–·•Ο•·–
المُنَادَى المُضَافُ إلَى يَاء المُتَكَلِّمِBAB MUNADA MUDHAF PADA YA’ MUTAKALLIMوَاجْعَلْ مُنَادًى صَحَّ إنْ يُضِفْ لِيَا ¤ كَعَبْدِ عَبْدِي عَبْدَا عَبْدِيَا
Jika Munada Shahih akhir mudhaf pada Ya’ Mutakallim maka buatlah serupa contoh Abdi, Abdiy, Abdaa atau Abdayaa.
–·•Ο•·– |
Munada yang dimudhafkan pada Ya’ Mutakallim bisa berupa Isim Mu’tal Akhir atau Shahih Akhir.
Apabila berupa Isim Mu’tal Akhir, maka hukumnya sama dengan ketika tidak menjadi Munada, sebagaimana penjelasannya dalam Bab Mudhaf pada Ya’ Mutakallim, yaitu menetapkan Ya Mutakallim dengan berharkat fathah, contoh:
يا فتايَ
YAA FATAAYA = Hai Pemudaku!
يا قاضيَّ
YAA QAADIYA = Hai Hakimku !
oOo
Apabila berupa Isim Shahih, maka boleh dibaca dengan lima cara :1. Membuang Ya’ Mutakallim dan menetapkan harkat kasrah sebagai dalil terbuangnya Ya’ Mutakallim. Cara yang pertama ini adalah yang paling banyak digunakan, contoh :
يا غلامِ
YAA GHULAAMI = wahai anak mudaku !
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ
YAA ‘IBAADI FAT-TAQUUN = Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku (QS. Azzumar 16)
Lafazh ‘IBAADI = Munada Mudhaf, Manshub
tanda nashabnya Fathah Muqaddar di atas huruf sebelum Ya’ Mutakallim yg
dibuang untuk takhfif/meringankan, dicegah i’rab zhahirnya karena
Isytighol mahal/ termuatnya posisi dengan huruf yang sesuai. Ya’ yg
terbuang adalah Dhamir Mutakallim Mabni Sukun pada posisi Jarr sebagai
Mudhaf Ilaih.
2. Menetapkan Ya’ dengan berharkat Sukun, Cara yang keduan ini juga
yang paling banyak digunakan setelah cara yg pertama, contoh:يا غلامي
YAA GHULAAMIY = wahai pemudaku !
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an dengan menetapkan Ya’ sukun oleh sebagian Qiro’ah Sab’ah bacaan Abu ‘Amr dan Ibnu “Amir:
يَا عِبَادِيْ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ وَلَا أَنتُمْ تَحْزَنُونَ
YAA
‘IBAADIY LAA KHOUFUN ‘ALAIKUMUL-YAUMA WA LAA ANTUM TAHZANUUN. = “Hai
hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadapmu pada hari ini dan tidak
pula kamu bersedih hati.(Az-Zukhruf 68)
Lafazh IBAADIY = Munada Manshub, tanda
nashabnya Fathah muqaddar diatas Ya’ yg dibuang. Ya’ dhamir mutakallim
mabni sukun dalam posisi Jarr sebagai Mudhaf Ilaih.
3. Mengganti Ya’ dengan Alif kemudian membuangnya, menetapkan harkat Fathah sebagai dalil terbuangnya Alif, contoh:يا غلامَ
YAA GHULAAMA = wahai pemudaku !
Lafazh GHULAAMA = Munada Mudhaf Manshub,
tanda nashabnya Fathah zhahir. Ya’ Mutakallim diganti Alif yg terbuang
dalam mahal Jar Mudhaf Ilaih.
4. Mengganti Ya’ dengan Alif yg ditetapkan, contoh:يا غلامَا
YAA GHULAAMAA = wahai pemudaku !
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an:
يَا أَسَفَى عَلَى يُوسُفَ
YAA ASAFAA ‘ALAA YUUSUFA = “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf” (QS. Yusuf 84)
Lafazh ASAFAA = Munada Manshub, tanda
nashabnya dengan fathah zhahir, Ya’ Mutakallim digantikan Alif sebagai
Dhamir yg mabni atas sukun dalam mahal Jar Mudhaf Ilaih.
5. Menetapkan Ya’ dengan berharkat Fathah, contoh :يا غلامِيَ
YAA GHULAAMIYA = wahai pemudaku!
contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ
QUL
YAA ‘IBAADIYAL-LADZIINA ASROFUU ‘ALAA ANFUSIHIM = Katakanlah: “Hai
hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri (QS.
Az-Zumar :53)
Lafazh ‘IBAADIYA = Munada dinashabkan
dengan Fathah Muqaddar, Ya’ mutakallim dhamir mabni fathah dalam mahal
jarr menjadi Mudhaf Ilaih.
Lima cara bacaan diatas dalam hal yang paling banyak digunakan, yaitu
: dengan membuang Ya’ Mutakallim dan cukup dengan harkat kasrah pada
akhir kalimat, kemudian menetapkan Ya’ sukun atau berharkat Fathah,
kemudian mengganti Ya’ dengan Alif, kemudian membuang Alif, terakhir
cukup dengan Fathah akhir kalimah.