® Rajawally Intermezo

"Membaca qunut dalam shalat adalah sunnah, dan meninggalkannya pun juga sunnah." Itulah komentar Ibnul Qoyyim tentang perbedaan pendapat para ulama tentang qunut. Sebab, memang di sana ada riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW membacanya dalam shalat, namun ada juga hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW meninggalkannya.

Tapi kenyataan di masyarakat kita berbeda. Berseteru gara-gara qunut bahkan sampai saling mencaki-maki adalah peristiwa yang sering kita dengar. Ironis memang, hanya gara-gara qunut yang sunnah, lantas meninggalkan yang wajib; menjaga persatuan umat dan berbuat baik terhadap sesama muslim.


Perbedaan adalah Fithrah

Tak ada sesuatu yang persis sama di dunia ini. Meski ada, hanyalah terbatas pada beberapa hal kecil saja. Itulah sunnatullah. Bukti kekuasaan Allah SWT yang tak terhingga. Dengan perbedaan, dunia menjadi penuh warna, dimana manusia dapat saling melengkapi satu-sama lain, dan bahkan saling tolong-menolong.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang berotak brilian dan ada yang biasa. Karena itu, perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah, bukan hal tercela.

Hal seperti ini juga terjadi pada para ulama. Pengetahuan dan kemampuan yang berbeda-beda akhirnya menghasilkan ijtihad yang berbeda pula. Bagi yang sering mengkaji kitab-kitab perbandingan madzhab, selisih pendapat di antara mereka bukanlah hal asing, karena berbeda pendapat dalam menghukumi sesuatu telah ada sejak zaman shababat ra. Contohnya saja, keputusan Khalifah Abu Bakar untuk memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, disepakati setelah melalui musyawarah yang diwarnai silih beda pendapat. Atau antara Umar ra. dan Utsman ra. dalam masalah pembukuan Al-Qur'an, serta banyak lagi.


Ikhtilaf Dalam Hukum Fiqih

Ikhtilaf atau perbedaan pendapat dalam hukum fiqih disebabkan oleh banyak hal, antara lain :
  1. Perbedaan para ulama dalam memahami teks Al-Qur'an dan Hadits
    Teks Al-Qu'ran dan Hadits kadang membuka peluang untuk dipahami secara berbeda, misalnya dengan adanya kata yang mempunyai lebih dari satu makna. Perbedaan pemahaman itu melahirkan perbedaan penghukuman. Contohnya kata "la mastum" dalam surah Al-Maidah ayat 6. Kata itu bisa berarti "bersentuhan" dan bisa berarti "hubungan suami istri". Yang mengartikannya, sebagai hubungan suami istri, akan mengeluarkan pendapat bahwa bersentuhan saja dengan wanita tidak membatalkan wudlu, tapi yang mengartikannya sebagai bersentuhan, akan menghukumi batal wudlu, bila kulit wanita dan pria bersinggungan.

  2. Perbedaan pengetahuan mereka tentang Hadits
    Orang yang paling tahu dan mengerti Hadits-Hadits Rasulullah SAW adalah para shahabat. Sepeninggalan Nabi, para shahabat menyebar ke berbagai daerah untuk mensyiarkan Islam, antara lain Irak, Kufah, Mesir, dll. Kendati begitu, sebagian besar mereka tetap berdomisili di Madinah. Wal hasil, kota yang banyak didiami oleh banyak shahabat lebih menguasai hadits dibanding kota yang hanya memiliki sedikit shahabat, dan ini berdampak pada pengambilan hukum. Ulama-ulama Irak, misalnya, lebih cenderung menggunakan ra'yu (pendapat sendiri) yang tetap sejalan dengan Al-Qur'an karena sedikitnya perbendaharaan hadits mereka dan ditambah pula dengan banyak beredarnya hadits-hadits palsu, ketimbang ulama-ulama Madinah yang kaya perbendaharaan haditsnya. Akibat pengetahuan terhadap hadits yang berbeda-beda inilah akhirnya terlahir ijtihad yang berbeda pula.

  3. Perbedaan mereka dalam menilai Hadits
    Para ulama kadang berbeda pendapat dalam menilai sebuah hadtis. Imam Malik menyatakan bahwa hadits a itu shahih, namun setelah mengadakan penelitian lebih lanjut, Imam Syafi'i mengatakan bahwa hadits tersebut dhaif, lemah, sehingga tidak dapat dijadikan sandaran hukum.

    Salah satu penyebab ikhtilaf tadi adalah perbedaan mereka dalam memverifikasi para perawi hadits. Menurut A si anu (perawi hadits) itu bisa dipercaya (adil), namun B mengatakan ia kurang kredibel.

    Di samping perbedaan dalam menilai keshahihan hadits, kadang mereka juga berbeda pendapat tentang status hadits tertentu. Apakah ia bisa dijadikan hujjah (sandaran hukum) atau tidak. Misalnya hadits mursal tabi'i (hadits yang silsilah perawinya terputus pada tabi'in), Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menerimanya untuk dijadikan hujjah, sementara Imam Syafi'i menolak.

  4. Perbedaan waktu, tempat dan kondisi
    Para ulama hidup pada kurun waktu dan tempat yang berbeda-beda, yang akhirnya melahirkan tabiat dan karakter yang berbeda pula. Dan ini berdampak pada pengambilan hukum. Contohnya Umar bin Abdul Aziz, sewaktu menjadi Gubernur Madinah, ia menerima klaim seseorang hanya dengan satu saksi laki-laki dan sumpah. Tapi ketika ia menjadi khalifah dan tinggal di Syam, tidak menerima klaim seseorang kecuali dengan dua saksi laki-laki atau satu laki-laki dan dua perempuan. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab, "Kami sungguh mendapati penduduk Syam berada dalam kondisi dan tradisi yang berbeda dengan Madinah."

  5. Perbedaan mereka dalam mensikapi dalil-dalil yang kelihatan kontradiktif
    Contohnya hadits-hadits berikut :
    1. La sholata illa bifatihatil kitab (tidaklah sah shalat seseorang tanpa membaca surah al-Fatihah).
    2. Idza qara'al imamu fa anshitu (jika Imam sedang membaca Al-Qur'an, dengarkanlah).
    3. Man kana lahu imam, faqira'atahu lahu qira'ah (barang siapa bersama imam, cukuplah baginya bacaan imam).

    Berdasarkan ketiga hadits ini, para ulama berbeda pendapat tentang apakah makmum wajib membaca al-Fatihah atau tidak. Imam Syafi'i berpendapat bahwa makmum wajib membaca al-Fatihah berdasarkan hadits pertama. Imam Hanbali berkata bahwa jika imam membaca keras, makmum tidak perlu membaca al-Fatihah, tapi jika imam tidak membaca keras, makmum wajib membacanya. Dalam hal ini, Imam Hanbali mengkompromikan hadits pertama dan kedua. Sedang menurut Imam Hanafi, seorang makmum tidak wajib membaca apapun berdasarkan hadits yang ketiga.

  6. Perbedaan mereka dalam menggunakan dalil-dalil mukhtalaf (yang diperselisihkan.
    Sebagian besar ulama sepakat dalam menggunakan Al-Qur;an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas sebagai dalil atau sandara hukum. Namun, selain empat unsur tadi, masih ada dalil-dalil yang diperselisihkan oleh para ulama dalam kaitannya sebagai sumber hukum. Dalil-dalil mukhtalaf itu antara lain :
    1. Perkataan atau pendapat Shahabat.
    2. Ijma' penduduk Madinah
    3. Istihsan
    4. Istishab
    5. Mashalih Mursalah
    6. Tradisi,. dsb.

Itulah hal-hal yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat. Sebuah perbedaan yang timbul karena hal-hal yang sangat manusiawi. Karenanya, perbedaan seperti itu tidak tercela. Bahkan Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa berijtihad dan ia benar, baginya dua pahala. Dan jika salah, baginya satu pahala"

Maka tidak sepatutnya perbedaan pendapat dan madzhab menjadi perpecahan, pertikaian, dan fanatismu (taashshub). Allah berfirman, "Wa'tashimu bihablillah jami'an wa la tafarraqu, " (QS. Ali Imran : 103). Artinya : Berpeganglah kamu semua pada tali Allah dan janganlah berpecah belah. Wallahu 'alam bish-showab.


X
Donasi yang tertampung akan digunakan untuk perkembangan Aplikasi/website ini, dan sebagian akan disumbangkan untuk Mesjid atau Madrasah

Donasi dapat melalui bank BRI
No Rekening : 416001002997504
Atas Nama : Yudi Mansopyan

Terimakasih..!