® Rajawally Intermezo

Tayammum itu mempunyai sebab-sebab yang membolehkan dan materi yang dipergunakannya, cara-cara khusus, dan hukum-hukum yang berlaku.

Sebab-Sebab Tayammum

Ulama mazhab berbeda pendapat tentang orang yang bukan musafir dan sehat (tidak sakit), tetapi ia tidak mendapatkan air; apakah ia boleh bertayammum? Maksudnya, bila tidak ada air, apakah hanya orang yang berada dalam perjalanan dan sakit sajalah yang dibolehkan bertayammum, atau justru dibolehkan dalam keadaan apapun, sampai pada waktu sehat dan orang yang bukan berada dalam perjalanannya? Hanafi: Orang yang bukan berada dalam perjalanan dan ia sehat (tidak sakit), maka ia tidak boleh bertayammum dan tidak pula shalat kalau tidak ada air. (Al-Bidayah wa Al-Nihayah, Ibnu Rusyd, Jilid I, halaman 63, cetakan tahun 1935, dan juga Al-Mughni, Ibn Qudamah, Jilid I, halaman 234, cetakan ketiga). Hanafi mengemukakan pendapatnya itu berdasarkan ayat 8, Surat Al-Maidah: ….. Bila kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau salah seorang di antara kamu datang dari tempat buang air besar (jamban) atau menyentuh perempuan (menyetubuhinya), lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah…” Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa tidak adanya air saja tidak cukup untuk dijadikan alasan untuk boleh bertayammum selama orang itu bukan musafir atau sakit. Bila tayammum itu hanya khusus bagi orang yang musafir dan orang yang sakit, maka orang yang bukan musafir dan ia sehat dalam keadaan yang tidak ada air, ia berarti tidak diwajibkan shalat, karena ia tidak suci. Dan shalat hanya diwajibkan bagi orang yang suci. Mazhab-mazhab yang lain sepakat bahwa orang yang tidak mendapatkan air wajib bertayammum dan shalat, baik ia dalam keadaan musafir maupun bukan. Sakit maupun sehat berdasarkan hadis yang mutawatir: “Tanah yang baik itu dapat sebagai penyuci orang Islam, sekalipun tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun.” Mereka menjelaskan bahwa dijelaskannya perjalanan (musafir) dalam ayat tersebut karena kebiasaan, sebab biasanya orang-orang musafir tidak mendapatkan air. Kalau betul apa yang dinyatakan Hanafi itu, maka tentu orang-orang musafir dan orang yang sehat, yang keduanya tetap diwajibkan shalat, sedangkan orang yang bukan musafir dan sehat tidak diwajib­kan shalat; (mengapa mesti terbalik logikanya?) Syafi’i dan Hambali: Kalau mendapatkan air tapi tidak cukup untuk berwudhu (menyucikan) secara sempurna, maka ia wajib mempergunakan air itu pada sebagian anggota wudhu yang mudah, dan sebagian yang lain boleh bertayammum. Kalau ada air hanya untuk wajah saja, maka cucilah wajahnya kemudian yang lain ditayammuminya. Mazhab-mazhab yang lain: Adanya air yang tidak cukup itu sama dengan tidak adanya air, maka bagi orang yang demikian tidak di wajibkannya selain bertayammum. Tapi pada masa sekarang, pembahasan tentang tidak adanya air bukan menjadi topik yang perlu diperdebatkan secara panjang lebar, karena pada saat sekarang air sudah mencukupi bagi setiap manusia, dimanapun saja, baik bagi orang yang musafir maupun yang mukim. Para ahli fiqih membahas tentang wajibnya mencari air dan kadar usaha untuk mencarinya. Kalau ia khawatir pada dirinya, hartanya, atau kehormatannya dari pencuri dan binatang buas, atau harus mengeluarkan uang yang lebih dari biasanya, dan seterusnya, maka semuanya itu dikarenakan mereka menemukan kesulitan yang berat untuk mendapatkan air.


Kemudharatan Demi Kesehatan

Semua ulama mazhab sepakat bahwa di antara sebab-sebab dibolehkannya bertayammum itu adanya mudharat untuk menjaga kesehatan bila mempergunakan air, walau pun berdasarkan perkiraan saja. Maka barangsiapa yang takut ditimpa suatu penyakit, atau penyakitnya bertambah atau memperlambat kesembuhannya, atau justru mernpersulit cara mendiagnosanya, maka ia boleh bersuci dengan mempergunakan debu. (Misalnya) kalau waktunya sudah sempit untuk mempergunakan air sebagaimana kalau ia bangun kesiangan, dan waktunya hanya tinggal sedikit dan kalau bersuci dengan air ia akan shalat di luar waktunya, tapi bila bertayammum ia bisa shalat pada waktunya (keburu); apakah ia wajib bertayammum atau bersuci dengan air, bila keadaan sudah sempit seperti itu? Maliki dan Imamiyah: la harus bertayammum dan shalat, tapi kemudian mengulanginya lagi. Syafi’i: Tidak boleh bertayammum kalau pada waktu itu ada air. Hambali: Membedakan antara orang yang musafir dengan orang yang bukan musafir. Kalau keadaan seperti itu terjadi pada waktu musafir, ia harus bertayammum, lalu shalat dan tidak perlu mengu­langinya lagi. Tapi kalau terjadi pada orang yang bukan musafir, maka ia tidak boleh bertayammum. Hanafi: Pada keadaan seperti itu, boleh bertayammum untuk shalat-shalat sunnah yang mempunyai waktu, seperti shalat sunnah setelah Dzuhur dan Magrib. Sedangkan shalat-shalat yang wajib, maka tidak boleh bertayammum, karena pada waktu itu ada air, sekalipun waktunya sangat sempit, tetapi harus berwudhu dan shalat qadha’ (menggantinya). Kalau ia bertayammum dan shalat pada wak­tu itu, maka ia wajib mengulanginya lagi di luar waktu tersebut.


Bahan Tayammum

Semua ulama mazhab sepakat bahwa bahan yang wajib dipergunakan tayammum itu adalah tanah yang suci, bcrdasarkan firman Allah SWT: “Maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang suci “ (Al-Qur’an, Surat Al-Maidah, ayat 6). Juga berdasarkan hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam: “Bumi ini dijadikan sebagai masjid (tempat sujud) dan suci”. Suci itu adalah yang tidak terkena najis. Dan ulama mazhab berbeda pendapat tentang arti Al-Sha’id. Hanafi dan sebagian kelompok Imamiyah: Memahami arti kata tersebut adalah bumi yang ada di permukaan. Dari itu, mereka (Hanafi) dan sebagian kelompok Imamiyah) membolehkan bertayammum dengan debu, pasir dan batu, hanya mereka melarang bertayammum dengan barang-barang tambang, seperti kapur, garam, surfur, dan lain-lain. Syafi’i: Memahaminya adalah tanah dan pasir. Dari itu, mereka (Syafi’i) mewajibkan untuk bertayammum dengan kedua benda tersebut kalau keduanya berdebu. Tetapi kalau bertayammum dengan batu tidak boleh. Hambali: Memahami arti sha’id itu hanya tanah saja. Dari itu tidak boleh bertayammum dengan pasir dan batu. Kebanyakan dari Imamiyah berpendapat seperti pendapat tersebut di atas, hanya mereka (Imamiyah) membolehkan bertayammum dengan pasir dan batu bila dalam keadaan darurat. Maliki: Memikul rata pengertian kata sha’iditu baik tanah, pasir, batu, es dan barang tambang, kalau barang tambang tersebut tidak dipindahkan dari tempatnya, kecuali (yang dilarang) emas, perak, dan permata. Maliki melarang mempergunakan hal-hal tersebut (emas, perak dan per­mata) untuk tayammum secara mutlak.


Cara-cara Bertayammum

Semua ulama mazhab sepakat bahwa tayammum itu tidaklah sah kalau tanpa niat, sampai Hanafi berkata: Niat itu adalah merupakan syarat dalam tayammum, bukan syarat dalam wudhu. Menurut me­reka (Hanafi) bahwa tayammum itu dapat menghilangkan hadas, seperti wudhu dan mandi. Dari itu, mereka membolehkan untuk berniat menghilangkan hadas, sebagaimana berniat untuk dibolehkannya melakukan shalat. Mazhab-mazhab lain berpendapat bahwa tayammum itu membolehkan, bukan menghilangkan (hadas). Bagi orang yang bertayammum hendaknya berniat agar dibolehkan me­lakukan apa-apa yang disyaratkan bersuci dengannya, bukan berniat menghilangkan hadas. Tetapi sebagian Imamiyah mengatakan bahwa boleh berniat menghilangkan hadas, dengan catatan ia mengetahui kalau tayammum itu tidak menghilangkan hadas, karena menurut mereka di dalam niat menghilangkan hadas terdapat kelaziman arti dari niat kebolehannya (istibahah). Sebaik-baiknya cara untuk mengakumulasi (mengumpulkan) semua pendapat-pendapat di atas adalah orang yang bertayammum itu harus berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengikuti perintah-Nya yang berhubungan dengan masalah tayammum ini, baik ketika memulainya, maupun lahir dari perintah shalat dan semacamnya dari beberapa tujuan tayammum. Sebagaimana mereka (ulama mazhab) berbeda pendapat tentang arti sha’id, mereka juga berbeda pendapat tentang maksud mengusap wajah dan kedua tangan yang dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an.

Empat mazhab dan Ibnu Babawaih dari Imamiyah: Yang dimaksud dengan muka itu adalah mengusap semua wajah, yang di dalamnya termasuk janggut, dan yang dua tangan adalah dua telapak tangan, dan pergelangan sampai pada kedua siku-siku. Itulah batas tayammum sebagaimana batas wudhu. Dan caranya adalah menepuk dengan dua kali tepukan, yang pertama untuk mengusap wajah; dan yang kedua unluk mengusap kedua tangan, dengan cara dari ujung jari-jari sampai kedua siku-siku. Maliki dan Hambali: Bahwa mengusap kedua tangan itu hanya sampai pada pergelangan tangan, dan sampai di situlah yang diwajibkannya, sedangkan sampai pada dua sikut-sikut itu adalah sunnah. Imamiyah: Yang dimaksud dengan muka adalah sebagiannya bukan semuanya, karena huruf ba dalam firman Allah memberikan pengertian hanya sebagiannya, karena menunjukkan bahwa ia masuk ke dalam maful (obyek). Bila tidak bermakna sebagian, maka huruf ba itu berarti ba tambahan, karena kata imsahu termasuk kata mu’addi binafsihi (kata kerja yang membutuhkan obyek tanpa huruf penghubung). Maka pada dasarnya, kata tersebut ada­lah tidak adanya tambahan.

Imamiyah memberikan batas bahwa yang wajib itu adalah mengusapnya dari sebagian muka, yang dimulai dari tumbuhnya rambut sampai pada ujung hidung bagian atas, dan termasuk di dalamnya adalah dahi dan kiri kanan dahi. Sedangkan yang termasuk dua tangan adalah dua telapak tangan saja, karena kala alyadu dalam perkataan orang Arab mengandung beberapa pengertian. Di antaranya: Telapak tangan itu sendiri, dan pengertian itu inilah yang paling sering dipergunakan. (Al-Badayah wa Al-Nihayah, karya Ibnu Rusyd,Jilid I, halaman 66). Pengertian tersebut dapat diperkuat kalau Anda berkata: “Inilah dua tangan saya dan mengerjakan suatu perbuatan dengan dua ta­ngan ini”. Dari ungkapan tersebut tidak bisa dipahami kecuali hanya dengan telapak tangan saja. Maka cara bertayammum menurut Ima­miyah berdasarkan keterangan di atas, seperti berikut: Kedua lelapak tangannya dipukulkan ke bumi, lalu mengusapkan kedua tangannya pada mukanya dari tumbuhnya rambut sampai ujung hidung bagian atas. Kemudian memukulkan kedua telapak tangannya lagi ke bumi, lalu mengusapkannya seluruh telapak tangannya yang kanan kepada bagian belakang telapak tangannya yang kiri, begitu juga sebaliknya. Imamiyah: Wajib dilakukan secara tertib, dan kalau dilakukan terbalik, seperti mendahulukan pengusapan tangan dari pengusapan mukanya, rnaka batallah tayammum. Mereka (Imamiyah) mewajibkan pula dari atas lalu ke bawah, maka jika dibalik, batallah tayam­mum itu. Sebagian besar mereka berpendapat: Wajib menepukkan kedua tangannya pada bumi. Maka kalau hanya diletakkan saja padanya (bumi) tanpa ditepukkan (dipukulkannya), maka batallah tayammumnya. Hanafi: Kalau mukanya terkena debu, lalu meletakkan tangannya padanya (wajahnya) dan mengusapkannya, maka itu sudah cukup, serta sebagai pengganti dari memukulkannya.

Semua ulama mazhab sepakat bahwa sucinya anggaota tayammum itu adalah merupakan syarat sahnya tayammum baik yang diusapnya maupun yang mengusapnya, juga benda yang menjadi bahan ta­yammum itu harus suci. Mereka juga sepakat bahwa bagi orang yang bertayammum wajib mencopot (menanggalkan) cincinnya ketika bertayammum, dan tidak cukup hanya dengan menggerakkannya, sebagaimana kalau mau berwudhu. Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang wajibnya muwalat (berturut-turut). Maliki dan Imamiyah: Wajib berturut-turut antara bagian-bagian anggota tayammum itu. Maka kalau dipisahkan (dari jarak) dengan waktu yang mengurangi arti berturut-turut, batallah tayammumnya. Hambali: Wajib berturut-turut kalau bertayammum untuk menghilangkan hadas kecil, tapi kalau untuk menghilangkan hadas besar tidak wajib berturut-turut. Syafi’i: Hanya wajib tertib saja, bukan berturut-turut. Hanafi: Tidak diwajibkan berturut-turut dan tidak diwajibkan pula tertib.


Hukum-hukum Tayammum

Di sini ada beberapa masalah:
  • Semua ulama mazhab sepakat bahwa tidak boleh bertayammum untuk shalat sebelum masuk waktu shalat, kecuali menurut Hanafi: Sah bertayammum sebelum masuk waktu shalat. Imamiyah: Kalau bertayammum sebelum waktunya untuk tujuan yang dibolehkan bertayammum, kemudian masuk waktu dan tayammumnya belum batal, maka ia boleh shalat dengan tayammum tersebut.

    Imamiyah dan Hanafi: Boleh bertayammum untuk menjama’ dua shalat dengan satu tayammum. Syafi’i dan Maliki: Tidak boleh menjama’ dua shalat fardhu dengan satu tayammum saja. Hambali: Boleh menjama’ untuk dua shalat qadha (pengganti) bukan untuk shalat ada’an (shalat pada waktunya).

  • Setelah melaksanakan tayammum berdasarkan keterangan syara’, maka orang yang bertayammum itu hukumnya adalah suci sama seperti sucinya kalau memakai air, dan dibolehkan mengerjakan sesuatu (apa saja) yang dibolehkan pada wudhu dan mandi. Dan tayammum itu menjadi batal dengan apa yang membatalkan wudhu dan mandi, baik hadas besar maupun hadas kecil, dan dengan hilangnya udzur atau sakit.

  • Kalau setelah bertanyammum itu mendapatkan air, dan pada waktu menemukannya itu sebelum masuk melaksanakan shalat, maka batallah tayammumnya itu, menurut kesepakatan semua ulama mazhab. Tapi kalau mendapatkannnya ketika sedang sha­lat, maka: Sebagian Imamiyah: Kalau ia sebelum ruku’ dalam rakaat pertama, maka batal tayammumnya dan shalatnya. Tapi bila telah ruku’ dalam rakaat pertama, maka teruskan shalatnya dan shalat itu sah.

    Syafi’i, Maliki dan Hambali pada salah satu dari dua riwayatnya. dan sebagian kelompok Imamiyah: Kalau ia telah melakukan takbiratul ihram, maka teruskan shalatnya dan shalat itu sah, berdasarkan firman Allah: “Dan janganlah kalian membatalkan perbuatan-perbuatan kalian” (Q.S.Muhammad, 33). Hanafi: Batal shalatnya. Kalau udzurnya. hilang setelah selesai shalat dan waktu masih luas (banyak), maka ia tidak wajib mengulanginya lagi, menurut kesepakatan semua ulama mazhab.

  • Kalau orang yang junub bertayammum sebagai pengganti dari mandi, kemudian ia hadas kecil, dan ia mendapatkan air yang cukup untuk berwudhu saja; apakah ia wajib berwudhu dan ber­tayammum lagi sebagai ganti dari mandi?.

    Maliki dan sebagian besar dari Imamiyah: Bertayammum lagi sebagai ganti dari mandi.Hanafi, Syafi’i dan Hambali. serta sekelompok dari Imamiyah: Wajib berwudhu, karena tayammum itu untuk junub. Kemudian batal karena selain junub, maka ia tidak dianggap sebagai junub bila betul-betui tidak junub, hanya ia termasuk hadas kecil.

  • Hambali sendiri yang menganggap bahwa tayammum itu dapat sebagai pengganti untuk menghilangkan najis dari badan, tanpa diikuti oleh mazhab-mazhab yang lain. (Al-Fiqh ‘ala al-Madzhahib Al-Arba’ah, dalam bab Arkanu al-tayammum).

  • Bila tidak ada yang dapat menyucikan, yaitu air dan tanah, seperti orang yang berada dalam tahanan yang tidak tersedia di dalamnya, dan tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan tayammum atau karena sakit yang tidak bisa berwudhu dan tidak bisa bertayammum, atau tidak ada seseorang yang mewudhukannya atau mentayammumkannya; apakah ia diwajibkan shalat dalam keadaan tidak suci? Dan kalau berdasarkan ketentuan wajibnya shalat, lalu ia shalat, tetapi apakah wajib mengulanginya lagi setelah mampu (bisa) bersuci?

    Maliki: Gugurlah kewajiban melaksanakan shalat maupun qadha ‘nya. Hanafi dan Syafi’i: Pernah untuk melaksanakan dan menggantinya itu tidak gugur. Artinya melaksanakannya, menurut Hanafi adalah ia harus melaksanakan seperti orang yang shalat. Sedangkan menurut Syafi’i: la wajib shalat yang sebenar-benarnya. Maka kalau udzurnya telah hilang, ia wajib mengulangi­nya lagi sebagaimana yang dituntut syara’. Sebagian besar Imamiyah: Kewajiban melaksanakan itu gugur, tetapi wajib mengqadha’nya (menggantinya). Hambali: Bahkan diwajibkan melaksanakannya, dan gugurlah kewajiban mengqadha ‘nya.

X
Donasi yang tertampung akan digunakan untuk perkembangan Aplikasi/website ini, dan sebagian akan disumbangkan untuk Mesjid atau Madrasah

Donasi dapat melalui bank BRI
No Rekening : 416001002997504
Atas Nama : Yudi Mansopyan

Terimakasih..!