–·•Ο•·–
التَّعَجُّبُ
BAB TA’AJJUB
(TAKJUB)
بِأفْعَلَ انْطِقْ بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا ¤ أوْ جِئْ بِأفْعِلْ قَبْلَ مَجْرُورٍ ببَا
Berucaplah
dengan wazan AF’ALA setelah MAA (MAA AF’ALA) sebagai ungkapan takjub, atau boleh
gunakan wazan AF’IL sebelum Majrur oleh BA’ (AF’IL
BIHI)
وَتِلْوَ أفْعَلَ انْصِبَنَّهُ كما ¤ أوْفَى خَلِيلَيْنَا وَأصْدِقْ بِهِمَا
Nashabkanlah terhadap kalimah yang jatuh
sesudah wazan AF’ALA seperti: MAA AUFAA KHOLIILAINAA WA ASHDIQ BI HIMAA
(alangkah alimnya kedua sahabatku ini dan alangkah benar
keduanya)
–·•Ο•·– |
Pertama: Tanpa kaidah, hanya dapat diketahui melalui qarinah atau sesuatu yang menunjukan maksud Ta’ajjub.
contoh dalam Ayat Al-Qur’an:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ
Mengapa
kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan
kamu, (QS. Al-Baqarah:28)
Lafaz KAIFA = Isim Istifham mabni fathah menempati
posisi nashab sebagai Hal. dan disini ia berfaidah Ta’ajjub.
Contoh dalam Hadits, dari Abi Hurairah Nabi
Bersabda:
سُبْحَانَ اللهِ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ
Subhaanallaah! sesungguhnya orang mu’min itu
tidak najis.
Lafaz Subhaanallaah = Isim Mashdar yg dinashobkan
oleh Fi’il yang terbuang, sebagai ungkapan takjub dari sebab perkataan Abu
Hurairah sebelumnya; bahwa seseorang menjadi najis sebab junub.
dan contoh perkataan orang arab:
لله دره فارساً
alangkah
hebat! kemahirannya menunggang kuda
Lafazh FAARISAN nashab sebagai Tamyiz yang
dikehendaki ta’ajjub.
Kedua: Ta’ajjub qiasi, mempergunakan dua bentuk
shighat secara qias, yaitu “MAA AF’ALA” dan “AF’IL BIHI”.
1. Shighat Ta’ajjub “MAA AF’ALA”, contoh:
ما أوسع الحديقة!
MAA
AWSA’AL-HADIIQAH! = alangkah luas kebun ini.
Lafaz MAA = Maa ta’ajjub isim
Nakirah Tamm, mabni sukun mahal rofa’ menjadi Mubtada’. disebut Isim Nakirah
karena punya arti syai’un/sesuatu. dan disebut Tamm karena tidak butuh pada
qayyid lain kecuali khobar. Disusun sebagai permulaan kalimat menjadi mubtada’
yang mengandung makna Ta’ajjub.
Lafaz AWSA’A = Fi’il Madhi mabni
fathah, bukti bahwa ia kalimah Fiil ketika bersambung dengan Ya’ Mutakallim
dipastikannya memasang Nun Wiqayah seperti pada contoh:
أفقرني إلى عفو الله
MAA
AFQARANIY ILAA ‘AFWILLAAHI = alangkah fakirnya aku akan pengampunan
Allah.
Failnya berupa dhamir mustatir takdirannya Huwa
rujuk pada MAA.
lafazh AL-HADIIQAH = Maf’ul Bih
dinashabkan oleh AWSA’A. Jumlah Fi’il, Fa’il dan Maf’ul Bih adalah Khobar Jumlah
dari Mubtada’ MAA.
2. Shighat Ta’ajjub “AF’IL BIHII”, contoh:
أقبح بالبخل!
AQBIH
BIL-BUKHLI = Alangkah jeleknya kikir itu.
Sama halnya dengan mengucapkan:
ما أقبحه
MAA
AQBAHA HUU = Alangkah jeleknya kikir itu.
karena dua bentuk ta’ajjub tsb bertujuan sama pada
satu objek (AL-BUKHLI) sebagai Mad-lulnya.
Lafaz AQBIH = adalah Fi’il madhi
dalam shighat Fi’il Amar, mabni Fathah muqaddar karena berbentuk seperti Fi’il
Amar. Asalnya AF’ALA yakni shighat Fi’il Madhi dengan tambahan Hazmah yang
berfaidah SHAIRURAH/menjadi, sebagaimana contoh:
أقبح البخل
AQBAHA
AL-BUKHLU = kebakhilan menjadi bersifat jelek.
Sebagaimana mereka mengatakan:
أبقلت الأرض
ABQALAT
AL-ARDHU = Bumi itu menjadi bertunas (tumbuh tunas)
أثمرت الشجرة
ATSMARAT
ASY-SYAJARA = Pohon itu menjadi berbuah.
Dengan demikian penggunaan Fi’il Madhi dengan rupa
Fi’il Amar tersebut tiada lain hanya untuk tujuan Ta’ajjub. Dan dikarenakan
seperti shighat Fi’il Amar itulah maka tidak benar jika musnad langsung kepada
isim zhahir, oleh karena itu pada Fa’ilnya ditambahi huruf Jar BA’ .
Huruf BA‘ = Zaidah.
Lafazh AL-BUKHLI = menjadi Fa’il
rofa’ dengan Dhammah muqaddar, tercegah irab zhahirnya karena tempatnya sudah
didahului oleh huruf jar zaidah.