Barirah, dia seorang sahaya (budak) milik salah seorang dari 
Bani Hilal. Suaminya seorang budak berkulit hitam milik Bani Al-Mughirah, 
bernama Mughits. Barirah radhiallahu ‘anha menginginkan kemerdekaan dirinya. Dia 
pun mengikat perjanjian dengan tuannya untuk membayar sembilan uqiyah sebagai 
harga dirinya. Dalam setahun, dia membayar satu uqiyah. 
Barirah datang menemui ‘Aisyah radhiallahu ‘anha untuk meminta bantuannya. 
Saat itu, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan padanya, “
Kembalilah pada 
tuanmu dan katakan, kalau mereka mau, aku akan membayarkan tunai seluruh 
hargamu, lalu kumerdekakan dirimu dan nanti wala` [1] mu untukku.” Barirah pun kembali 
untuk menyampaikan keinginan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Namun hasilnya nihil. 
Mereka menolak sembari mengatakan, “
Kalau dia mau mengharapkan pahala dari 
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan bantuannya padamu, maka hendaknya dia lakukan, 
sementara wala`mu tetap untuk kami.” 
Barirah mengadukan penolakan mereka kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, 
“
Aku telah menawarkan hal itu kepada mereka, namun mereka menolak, kecuali 
bila wala`ku untuk mereka.” 
Hal itu didengar oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun 
bertanya, “
Apa permasalahan Barirah?” ‘Aisyah menceritakan apa yang 
terjadi. Mendengar penuturan ‘Aisyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda, “
Belilah dia, lalu merdekakan. Sesungguhnya wala` itu bagi orang 
yang memerdekakan.” Setelah itu beliau bangkit untuk berkhutbah di hadapan 
manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala beliau 
bersabda, “
Bagaimana kiranya keadaan suatu kaum, mereka mengajukan syarat 
yang tidak ada di dalam Kitabullah. Syarat mana pun yang tidak ada di dalam 
Kitabullah, maka syarat itu batil, biarpun seratus kali mereka mengajukan 
syarat. Ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu lebih haq, syarat Allah 
Subhanahu wa Ta’ala itu lebih kokoh. Bagaimana kiranya salah seorang dari mereka 
bisa mengatakan, ‘Bebaskanlah budakku, wahai Fulan, sementara wala`nya untukku’. 
Sesungguhnya wala` itu hanya untuk orang yang memerdekakan.” 
Akhirnya, Barirah pun mendapatkan kemerdekaan dirinya yang selama ini 
diimpikan. Ketika itu, Barirah diberi pilihan oleh Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam untuk tetap bersama suaminya atau berpisah darinya. Namun 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengiringi pula dengan nasihat agar 
Barirah tetap mempertahankan pernikahannya. Barirah lalu bertanya kepada beliau, 
“
Wahai Rasulullah, apakah ini sesuatu yang wajib kulakukan?”, 
“
Tidak,” kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “
akan 
tetapi aku hanya ingin menolongnya.” 
Maka berpisahlah Barirah dari Mughits. Barirah memilih dirinya, diiringi 
kesedihan Mughits atas perpisahan itu. Hingga terlihat Mughits mengikuti Barirah 
berjalan di jalan-jalan Madinah sembari berlinangan air mata, memohon kerelaan 
Barirah untuk tetap hidup bersamanya. Namun Barirah enggan untuk kembali sembari 
mengatakan, “
Aku tidak membutuhkanmu.” Sampai-sampai Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada paman beliau, Al-’Abbas radhiallahu 
‘anhu, “
Wahai paman, tidakkah engkau merasa takjub dengan rasa benci Barirah 
terhadap Mughits, dan rasa cinta Mughits pada Barirah?” 
Masa ‘iddah Barirah kala itu seperti ‘iddah wanita merdeka yang ditalak. 
Sebelum dimerdekakan, Barirah biasa membantu ‘Aisyah. Ketika tersebar berita 
dusta tentang ‘Aisyah yang disebarkan oleh gembong munafikin, Abdullah bin Ubai 
bin Salul, atas saran ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Barirah untuk menanyakan tentang keadaan 
‘Aisyah. 
“
Demi Dzat Yang mengutusmu dengan Al-Haq,” jawab Barirah, “
aku 
tidak pernah melihat sesuatu pun yang pantas kucela, kecuali dia itu seorang 
wanita yang masih sangat muda yang masih suka tertidur di sisi adonan makanan 
yang dibuat untuk keluarganya hingga datang hewan memakan adonan itu.” 
Berbagai kisah dirangkai oleh Barirah dengan keluarga Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam. Suatu ketika, Barirah pernah diberi sedekah daging kambing. 
Lalu ia pun menghadiahkan kepada keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam. Saat itu ‘Aisyah enggan memakannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam pun datang, dan bertanya, “
Dari mana daging ini?” “
Barirah 
yang memberikannya untuk kita dari daging yang disedekahkan baginya,” jawab 
‘Aisyah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “
Ini 
sedekah baginya dan hadiah bagi kita darinya.” 
Barirah melalui masa hidupnya hingga beberapa masa pemerintahan. Barirah 
sempat berfirasat bahwa nanti Abdul Malik bin Marwan akan menduduki kepemimpinan 
kaum muslimin. Disampaikannya firasat ini kepada Abdul Malik bin Marwan 
jauh-jauh hari sebelum Abdul Malik diangkat sebagai khalifah, ketika Abdul Malik 
bertemu dengan Barirah di Madinah. Kata Barirah, “Wahai Abdul Malik, aku 
melihatmu memiliki perangai-perangai yang mulia, dan engkau layak untuk memegang 
tampuk pemerintahan. Maka bila nanti engkau diserahi kepemimpinan, berhati- 
hatilah dengan masalah darah kaum muslimin, karena aku pernah mendengar 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “
Sesungguhnya seseorang 
ditolak dari pintu surga setelah melihat keindahan surga disebabkan darah 
seorang muslim sepenuh mihjamah [2] yang dia tumpahkan tanpa hak.” 
Barirah kembali kepada Rabbnya pada masa khilafah Mu’awiyah bin Abi Sufyan 
radhiallahu ‘anhuma. Barirah maulah Ummu Mukminin ‘Aisyah, semoga Allah 
meridhainya….Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab. 
=============================== 
[1] Bila seorang budak yang telah dimerdekakan 
meninggal dunia sementara ia meninggalkan harta, maka hartanya itu diwarisi oleh 
orang yang memerdekakannya
[2] Mihjamah adalah alat untuk berbekam
Sumber :
- Al-Ishabah karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (7/535), 
- Isti’ab karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1795-1796), 
- Ath-Thabaqatul Kubra karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/256-260), 
- Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, 
- Kitabul Mukatab, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, 
- Siyar A’lamin Nubala`, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/297-304), 
- Tahdzibulq Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (35/136-137), dari 
http://www.asysyariah.com).