–·•Ο•·–
الحال
AL-HAL
الْحَالُ وَصْفٌ فَضْلَةٌ مُنْتَصِبُ ¤ مُفْهِمُ فِي حَالِ كَفَرْداً أَذْهَبُ
HAL adalah
Sifat, sambilan, manshub, dan menjelaskan tentang keadaan seperti sendirian aku
pergi = “FARDAN ADZHABU”
–·•Ο•·– |
1. Hal Muakkidah, sebagai pengokohan, yakni tidak ada makna lain selain sebagai taukid (dijelaskan pada akhir Bab Haal).
2. Hal Mubayyinah, sebagai penjelasan, yakni Sifat Fadhlah/Sambilan yg dinashobkan untuk menerangkan HAI’AH/tingkah/gaya shohibul-haal ketika terjadinya perkerjaan utama.
Penjelasan definisi dan pengertian Hal pada poin 2:
SIFAT : Suatu yg menunjukkan makna dan dzat. contoh ROOKIBUN = berkendara, FARIHUN = bergembira, MASRUURUN = bergembira. dll. Sifat adalah jenis dapat mencakup Hal, Khobar juga Na’at.
FADHLAH : tambahan/sambilan, adalah hal yg bukan pokok didalam penerapan Isnad, yakni asal penyebutan FADHLAH itu adalah suatu yg tidak musti dalam kebiasaan.
MENERANGKAN HAI’AH/TINGKAH SHAHIBUL-HAL: Maksud Shahibul Hal adalah suatu yang diterangkan tingkahnya oleh Haal. yakni penerangan sifatnya diwaktu pekerjaan terjadi. Shohibul hal bisa berupa Fa’il, Naibul Fail, Maf’ul Bih, dll.
Standar untuk mengetahui sifat sebagai penunjukan HAI’AH adalah dengan cara meletakkan pertanyaan KAIFA/bagaimana? maka jawabannya tentu lafazh hal.
contoh :
جاء الضيف ماشياً
JAA’A
ADH-DHOIFU MAASYIYAN* = tamu itu telah
datang dengan berjalan
kaki
* Lafazh MAASYIYAN adalah sebagai HAAL/keadaan
yakni menerangkan HAI’AH/tingkah Isim sebelumnya yg berupa Fa’il lafazh
ADH-DHOIFU. Maka lafazh MAASYIYAN ini patut sebagai jawaban dari pertanyaan
KAIFA contoh KAIFA JAA’A ADH-DHOIFU?/bagaimana tamu itu datang? maka dijawab:
MAASYIYAN/jalan kaki.
contoh Firman Allah:
وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ
WAD’UUHU
MUKHLISHIINA* = sembahlah Allah dengan mengikhlaskan (QS. Al-A’rof
:29)
*lafz “MUKHLISHIINA” adalah HAL dari lafazh Fa’il
yg berupa dhamir Wawu jamak.
contoh Firman Allah:
فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
FA
BA’ATSA ALLAHU ANNABIYYIINA MUBASY-SYIRIINA WA
MUNDZIRIINA*= maka Allah mengutus para nabi sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan. (QS. Al-Baqoroh : 213)
*lafazh “MUBASY-SYIRIINA WA MUNDZIRIINA” adalah
sebagai HAAL dari lafazh Maf’ul Bih “ANNABIYYIINA”
contoh Firman Allah:
فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا
FA KULUU MIMMAA
GHONIMTUM HALAALAN THOYYIBAA* = Maka
makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik (QS. Al-Anfal
: 69)
*dua lafazh “HALAALAN THOYYIBAA” sebagai HAL dari
isim maushul yaitu MAA.
Keluar dari sebutan sifat, yaitu seperti contoh:رجعتُ القهقرى
ROJA’TUL-QOHQOROO* = aku kembali secara mundur
* lafaz QOHQOROO tidak disebut HAAL sekalipun
sebagai penjelasan tentang tingkah daripada Fa’il, karena bukan berupa sifat,
tapi berupa sebutan untuk keadaan kembali ke belakang.
Keluar dari sebutan FADHLAH/sambilan, yaitu Sifat yg dijadikan UMDAH
(penopang) yakni sebagai pokok atau primer, semisal menjadi Mubtada contoh:أقائم الزيدان
A QOO’IMUN AZZADIAANI = apakah yg beridiri itu dua
Zaid?
atau menjadi Khobar contoh:
atau menjadi Khobar contoh:
زيد قائم
ZAIDUN
QOO’IMUN = Zaid berdiri
Keluar dari penunjukan HAI’AH/tingkah, yaitu Tamyiz Musytaq. contoh:لله دَرُّهُ فارساً
LILLAAHI
DARRUHU! FAARISAN* = hebat! penunggangnya.
* Lafazh LILLAAHI DURRUHU! adalah ungkapan ta’jub
atau pujian karena kagum. Lafazh FAARISAN dipilih sebagai TAMYIZ bukan HAL
karena tidak dimaksudkan sebagai penunjukan HAI’AH tapi sebagai penunjukan
pujian daripada kepandaiannya menunggang kuda. Namun demikian bisa saja terjadi
sebagai penerangan HAI’AH tergantung dari maksudnya. Seperti itu juga NA’AT
MANSHUB contoh:
رأيت رجلاً واقفاً
RO’AITU
ROJULAN WAAQIFAN* = aku lihat lelaki yg menetap.
*Lafaz WAAQIFAN dipilih sebagai NA’AT bukan HAAL,
karena memang tidak disusun menjadi HAL tetapi disusun untuk menghususi pada
MAN’UT. Namun demikian bisa saja disusun sebagai penerangan HAI’AH, ini
tergantung pada Konteks Kalimatnya.