–·•Ο•·–
الاستثناء
AL-ISTITSNA’
مَا اسْتَثْنَتِ الاَّ مَعْ تَمَامٍ يَنْتَصِبْ ¤ وَبَعْدَ نَفْيٍ أَوْ كَنَفْيٍ انْتُخِبْ
lafazh
Mustatsna oleh illa pada kalam tam hukumnya NASHOB. (Selain) jatuh sesudah Nafi
atau Syibhu Nafi, dipilihlah hukum … <berlanjut>
إتْبَاعُ مَا اتَّصَلَ وَانْصِبْ مَا انْقَطَعْ ¤ وَعَنْ تَمِيمٍ فِيهِ إِبْدَالٌ وَقَعْ
TABI’ (jadi
badal) bagi yg mustatsna muttashil dan harus NASHOB! bagi yang mustasna
munqothi’. Menurut logat Bani Tamim, TABI’ BADAL juga berlaku pada yg mustatsna
munqothi’.
–·•Ο•·– |
Contoh:
قرأت الكتاب إلا صفحةً
QORO’TU AL-KITAABA ILLA SHOFHATAN* = aku telah membaca kitab itu kecuali
satu halaman.
*Lafazh “SHOFHATAN” dikeluarkan/dikecualikan dari
hukum lafazh sebelum adat ILLA, yaitu hukum MEMBACA (lafazh QORO’TU), karena ia
termasuk dalam hukum tersebut, pemasukan seperti ini disebut hakiki, karena
SHOFHATAN bagian dari AL-KITAB. maka pengecualian seperti ini dinamakan
MUSTATSNA MUTTASHIL.
Contoh:
Contoh:
جاء القوم إلا سيارةً
JAA’A AL-QOUMU ILLA SAYYAAROTAN* = Kaum itu telah datang kecuali mobil.
*lafazh “SAYYAAROTAN” jatuh sesudah adat ILLA, ia
dikecualikan dari hukum lafazh yg ada sebelum ILLA, yaitu hukum datang (lafaz
JAA’A). Andaikan tidak ada ILLA ia termasuk pada hukum datangnya Kaum, pemasukan
seperti ini disebut Taqdiri, karena ” SAYYAAROTAN” bukanlah jenis dari Kaum.
maka pengecualian seperti ini dinamakan MUSTATSNA MUNQOTHI’
ADAWAT ISTISNA semuanya ada delapan dibagi menjadi empat
bagian:
1. Kalimah huruf > ILLA
2. Kalimah Isim > GHOIRU dan SIWAA
3. Kalimah Fi’il > LAISA dan LAA YAKUUNU
4. Taroddud antara Fi’il dan Huruf > KHOLAA, ‘ADAA, HASYAA (untuk HASYAA seringnya disebut kalimah Huruf)
USLUB ISTITSNAA‘ tersusun dari tiga bagian:2. Kalimah Isim > GHOIRU dan SIWAA
3. Kalimah Fi’il > LAISA dan LAA YAKUUNU
4. Taroddud antara Fi’il dan Huruf > KHOLAA, ‘ADAA, HASYAA (untuk HASYAA seringnya disebut kalimah Huruf)
1. Al-Mustatsnaa (isim yg jatuh sesudah adat
istitsna’)
2. Al-Mustatsna minhu (isim yang ada sebelum adat istitsnaa’)
3. Adatul-Istitsna’ (perangkat istitsna).
I’ROB MUSTATSNA pada umumnya adalah wajib Nashob ‘ala
Istitsnaiyah, dengan syarat:2. Al-Mustatsna minhu (isim yang ada sebelum adat istitsnaa’)
3. Adatul-Istitsna’ (perangkat istitsna).
1. Berupa Kalam Tamm yaitu: kalam Istitsnaa dengan
menyebut Mustatsna Minhu.
2. Berupa Kalam Mujab (kalimat positif) yaitu: tanpa Nafi atau Syibhu Nafi (Nahi, Istifham bimakna Nafi).
2. Berupa Kalam Mujab (kalimat positif) yaitu: tanpa Nafi atau Syibhu Nafi (Nahi, Istifham bimakna Nafi).
Dalam hal ini Mustatsna wajib Nashob tidak ada
perbedaan antara yang Mustatsna Muttashil dan Munqathi’ sebagimana dua contoh
diatas. Contoh Firman Allah:
فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ
FA SYAARIBUU MINHU ILLA QOLIILAN MINHUM = Kemudian mereka meminumnya
kecuali beberapa orang di antara mereka (QS.
Al-Baqoroh : 249)
Juga tidak ada perbedaan antara penyebutan
mustasna diakhirkan atau dikedepankan dari Mustatsna Minhu-nya, contoh:
حضر إلا علياً الأصدقاءُ
HADHORO ILLA ‘ALIYYAN AL-ASHDIQOO’U = teman-teman telah hadir
kecuali Ali
((Apabila Kalam Ghoiru Tamm, yakni tanpa
menyebut Mustasna Minhu, maka hukumnya akan diterangkan pada bait
selanjutnya))
Apabila Kalam Tam tersebut Ghoiru Mujab atau Manfi
(kalimat negatif) yakni memakai Nafi atau Syibhu Nafi, maka dalam hal ini
terbagi dua:
1. Jika berupa MUSTASNA
MUTTASHIL, maka boleh dibaca dua jalan: Nashob sebab Istitsnaa’ atau Tabi’
mengikuti I’rob al-Mustatsna Minhu. Contoh:
لا تعجبني الكتُب إلا النافع
LAA TU’JIBUNII AL-KUTUBU ILLAA ANNAAFI’U/ANNAAFI’A* = Kitab-kitab itu tidak
membuatku kagum kecuali kemanfa’atannya.
*lafzh ANNAAFI’U/ANNAAFI’A manshub sebab Istisna,
atau marfu’ sebab Tabi’ menjadi Badal dari Al-Mustatsna Minhu (AL-KUTUBU).
Contoh Firman Allah:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا انفســهم
WAL-LADZIINA YARMUUNA AZWAAJAHUM WA LAM YAKUN
LAHUM SYUHADAA’U ILLAA ANFUSU HUM* = Dan
orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri (QS. Annur :6)
*Qiro’ah Sab’ah membaca lafazh ANFUSU dengan
Rofa’, selain pada Al-Qur’an ia boleh dibaca Nashob. Namun bacaan al-Qur’an
sunnah mengikuti bacaan Mereka. Dan contoh Firmannya:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ
WA LAU ANNAA KATABNAA ‘ALAIHIM AN-IQTULUU
ANFUSAKUM AW-IKHRUJUU MIN DIYAARIKUM MAA FA’ALUUHU ILLAA QOLIILUN MINHUM*
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka (QS. Annisaa’ : 66)
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka (QS. Annisaa’ : 66)
*Qiro’ah Sab’ah selain Ibnu ‘Aamir membaca Rofa’
terhadap lafazh “QOLIILUN” sebagai Badal dari Fa’il dhamir Wau pada lafazh
“FA’ALUUHU”. Sedangkan Ibnu ‘Aamir membaca “QOLIILAN” Nashob sebab
Istitsna’.
2. Jika berupa MUSTASNA
MUNQOTHI’, maka harus dibaca Nashob menurut jumhur mayoritas bangsa Arab.
Contoh:
ما حضر الضيوفُ إلا سيارةً
MAA HADHORO ADH-DHUYUUFU ILLAA SAYYAAROTAN = tamu-tamu tidak hadir kecuali Mobil.
Contoh FirmanNya:
مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ
MAA LAHUM BIHII MIN ‘ILMIN ILLAA-TTIBAA’A-AZHZHONNI*
Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka (QS. An Nisaa’ : 157)
Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka (QS. An Nisaa’ : 157)
*Pada lafazh ITTIBAA’A, qiro’ah sab’ah membaca
Nashob.
Sedangkan bangsa Arab Bani Tamim membaca Tabi’ atau ikut I’rob pada lafazh sebelum ILLA. Sekalipun al-Mustatsna bukan jenis bagian dari al-Mustatsna Minhu. Contoh :
Sedangkan bangsa Arab Bani Tamim membaca Tabi’ atau ikut I’rob pada lafazh sebelum ILLA. Sekalipun al-Mustatsna bukan jenis bagian dari al-Mustatsna Minhu. Contoh :
ما حضر الضيوفُ إلا سيارة
MAA HADHORO ADH-DHUYUUFU ILLAA SAYYAAROTUN* = tamu-tamu tidak hadir kecuali
Mobil.
*Lafazh “SAYYAAROTUN” dibaca rofa’ dijadikan Badal
dari lafaz “ADH-DHUYUUFU”. Demikian ini shah karena kita boleh menyatakan:
حضر سيارة
HADHORO SAYYAAROTUN = Mobil hadir.
Apabila pernyataan dalam hal ini tidak shah, maka
wajib dibaca Nashob, mufakat dari semua bangsa Arab. Contoh:
ما زاد المال إلا ما نقص
MAA ZAADA ALMAALA ILLAA MAA NAQOSHO* = harta tidak bertambah kecuali yang
berkurang.
*lafazh MAA NAQOSHO (maushul dan shilah) wajib
mahal Nashob, karena kita tidak boleh menyatakan:
زاد النقص
ZAADA AN-NAQSHU = kurang bertambah