan duka dan sedih menekan kalbu, karena mereka harus berpisah dengan Rasulullah, penutup para nabi.

Di hadapan saya sekarang - setelah lampau seribu tiga ratus tahun yang lalu - terbentang sebuah lukisan peristiwa khidmat dan syahdu yang telah memenuhi hati saya, dengan segala kerendahan hati dan hormat. Tubuh yang terbungkus kini terletak dalam sebuah sudut, dalam ruangan yang nantinya akan menjadi sebuah makam, dan ruangan yang tadinya dihuni oleh orang yang mengenal makna hidup, orang yang penuh rahmat, penuh cahaya. Tubuh yang suci ini, yang telah mengajak dan membimbing orang ke jalan yang benar, dan yang buat mereka telah menjadi teladan tertinggi tentang arti kebaikan dan kasih sayang, tentang ketangkasan dan harga diri, tentang keadilan dan kesadaran dalam menghadapi kekejaman serta segala tindakan tirani.

Orang yang banyak itu kini lalu dengan perasaan yang sudah remuk-redam, dengan hati yang sendu, hati yang tersayat pilu. Setiap pria, setiap wanita, setiap anak-anak - terhadap laki-laki yang sekarang memilih tempatnya di sisi Tuhan itu - mengenangkannya sebagai ayah, sebagai kawan setia dan sahabat, sebagai Nabi dan Rasulullah. Betapakah perasaan yang sekarang sedang rimbun memenuhi kalbu yang penuh semarak iman itu, kalbu yang penuh prihatin akan rahasia hari esok setelah Rasui wafat?! Lukisan peristiwa khidmat inilah yang sekarang terbentang di hadapan saya. Saya lihat diri saya sedang tercengang menatapnya, dengan sepenuh hati akan keagungan yang penuh syahdu dan khidmat ini; hampir-hampir saya tak dapat melepaskan diri.

Sudah sepantasnya pula apabila kaum Muslimin jadi kuatir. Sejak diumumkannya berita kematian Nabi di Medinah dan kemudian tersebar pula sampai kepada kabilah-kabilah Arab di sekitar kota, pihak Yahudi dan Nasrani segera memasang mata dan telinga, sifat-sifat munafik mulai timbul, iman orang-orang Arab yang masih lemah mulai pula guncang. Dalam pada itu orang-orang Mekah juga sudah siap-siap akan berbalik dari Islam, bahkan sudah mau bertindak demikian, sehingga ‘Attab b. Asid wakil Nabi di Mekah merasa kuatir dan tidak menampakkan diri kepada mereka. Tepat sekali Suhail b. ‘Amr yang berada di tengah-tengah mereka itu ketika ia tampil dan berkata - setelah menerangkan kematian Nabi - bahwa Islam sekarang sudah bertambah kuat, dan siapa yang masih menyangsikan kami, kami penggal lehernya. Kemudian katanya lagi:

“Penduduk Mekah! Kamu adalah orang yang terakhir masuk Islam, maka janganlah jadi orang yang pertama murtad! Demi Allah. Tuhanlah yang akan menyelesaikan soal ini. Seperti kata Rasulullah s.a.w. - Belum jugakah mereka sadar dari kemurtadan mereka itu?”

Ada dua cara orang-orang Arab ketika itu dalam menggali kuburan: pertama cara orang Mekah yang menggali kuburan dengan dasarnya yang rata; kedua cara orang Medinah yang menggali kuburan dengan dasarnya yang dilengkungkan. Abu ‘Ubaidah bin’l-Jarrah misalnya, ia menggali cara orang Mekah, sedang Abu Talha Zaid b. Sahl menggali kuburan cara orang Medinah. Keluarga Nabi juga memperbincangkan cara mana kuburan itu akan digali. ‘Abbas paman Nabi segera mengutus dua orang, masing-masing supaya memanggil Abu ‘Ubaida dan Abu Talha. Yang diutus kepada Abu ‘Ubaida kembali tidak bersama dengan yang dipanggil, sedang yang diutus kepada Talha datang bersama-sama. Maka makam Rasulullah digali menurut cara Medinah.

Bilamana hari sudah senja, dan setelah kaum Muslimin selesai menjenguk tubuh yang suci itu serta mengadakan perpisahan yang terakhir, keluarga Nabi sudah siap pula akan menguburkannya. Mereka menunggu sampai tengah malam. Kemudian sehelai syal berwarna merah yang biasa dipakai Nabi dihamparkannya di dalam kuburan itu. Lalu ia diturunkan dan dikebumikan ke tempatnya yang terakhir oleh mereka yang telah memandikannya. Di atas itu lalu dipasang bata mentah kemudian kuburan itu ditimbun dengan tanah.

Dalam hal ini Aisyah berkata: “Kami mengetahui pemakaman Rasulullah s.a.w. ialah setelah mendengar suara-suara sekop pada tengah malam itu.”

Fatimah juga berkata seperti itu.

Upacara pemakaman itu terjadi pada malam Rabu 14 Rabiulawal, yakni dua hari setelah Rasul berpulang ke rahmatullah.

Sesudah itu Aisyah tinggal menetap di rumahnya dalam ruangan yang berdampingan dengan ruangan makam Nabi. Ia merasa bahagia di samping tetangga yang sangat mulia itu.

Setelah Abu Bakr wafat ia dimakamkan di samping Nabi, demikian juga Umar menyusul dimakamkan di sebelahnya lagi. Ada disebutkan, bahwa Aisyah berziarah ke ruangan makam itu tidak mengenakan kudung, sebab sebelum Umar dimakamkan, di sana hanya ayah dan suaminya. Tetapi setelah juga Umar dimakamkan, setiap ia masuk selalu berkudung dengan mengenakan pakaian lengkap.

Begitu selesai kaum Muslimin menyelenggarakan pemakaman Rasulullah, Abu Bakr memerintahkan pasukan Usama yang akan menyerbu Syam segera diteruskan sebagai pelaksanaan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah. Ada juga kaum Muslimin yang merasa tidak setuju dengan itu, seperti yang pernah terjadi ketika Nabi sedang sakit. Umar termasuk orang yang tidak setuju. Ia berpendapat supaya kaum Muslimin tidak bercerai-berai. Mereka harus tetap di Medinah, sebab dikuatirkan akan terjadi hal-hal yang kurang menyenangkan. Tetapi dalam melaksanakan perintah Rasul Abu Bakr tidak pernah ragu-tagu. Dia pun menolak pendapat orang yang mengusulkan supaya mengangkat seorang komandan yang lebih tua usianya dari Usama dan lebih berpengalaman dalam perang.
[
Dengan demikian pasukan di Jurf itu tetap disiapkan di bawah pimpinan Usama, dan Abu Bakr pergi melepaskannya. Ketika itu dimintanya kepada Usama supaya Umar dibebaskan dari tugas itu. Ia perlu tinggal di Medinah supaya dapat memberi nasehat kepada Abu Bakr.

Belum selang duapuluh hari setelah tentara berangkat, pihak Muslimin sudah dapat menyerang Balqa’. Usama telah dapat mengadakan pembalasan buat kaum Muslimin dan ayahnya yang telah terbunuh di Mu’ta dulu. Dalam peristiwa yang gemilang itu semboyan perang yang diucapkan ialah: “Untuk kemenangan, matilah!”9Dengan demikian baik Abu Bakr mau pun Usama telah dapat melaksanakan perintah Nabi. Ia kembali dengan pasukannya itu ke Medinah didahului panji yang oleh Rasulullah dulu diserahkan di tangannya dengan menunggang kuda yang juga dulu dipakai ayahnya di Mu’ta sampai tewasnya.

Setelah Nabi berpulang, Fatimah puterinya minta kepada Abu Bakr tanah peninggalan Nabi di Fadak dan di Khaibar diberikan kepadanya. Tetapi Abu Bakr menjawab dengan kata-kata ayahnya: “Kami para nabi tidak mewariskan.10. Apa yang kami tinggalkan buat sedekah.” Kemudian kata Abu Bakr kepada Fatimah:

“Kalau ayahmu dulu memang sudah menghibahkan harta ini kepadamu, maka usulmu itu saya terima, dan saya laksanakan apa yang dimintanya itu.” Tetapi Fatimah menjawab bahwa tentang itu ayahnya tidak berkata apa-apa kepadanya hanya Umm Aiman yang mengatakan kepadanya bahwa yang demikian itulah yang dimaksudkan. Dalam hal ini Abu Bakr menekankan supaya Fadak dan Khaibar tetap dikembalikan ke baitulmal untuk kaum Muslimin.

Demikianlah, Muhammad pergi melepaskan dunia ini dengan tiada meninggalkan sesuatu kekayaan dunia yang fana kepada siapa pun. Ia pergi melepaskan dunia ini seprti ketika ia datang. Sebagai peninggalan ia telah memberikan agama yang lurus ini kepada umat manusia. Ia telah merintis jalan kebudayaan Islam yang maha besar, yang telah menaungi dunia sebelumnya, dan akan menaungi dunia kemudian. Ia telah menanamkan ajaran Tauhid, menempatkan ajaran Tuhan yang tinggi di atas dan ajaran orang-orang kafir yang rendah di bawah. Kehidupan paganisma dalam segala bentuk dan penampilannya telah dikikis habis. Manusia sekarang diajaknya melakukan perbuatan yang baik dan takwa, bukan perbuatan dosa dan permusuhan. Kemudian ia meninggalkan Kitabullah buat manusia, sebagai rahmat dan petunjuk. Ia meninggalkan teladan yang tinggi, contoh nan indah. Contoh terakhir diberikannya kepada umat manusia, ketika dalam sakit, ia berkata kepada orang banyak:

“Wahai manusia! Barangsiapa punggungnya pernah kucambuk, ini punggungku, balaslah! Barangsiapa kehormatannya pernah kucela, ini kehormatanku, balaslah! Dan barangsiapa hartanya pernah kuambil, ini hartaku, ambillah! Jangan ada yang takut permusuhan, itu bukan bawaanku.”

Bilamana ada orang yang pernah menuntut uang tiga dirham kepadanya, kepada orang itu diberikan pula gantinya. Kemudian ia melepaskan dunia ini dengan meninggalkan warisan rohani yang agung, yang selalu memancar di semesta dunia ini. Tuhan akan menyempurnakan ajaranNya, akan menolong agamaNya di atas semua agama, sekali pun oleh orang-orang kafir tidak diakui.

Semoga Allah memberi rahmat dan kedamaian kepadanya.

Shallallahu ‘alaihi wa sallam.



Catatan kaki:

1 Sejenis kain bersulam buatan Yaman.
2 Diucapkan sebagai tanda cinta dan mendoakan. Lihat halaman 326 (A).
3 Saqifa berarti ‘serambi beratap’ (N) (LA) atau ‘ruangan besar beratap’ (LA), semacam balairung (A).
4 Umara’ jamak amir, harfiah ‘yang memerintah,’
pemimpin-pemimpin, dapat diartikan kepala-kepala negara; wuzana’ jamak wazir‘yang memberi dukungan’ (N), yakni ‘para menteri’ (A).
5 Harfiah ‘Saya kayu pasak tempat ternak bergerak dan setandan kurma yang bertopang,’ yakni ‘saya tempat orang yang mencari pengobatan dengan pendapatnya, seperti unta mengobati sakit gatalnya dengan bergaruk-garuk pada kayu pasak.’ (N). Perumpamaan Melayu di atas berarti, saya yang memberi dua pertolongan dalam satu perjalanan.’ (A)
6 Dalam teks Hadis digunakan kata ‘la’ana’ dan ‘qatala,’ yang menurut (N) dapat diartikan sama (A).
7 Shuhari dan Shuhar nama sebuah desa di Yaman. Juga dikatakan dari kata shuhra, yakni warna merah muda.
8 Assalamu’alaika, ya Rasulullah wa rahmatullahi wa barakatuhu
9 ‘Ya manshur, amit!,’ Harfiah: ‘O yang menang, matilah’ Menurut (N). ini berarti perintah mati sebagai optimisma kemenangan yang akan dicapai, juga dipakai sebagai sandi untuk saling kenal-mengenal dalam gelap malam (A).
10 Aslinya dalam bentuk penderita atau obyek = tidak
diwarisi (A).

X
Donasi yang tertampung akan digunakan untuk perkembangan Aplikasi/website ini, dan sebagian akan disumbangkan untuk Mesjid atau Madrasah

Donasi dapat melalui bank BRI
No Rekening : 416001002997504
Atas Nama : Yudi Mansopyan

Terimakasih..!