Pembagian hadits ahad dilihat dari sisi kuat dan lemahnya sebuah hadits terbagi menjadi dua, yaitu:
Secara garis besar hadits maqbul terbagi menjadi dua, yaitu shahih dan hasan, dan masing-masing kelompok ini terbagi lagi menjadi dua kelompok hadits, yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi serta hasan lidzatihi dan hasan lighairihi.
Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Hadits Shahih: Hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan memiliki hafalan yang kuat dari rawi yang semisalnya sampai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula memiliki illat.
Sanadnya bersambung adalah: bahwa setiap perawi mengambil hadits secara langsung dari perawi yang berada diatasnya, kondisi seperti ini dari permulaan sanad sampai akhirnya.
Perawi yang adil adalah: bahwa semua perawinya mempuyai sifat ‘al ‘adalah’ tidak fasik dan tidak mempunyai karakter yang tidak beretika.
Al ‘adalah adalah: Potensi (baik) yang dapat membawa pemilik-nya kepada takwa, dan (menyebabkannya mampu) menghindari hal-hal tercela dan se-gala hal yang dapat merusak nama baik dalam pandangan orang banyak. Predikat ini dapat diraih seseorang dengan syarat-syarat: Islam, baligh, berakal sehat, takwa, dan meninggalkan hal-hal yang merusak nama baik.
Memiliki hafalan yang kuat adalah: bahwa setiap perawi mempunyai hafalan yang kuat, baik hafalan yang ada di dalam dada maupun hafalan yang menggunakan bantuan buku.
Tidak syadz artinya: bahwasanya hadits tersebut tidak syadz (nyeleneh/menyelisihi yang lebih kuat).
Tidak memiliki ‘illat artinya: hadits tersebut tidak cacat. Dan ‘Illat adalah Sebab yang samar yang terdapat di dalam hadits yang dapat merusak keshahihannya.
Shahih Lidzatihi: hadits yang shahih berdasarkan persyaratan shahih yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Shahih Lighairihi: hadits yang hakikatnya adalah hasan, dan karena didukung oleh hadits hasan yang lain, maka dia menjadi Shahih Lighairihi.
Hadits Hasan: Hadits yang sanadnya bersambung, yang diri-wayatkan oleh rawi yang adil dan memiliki hafalan yang sedang-sedang saja (khafif adh-Dhabt) dari rawi yang semisalnya sampai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula me-miliki illat.
Hasan Lidzatihi: hadits yang hasan berdasarkan persyaratan hasan yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Hasan Lighairihi: hadits yang hakikatnya adalah dla’if, dan karena didukung oleh hadits dla’if yang lain, maka dia menjadi hasan Lighairihi.
Sedangkan hadits yang tertolak adalah hadits yang tidak jelas kejujuran orang yang membawa khabar tersebut. Itu bisa terjadi karena ketiadaan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat sebuah hadits.
Sebab-sebab tertolaknya hadits itu ada banyak, tetapi secara garis besar bisa di klasifikasikan menjadi dua, yaitu :
Hadits Dha’if: Hadits yang tidak memenuhi syarat hadits maqbul (yang diterima dan dapat dijadikan hujjah), dengan hilangnya salah satu syarat-syaratnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal mengamalkan hadits dha’if. Adapun pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama adalah bahwasanya dianjurkan mengamalkannya dalam hal fadlailul a’mal, akan tetapi harus memenuhi tiga syarat sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnu Hajar:
- Maqbul: sebuah hadits yang mempunyai indikasi kuat kejujuran orang yang membawa khabar tesebut
- Mardud (tertolak): sebuah hadits yang tidak jelas kejujuran orang yang membawa khabar tersebut.
Secara garis besar hadits maqbul terbagi menjadi dua, yaitu shahih dan hasan, dan masing-masing kelompok ini terbagi lagi menjadi dua kelompok hadits, yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi serta hasan lidzatihi dan hasan lighairihi.
Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Hadits Shahih: Hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan memiliki hafalan yang kuat dari rawi yang semisalnya sampai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula memiliki illat.
Sanadnya bersambung adalah: bahwa setiap perawi mengambil hadits secara langsung dari perawi yang berada diatasnya, kondisi seperti ini dari permulaan sanad sampai akhirnya.
Perawi yang adil adalah: bahwa semua perawinya mempuyai sifat ‘al ‘adalah’ tidak fasik dan tidak mempunyai karakter yang tidak beretika.
Al ‘adalah adalah: Potensi (baik) yang dapat membawa pemilik-nya kepada takwa, dan (menyebabkannya mampu) menghindari hal-hal tercela dan se-gala hal yang dapat merusak nama baik dalam pandangan orang banyak. Predikat ini dapat diraih seseorang dengan syarat-syarat: Islam, baligh, berakal sehat, takwa, dan meninggalkan hal-hal yang merusak nama baik.
Memiliki hafalan yang kuat adalah: bahwa setiap perawi mempunyai hafalan yang kuat, baik hafalan yang ada di dalam dada maupun hafalan yang menggunakan bantuan buku.
Tidak syadz artinya: bahwasanya hadits tersebut tidak syadz (nyeleneh/menyelisihi yang lebih kuat).
Tidak memiliki ‘illat artinya: hadits tersebut tidak cacat. Dan ‘Illat adalah Sebab yang samar yang terdapat di dalam hadits yang dapat merusak keshahihannya.
Shahih Lidzatihi: hadits yang shahih berdasarkan persyaratan shahih yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Shahih Lighairihi: hadits yang hakikatnya adalah hasan, dan karena didukung oleh hadits hasan yang lain, maka dia menjadi Shahih Lighairihi.
Hadits Hasan: Hadits yang sanadnya bersambung, yang diri-wayatkan oleh rawi yang adil dan memiliki hafalan yang sedang-sedang saja (khafif adh-Dhabt) dari rawi yang semisalnya sampai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula me-miliki illat.
Hasan Lidzatihi: hadits yang hasan berdasarkan persyaratan hasan yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Hasan Lighairihi: hadits yang hakikatnya adalah dla’if, dan karena didukung oleh hadits dla’if yang lain, maka dia menjadi hasan Lighairihi.
Sedangkan hadits yang tertolak adalah hadits yang tidak jelas kejujuran orang yang membawa khabar tersebut. Itu bisa terjadi karena ketiadaan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat sebuah hadits.
Sebab-sebab tertolaknya hadits itu ada banyak, tetapi secara garis besar bisa di klasifikasikan menjadi dua, yaitu :
- Gugur dari sanad
- Terindikasi cacat atau tertuduh pada seorang perawi.
Hadits Dha’if: Hadits yang tidak memenuhi syarat hadits maqbul (yang diterima dan dapat dijadikan hujjah), dengan hilangnya salah satu syarat-syaratnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal mengamalkan hadits dha’if. Adapun pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama adalah bahwasanya dianjurkan mengamalkannya dalam hal fadlailul a’mal, akan tetapi harus memenuhi tiga syarat sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnu Hajar:
- Dha’ifnya tidak parah
- Menginduk di bawah ushul yang dapat dijadikan sebagai landasan amal
- Ketika mengamalkannya tidak meyakini keotentikan hadits tersebut