® Rajawally Intermezo
Tampilkan postingan dengan label Nahwu Sharaf - Alfiah Ibnu Malik>Bab. 41-60. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nahwu Sharaf - Alfiah Ibnu Malik>Bab. 41-60. Tampilkan semua postingan

Bab. Ammaa, Lawlaa Dan Lawmaa

–·•Ο•·–

أَماَّ وَلَوْلاَ وَلَوْمَا

Bab AMMAA, LAWLAA dan LAWMAA 

أَمَّا كَمَهْمَا يَكُ مِنْ شَيءٍ وَفَا ¤ لِتِلْوِ تِلْوَهَا وُجُوباً أُلِفَا

Huruf syarat “AMMAA” seperti makna “MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” (apapun yg ada/bagaimanapun). Sedangkan FA’ wajib dipasang pada yg mengiringi pengiringnya (yakni pada Jawab yg mengiringi Syaratnya). 

وَحَذْفُ ذِيْ الفَا قَلَّ فِيْ نَثْرٍ إذَا ¤ لَمْ يَكُ قَوْلٌ مَعَهَا قَدْ نُبِذَا

Pembuangan FA’ ini (yakni FA’ Jawab) jarang terjadi pada kalam natsar, (kecuali) apabila jawabnya berupa lafazh “QOUL” yg dibuang bersama FA’nya. 
–·•Ο•·–
“AMMAA” termasuk dari huruf syarat yg bukan amil jazm, berfaidah taukid dan sering dipergunakan untuk Tafsil.
· Bukti sebagai huruf syarat : Lazim menggunakan FA’ pada jawabnya.
· Bukti berfaidah taukid : sebagaimana ulama nahwu menyebutnya “harfun yu’thi al-kalaama fadhla taukiidin” yakni huruf yg berfaidah melebihkan kalam dengan nilai taukid, contoh kalimat “ZAIDUN DZAAHIBUN” kalau dikehendaki zaid sudah pasti perginya maka diucapkan dengan kalimat “AMMAA ZAIDUN FA DZAAHIBUN”.
· Bukti sering dipergunakan untuk tafsil : diulang-ulangnya pada tiap-tiap bagian tafsilannya, contoh dalam Al-Qur’an (QS. Adh-Dhuha 9-10)

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ

FA AMMAA AL-YATIIMA FA LAA TAQHAR, WA AMMAA AS-SAA’ILA FA LAA TANHAR. = Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. (QS. Adh-Dhuha 9-10).
Terkadang tanpa diulang dengan mencukupi penyebutan AMMAA pada salah-satu bagian tafsilnya, contoh dalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran 7):

فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ

FA AMMAA AL-LADZIINA FII QULUUBIHIM ZAIGHUN fa yattabi’uuna maa tasyabaha minhubtighaa’al-fitnati wab-tighaa’a ta’wiilihi wa maa ya’lamu ta’wiilahu illallaahu. WAR-ROOSIKHUUNA FIL-‘ILMI YAQUULUUNA AAMANNAA BIHI = Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat… (QS. Ali Imran 7).
Ayat ini pada kalimat tafsil kedua seakan berbunyi : “AMMAA” AR-ROOSIKHUUNA FIL-‘ILMI “FA” YAQUULUUNA AAMANNAA BIHI..
Terkadang penggunaan AMMAA terlewatkan tanpa fungsi Tafsil, contoh :

أما زيد فمنطلق

AMMAA ZAIDUN FA MUNTHALIQUN = Bagaimanapun… Zaid sudah pergi.
Lafazh AMMAA disini menempati posisi “Adat Syarat + Fi’il Syarat” oleh karena itu Imam Sibawaih menafsirinya dg kalimat: “MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” (apapun yg ada/bagaimanapun). sedangkan lafazh yg jatuh setelah AMMAA disebut Jawab Syarat, karena itulah diwajibkan memasang FA Jawab sebagai robit/kaitan antara Jawab dan Syarat.
Contoh apabila kamu mengucapkan :

أما علي فمخترع

AMMAA ‘ALIYYUN FA MUKHTARI’UN = Bagaimanapun… Ali lah penemunya.
Maka penakdiran asal kalimatnya adalah :

مهما يك من شيء فعلي مخترع

MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN = apapun adanya Ali lah penemunya.
I’lal Kalimat :
lafazh “AMMAA” menggantikan lafazh ” MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” maka menjadi “AMMAA FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN” kemudian huruf FA’nya diakhirkan pada Khobar, maka menjadi ” AMMAA ‘ALIYYUN FA MUKHTARI’UN”.
Huruf FA’ tersebut wajib dipasang pada Jawab sebagai Robit Mujarrad. Tidak boleh membuang FA’ kecuali jawabnya berupa lafazh QOUL yg dibuang, maka umumnya FA’nya juga ikut dibuang, contoh dalam Al-Qur’an :

فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ: “أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ…”

FA AMMAL-LADZIINA-SWADDAT WUJUUHUHUM: “AKAFARTUM BA’DA IIMAANIKUM…” = Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman?..” (QS. Ali Imran 106)
Fa’ dan Jawab yg dibuang tersebut takdirannya adalah :

فَيُقَالُ لَهُمْ: أَكَفَرْتُم…

FA YUQOOLU LAHUM: “AKAFARTUM… = maka dikatakan kepada mereka : “Kenapa kamu kafir….”
FA YUQOOLU LAHUM = Jawab berupa Lafazh Qoul.
AKAFARTUM = Maquul/isi dari Qoul.
Lafazh Qoul dibuang dicukupi dengan adanya Maquul, dan FA’nya otomatis ikut terbuang, sesuai kaidah “Yashihhu tab’an maa laa yashihhu istiqlaalan” (shah diikutkan bagi suatu yg tidak shah dilepaskan).
Selain tersebut diatas, pembuangan FA’ pada kalam Natsar (Selain pada Lafazh QOUL yg terbuang) juga ditemukan tapi sedikit adanya.
Contoh dalam Hadits Rosulullah bersabda :

أَمَّا مُوسَى كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ إِذْ انْحَدَرَ فِي الوَادِي يُلَبِّي

أَمَّا بَعْدُ، مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ

CONTOH I’ROB

أما علي فمخترع

AMMAA ‘ALIYYUN FA MUKHTARI’UN
AMMAA = Huruf Syarat, Taukid, pengganti kalimat “Mahmaa Yaku Min Syai’in”, Mahal Rofa’ menjadi Mubtada’.
ALIYYUN = Rofa’ menjadi Mubtada’
FA MUKHTARI’UN = “Fa” sebagai Robit, “Mukhtari’un” sebagai Khobar dari Mubtada’.
Jumlah Ismiyah “Aliyyun Fa Mukhtari’un” tidak menempati mahal I’rob sebagai Jawab dari Syarat yg bukan Amil Jazem.

مهما يك من شيء فعلي مخترع

MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN
MAHMAA = Isim Syarat, Amil Jazem, menjadi Mubtada’.
YAKU = Fi’il Mudhari’ Tamm diJazemkan oleh Mahmaa menjadi Fi’il Syarat.
MIN SYAI’IN = “Min” huruf Jar Zaidah, “Syai’in” menjadi Fa’il, di I’rob rofa’ dengan Dhammah yg dikira-kira dg harkat kasroh dan tercegah I’rob zahirnya karena dimasuk huruf Jar Zaidah.
FA ‘ALIYYUN = “Fa” huruf tanda jawab yg dipasang pada Jawab syarat. “Aliyyun” Mubtada’.
MUKHTARI’UN = Khobar dari mubtada.
Jumlah “Fa Aliyyun Mukhtari’un” adalah Jumlah Ismiyah dalam mahal jazem menjadi Jawab Syarat.



Bab. Fasal 'Law'

–·•Ο•·–

فصل لو

FASAL “LAW”

لَوْ حَرْفُ شَرْطٍ في مُضِيٍّ وَيَقِلْ ¤ إيلاؤها مُسْتَقْبَلاً لكِنْ قُبِلْ

LAW sebagai huruf syarat pada zaman madhi (masa telah lalu). Dan jarang sebagai syarat pada zaman istiqbal (masa akan datang) akan tetapi ini dapat diterima (menurut konteks tujuannya). 
–·•Ο•·–

Sebelumnya perlu diketahui bahwa penggunaan LAW dalam Bahasa Arab terdapat lima makna :
1. LAW Syarthiyah (pembahasan dalam Bab ini).
2. LAW Mashdariyah (masuk pada pembahasan Huruf Maushul/Takwil Mashdar)
3. LAW Lit-Taqlil (berfaidah menyedikitkan) contoh dalam hadits Nabi saw bersabda :

بلغوا عني ولو آية

BALLIGHUU ‘ANNIY WA LAW AAYATAN = sampaikan dariku walau sekira satu ayat.

أولم ولو بشاة

AWLIM WA LAW BI SYAATIN = berwalimahlah walau dengan sekira satu kambing.
4. LAW Lit-Tamanni (harapan kosong) contoh dalam Al-Quran :

فَلَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

FA LAW ANNA KARROTAN FA NAKUUNA MINAL MUSLIMIIN = maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia) niscaya kami menjadi orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’araa’ 102).
5. LAW Lil-‘Ardh (penampakan permohonan secara halus), contoh :

لو تنزل عندنا فتصيبَ خيراً

LAW TANZILU ‘INDANAA FA TASHIIBA KHAIRAN = sudilah kiranya anda mendatangi kami, maka semoga anda mendapat kabaikan.
oOo
LAW Syarthiyah termasuk dari adawat syarat yg bukan amil jazem, terbagi menjadi dua bagian :
1. LAW Syarhiyah Imtina’iyah (huruf syarat yg bersifat mengelak)
2. LAW Syartihyah Ghoiru Imtina’iyah (huruf syarat yg tidak bersifat mengelak)
LAW Syarthiyah Imtina’iyah
Law disini berfaidah mengajukan Jawab di atas Syarat yg dikemukakan. Demikian ini memastikan punya konteks Pengelakan Syarat (As-Syarthiyah al-Imtna’iyyah) sekalipun Syarat Imtina’iyah ini tidak terjadi pada kenyataannya. Sedangkan yg berbeda adalah pada dua sisi Jawabnya:
(I) Terkadang juga bersifat mengelak (Jawab Imtina’iyah): ciri-cirinya adalah apabila Syarat yg dikemukakan merupakan satu-satunya sebab dari timbulnya Jawab.
(II) Terkadang tidak bersifat mengelak (Jawab Ghair Imtina’iyah): ciri-cirinya adalah apabila Syarat yg dikemukakan bukanlah satu-satunya sebab timbulnya jawab, yakni Jawab bisa ditimbulkan oleh sebab lain bukan hanya oleh Syarat yg tercantum.
Contoh (I). Syarat dan Jawab sama-sama Imtina’iyah karena syarat adalah satu-satunya sebab dari timbulnya Jawab :

لو كانت الشمس طالعة كان النهار موجوداً

LAW KAANAT AS-SYAMSU THAALI’ATAN KAANA AN-NAHAARU MAUJUUDAN = kalau saja matahari itu terbit, maka siang itu ada.
Contoh (II). Syarat Imtina’iyah sedangkan Jawab Ghair Imtina’iyah karena syarat bukanlah satu-satunya sebab dari timbulnya Jawab :

لو ركب المسافر الطائرة لبلغ غايته

LAW ROKIBA AL-MUSAAFIRU AT-THAA’IROTA LA BALAGHA GHAAYATAHU = kalau saja musafir itu naik pesawat terbang, tentu dia sampai pada tujuannya.
Contoh (I) = Syarat Imtina’iyah dan juga Jawab Imtina’iyah, karena terbitnya matahari satu-satunya sebab adanya siang.
Contoh (II) = Syarat Imtina’iyah sedangkan Jawab Ghairu Imtina’iyah, karena naik pesawat bukanlah satu-satunya sebab sampainya pada tujuan, bisa sebab lain semisal naik motor, mobil, kapal laut dsb.
Keterangan diatas sebagai pencerahan atas ahli nuhat yg mengi’rob LAW Imtina’iyah tsb dengan sebutan “harfun imtinaa’in li imtinaa’in” (adalah huruf penolakan jawab karena penolakan syarat). Demikian masih menimbulkan pertimbangan sebab belum pasti sebagaimana pada contoh II diatas. Mungkin para Nuhat tsb memandang menurut ghalibnya. Adapun definisi yg mudah dalam menghi’rob sebagaimana yg didefinisikan oleh Imam Sibawaih “harfun yadullu ‘alaa maa kaana sa yaqo’u li wuquu’i ghoirihi” (adalah huruf yg menunjukkan atas suatu yang akan terjadi sebab perkara lain) yakni menunjukkan suatu yg bakal terjadi pada masa lalu disebabkan kemungkinan lain yg juga terjadi pada masa lalu. Contoh:

لو حضر أخوك لحضرت

LAW HADHORO AKHUUKA LA HADHORTU = kalau saja saudaramu itu hadir tentu akupun telah hadir.
Yakni kehadiranku bakal terjadi pada masa lalu itu andaikan saudaramu hadir pada masa lalu itu juga.
Dengan demikian definisi pengi’roban ala Sibawaihi tsb lebih mengena secara umum baik pada dua contoh sebelumnya (contoh I dan contoh II) diatas.
LAW Syarthiyah Ghairu Imtina’iyah
Law disini berfaidah menggantungkan Jawab (akibat) di atas Syarat (sebab) yg kemungkinan bisa terjadi ataupun tidak terjadi pada masa akan datang (mustaqbal). Dengan demikian dapat diserupakan maknanya dengan IN Syarthiyah di dalam hal hubungan ta’liq antara Jawab dan Syarat. Dan di dalam hal bahwa masa pada jumlah Syarat dan Jawabnya adalah masa mustaqbal.
Umumnya yg menjadi fi’il syarat dan fi’il jawab dari Law Ghairu Imtina’iyah ini, keduanya berupa Fi’il Mudhari’. Contoh :

لو يقدم خالد غداً لا أسافر

LAW YAQDUMU KHOOLIDUN GHADAN LAA USAAFIRU = Jikalau Khalid datang besok, maka saya tidak jadi pergi.
Dan apabilah Fiil yg mengiringi Law ghairu imtina’iyah ini berupa Fi’il Madhi maka harus ditakwil Mustaqbal. Contoh dalam Alqur’an :

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافاً خَافُواْ عَلَيْهِمْ

WALYAKHSYAL-LADZIINA LAW TAROKUU MIN KHOLFIHIM DZURRIYYATAN DHI’AAFAN KHOOFUU ‘ALAIHIM = Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. (QS. Annisaa’ 4).
Keterangan Ayat (QS. Annisaa’ 4) :
“TAROKUU” (mereka meninggal) = Fi’il Syarat berupa Fi’il Madhi yg ditakwil Fi’il Mustaqbal “YATROKUUNA”. Mengira-ngira penakwilan demikian, sebab lafazh “KHOOFUU” (mereka khawatir) sebagai Jawabnya. Yakni, kekhawatiran mereka itu terjadi sebelum mereka meninggal dunia, bukan setelah mereka meninggal dunia, yakni mustahil dalam konteks sesudah mereka mati.



Bab. I’rob Fi’il

–·•Ο•·–

وَبِلَنْ انْصِبْهُ وَكَيْ كَذَا بِأَنْ ¤ لا بَعْدَ عِلْمٍ وَالّتِي مِنْ بَعْدِ ظَنِ

Nashabkanlah terhadap Fi’il Mudhari’ sebab dimasuki Lan atau Kay, atau juga dimasuki AN yg tidak berada setelah Ilm (Fi’il makna yaqin). Adapun An yg berada setelah Zhann (Fi’il makna sangkaan)… <lanjut bait seterusnya> 

فَانْصِبْ بِهَا وَالرَّفْعَ صَحِّحْ وَاعْتَقِدْ ¤ تَخْفِيفَهَا مِنْ أنَّ فَهْوَ مُطَّرِدْ

maka bolehlah menashabkannya atau lebih baik tetap merofa’kannya. Dan nyatakanlah (bahwa AN yg tetap merofa’kan Fi’il Mudhari’ tsb) sebagai Takhfif dari ANNA, demikian ini yg “Muththarid” (yg banyak ditemukan dalam Kalam Arab). 
–·•Ο•·–

Menerangkan bagian kedua dari keadaan I’rob Fi’il Mudhari’, yaitu Fi’il Mudhari’ Manshub/dinashabkan sebab dimasuki oleh salah satu Amil dari Amil-amil Nawashib yang berupa :
1. LAN Nafi Mustaqbal.
2. KAY Mashdariyah.
3. AN Mashdariyah.
4. IDZAN Mashdariyah. (dijelaskan pada bait selanjutnya)

1. LAN (tidak akan)
Adalah huruf Nafi Mustaqbal berfungsi meniadakan peristiwa/pekerjaan akan datang, yakni apabila masuk pada Fi’il Mudhari’ maka tertentu pada zaman Istiqbal (akan datang).
Contoh Ayat dalam Al-Qur’an :

قَالُوا لَنْ نَبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَى

Qooluu LAN NABROHA ‘alaihi ‘aakifiina hattaa yarji’u ilainaa muusaa = ” Mereka menjawab: “Kami AKAN TETAP menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami.” (QS. Thoha : 91)
I’rob
Lafazh LAN NABROHA (artinya: tidak akan berhenti / akan tetap):
LAN = huruf Nafi Istiqbal dan Amil Nashab.
NABROHA = Fi’il Mudhari Manshub, tanda nashabnya Fathah zhahir. Termasuk dari saudara Kaana. Isimnya berupa dhamir mustatir wujuban takdirnya “Nahnu”, dan khobarnya adalah lafazh “Aakifiina”.
Terkadang pada LAN tsb dimasuki Hamzah Istifham yg berfaidah Ingkar, contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

أَلَنْ يَكْفِيَكُمْ أَنْ يُمِدَّكُمْ رَبُّكُمْ بِثَلَاثَةِ آلَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُنْزَلِينَ

ALAN YAKFIYAKUM an yumiddakum robbukum bi tsalaatsati aalaafin minal-malaa’ikati munzaliin = “APAKAH TIDAK CUKUP BAGI KAMU Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?” (QS. Ali Imran : 124).
I’rob :
LAN = Huruf Nafi, dan Amil Nashob.
YAKFIYA = Fi’il Mudhari’ Manshub.
KUM = Huruf “Kaf” Dhamir Muttashil mahal Nashab menjadi Maf’ul Bih, huruf “Mim” tanda jamak.
AN YUMIDDAKUM = ta’wil mashdar mahal rofa’ manjadi Faa’il.

2. KAY (supaya)
Termasuk dari huruf Mashdariyah, tanda Kay Masdariyah disini adalah diawali dengan Lam Ta’lil (lam yg berfungsi sebagai penjelasan/alasan/agar), contoh:

تعلم لكي تفيدَ وتستفيدَ

TA’ALLAM LIKAY TAFIIDA WA TASTAFIIDA = belajarlah agar supaya kamu dapat memberi manfa’at dan mengambil manfaat.
Contoh Ayat dalam Alqur’an :

لِكَيْلَا تَأْسَوْا

LIKAYLAA TA’SAW = agar supaya kamu jangan berduka cita (QS. Al-hadiid 23)
I’rob :
LIKAYLAA = LI huruf jar, KAY huruf mashdariyah dan amil nawashib, LAA huruf Nafi.
TA’SAW = Fi’il Mudhari’ Manshub sebab dimasuki KAY, tanda nashabnya dengan membuang Nun karena termasuk dari Af’alul Khomasa/Fi’il yg Lima. Waw adalah dhamir jamak muttashil marfu’ manjadi Faa’il. Jumlah KAY berikut kalimat sesudahnya adalah jumlah takwil mashdar majrur sebab huruf jar LI. Takdirannya “LI ‘ADAMI ASAAKUM”
Berbeda dengan KAY Ta’liliyah sebagai Amil Jarr bukan sebagai Amil Nashab, dimana telah dijelaskan keterangannya pada Bab Huruf-huruf Jar, yakni Fi’il Mudhari’ yg nashab setelah KAY ta’liliyah tsb sebenarnya dinashabkan oleh AN yg disimpan ataupun yg dizhahirkan. Tanda-tanda KAY Ta’liliyah adalah apabila setelahnya ada AN atau Lam-nya yg diakhirkan.

Contoh mengakhirkan Lam :

جئت كي لأتعلم

JI’TU KAY LI ATA’ALLAMA = aku datang untuk belajar

Contoh setelahnya ada AN :

جئت كي أن أتعلمَ

JI’TU KAY AN ATA’ALLAMA = aku datang untuk belajar
Apabila sebelum KAY tidak ada Lam atau setelahnya tidak ada AN, maka boleh sebagai KAY Mashdariyah dengan pertimbangan mentakdir Lam di sebelumnya, atau boleh dijadikan sebagai KAY Ta’liliyah dengan mentakdir AN di sesudahnya.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

فَرَدَدْنَاهُ إِلَى أُمِّهِ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلَا تَحْزَنَ

FARODADNAAHU ILAA UMMIHII KAY TAQORRO ‘AINUHAA WALAA TAHZANA = Maka kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita (QS. Al-Qashash 13)
I’rob :
KAY TAQORRO = KAY: boleh sebagai Kay Mashdariyah atau Kay Ta’liliyah. TAQORRO: Fi’il Mudhari’ boleh dinashabkan oleh Kay Mashdariyah. Atau boleh dinashobkan oleh AN yg ditakdir, susunan AN+Fi’il Mudhari disini adalah Takwil mashdar dijarkan oleh KAY Ta’liliyah.
Apabila sebelum KAY ada Lam atau setelahnya ada AN, maka boleh juga sebagai KAY Mashdariyah yg menashabkan Fiil Mudhari dan AN sebagai Taukid, atau yg lebih baik dijadikan sebagai KAY Ta’liliyah sebagai taukid bagi Lam sebelumnya, dan yg menashabkan Fi’il Mudhari’ tsb adalah AN.

3. AN
Adalah huruf Mashdariyah. Termasuk Amil Nashab yg paling kuat, sebab dapat beramal baik secara Zhahir maupun Taqdir. Juga Amil Nashab yg paling banyak ditemukan di dalam Al-Qur’an. Konsepsi dari AN Masdariyah ini adalah : bahwa AN berikut Shilahnya ditakwil mashdar yg menempati posisi I’rob pada susunan kalam, seperti contoh:

الغيبة أن تذكر أخاك بما يكره

Al-ghiibatu AN TADZKURO akhooka bimaa yukrohu = Ghibah adalah menyebut perilah saudaramu dengan suatu yg dibenci.
I’rob:
AN = huruf masydariyah dan amil nashab
TADZKURO = fiil mudhari manshub.
AN + TADZKURO = takwil mashdar dalam posisi menjadi khobar, takdirannya adalah :

الغيبة ذكرك أخاك بما يكره

Al-Ghiibatu DZIKRUKA akhooka bimaa yukrohu.
Perlu juga diketahui perihal tiga keadaan pada lafazh AN yg dalam hal ini:

1. AN yg diawali dengan Kalimah yg menunjukkan makna yaqin, semisal ALIMA dkk. AN disini disebut AN mukhaffafah dari ANNA yg termasuk dari amil nawasikh menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya. Maka AN dalam hal ini mempunyai tiga hukum
  • Isimnya berupa Dhamir Syaen yg terbuang.
  • Fi’il Mudhari’ yg ada setelahnya tetap Rofa’.
  • Umumnya ada Fashl/pemisah antara Fi’il Mudhari dan AN, dengan salah-satu huruf pemisah yg empat sebagaimana telah disebutkan pada Bab INNA dan saudara-saudaranya. Pemisahan ini bertujuan untuk membedakan antara AN mukhaffafah dengan AN Mashdariyah. Contoh:

أيقنت أن سيندم الظالمون

Ayqantu AN SAYANDAMU azh-Zhaalimuun = Aku meyakini bahwa orang-orang yg zalim pasti akan menyesal.

Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى

Alima AN SAYAKUUNU minkum mardhoo = Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit (QS. Al Muzammil 20)
I’rob :
AN = Mukhaffafah dari ANNA, Isimnya berupa dhamir syaen yg dibuang.
SA = huruf tanfis (huruf istiqbal) sebagai fashl.
YAKUUNU = Fi’il Mudhari’ Marfu’ tanda rofa’nya dengan dhammah, termasuk Fi’il Naqish (tidak tamm) yakni merofa’kan isimnya dan menashabkan khobarnya.
MINKUM = Khobarnya Yakuunu yg muqoddam.
MARDHOO = Isimnya Yakuunu yg muakhkhor.
Jumlah Yakuunu+Isim+khobar = Khobarnya AN Mukhoffafah.

2. AN yg diawali dengan Kalimah yg menunjukkan makna zhann/rujhaan, semisal ZHONNA, KHOOLA, HASIBA dkk. Boleh AN disini disebut AN mukhaffafah dari ANNA yg menetapkan Fi’il Mudhari’ Marfu’ berikut ketiga hukum diatas. Dan yg banyak digunkan dan rojih adalah sebagai AN mashdariyah yg menashobkan Fi’il Mudhari’ demikian ini untuk menetapkan asal Zhann pada batasannya. Sedangkan menetapkan merofa’kan Fi’il Mudhari’ dapat memastikan pada makna Yakin.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

وَحَسِبُوا أَلَّا تَكُونَ فِتْنَةٌ

WAHASIBUU ALLAA (AN LAA) TAKUUNA FITNATUN = Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencanapun (QS. Al-Maidah 71).
I’rob :
TAKUUNA =
(1). Qiro’at Abu Amr dan Hamzah berikut Al-Kasaa’i merofa’kan TAKUUNU dg menjadikan AN mukhaffafah dan HASIBUU bermakna Yakin karena AN Takhfif berfungsi Taukid sedang Taukid tidak terjadi kecuali bersamaan dg makna Yakin.
(2). Qiro’at yg empat selain Abu Amr dan Hamzah menashabkan TAKUUNA sebagai Amil Nashab pada Fiil Mudhari’ dan HASIBUU bermakna Zhann/sangkaan. Karena AN yg menashobkan bukanlah sebagai Taukid bahkan sesuatu yg diawali dg AN ini boleh saja akan terjadi ataupun tidak terjadi.

3. AN yg tidak diawali kalimah makna Yakin ataupun makna Zhan, yaitu sebagai kalam yg menunjukkan atas keraguan, harapan, atau keinginan. AN dalam penggunaan seperti ini adalah wajib menashabkan Fi’il Mudori’, contoh :

أرجو أن ينتصر الحق

ARJUU AN YANTISHIRO AL-HAQQ = aku berharap yang benar akan menang.
Contoh Ayat dalam Al-Qur’an:

وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ

Walladzii athma’u AN YAGHFIRO lii khothii’atii yaumad-diin = dan Yang amat kuinginkan AKAN MENGAMPUNI kesalahanku pada hari kiamat (QS. Asy-Syuaraa’ 82)
I’rob :
AN = Huruf Mashdariyah Amil Nashab
YAGHFIRO = Fi’il Mudhari’ Manshub oleh AN.
Para Nuhat Menyebut AN MASHDARIYAH untuk membedakan dengan AN Mukhoffafah/Takhfif, AN Mufassiroh/Tafsiriyah dan AN Zaidah.
Pengertian AN Mashdariyah sebagaimana keterangan diatas.
AN Mufassiroh digunakan sebagai penafsiran atau penerangan kalam sebelumnya. AN dalam hal ini bermakan AY Mufassiroh (Artinya/Tafsirannya/Yakni/). Biasanya diawali dengan jumlah yg didalamnya mengandung makna Qaul yg bukan huruf Qaul (bukan dari ejaan lafazh Qoul), contoh dalam Ayat Al-Qur’an:

إِذْ أَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّكَ مَا يُوحَى, أَنِ اقْذِفِيهِ فِي التَّابُوتِ فَاقْذِفِيهِ فِي الْيَمِّ

Idz awhaynaa ilaa ummika maa yuuhaa, AN IQDZIFIIHI fit-tabuuti faqdzifiihi fil-yammi = yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan, Yaitu: “Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil) (QS, Thohaa 38-39)
I’rob :
IDZ AWHAYNAA = jumlah Qoul yg bukan dari ejaan Qoul.
MAA YUUHAA = bentuk dari Qoul
IQDZIFIIHI FIL-YAMMI = tafsir dari bentuk Qoul, adalah jumlah tafsir yg jatuh setelah AN tafsiriyah di-I’rob sebagai Badal atau Athaf Bayan dari Kalimah yg ditafsiri.
AN Zaidah, yaitu jatuh sesudah lafazh LAMMA yg bermakna HIINUN (ketika/tatkala), contoh Ayat dalam Al-qur’an :

فَلَمَّا أَن جَاء الْبَشِيرُ

Fa lammaa AN jaa’al-basyiiru = Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu (QS. Yusuf 96)

وَلَمَّا أَنْ جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ

Wa lammaa AN jaa’at rusulunaa luuthan sii’a bihim = Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah karena (kedatangan) mereka (QS. Al-‘Ankabut 33)
Atau bersambung dengan LAW, contoh :

وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

Wa ALLAW (AN+LAW) istaqoomuu ‘alath-thoriiqoti la asqoynaahum maa’an ghadaqoo. = Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). (QS. Al-Jin 16)

AN Zaidah dalam hal ini tetap mempunyai faidah makna yakni sebagai taukid.
Sebagaimana AN yg masuk pada Fi’il Mudhari’, AN juga bisa masuk pada Fi’il Madhi ataupun Fi’il Amar, namun AN disini tidak memberi bekas I’rob pada kedua Fi’il tsb yakni tidak akan menjadi mahal Nashab karenanya, dan juga tidak akan merubah Zamannya.
Contoh AN masuk pada Fi’il Madhi :

لَوْلَا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا

Laulaa AN MANNA allahu ‘alainaa lakhosafa binaa = kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). (QS. Al-Qashash 82)
Contoh AN masuk pada Fi’il Amar :

أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ

AN I’MAL saabighaatin = (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar (QS. Saba’ 11).



Isim tidak munsharif/ghair munawwan, jar dengan fathah syarat tidak mudhaf atau tanpa AL » Alfiyah Bait 43


وَجُــرَّ بِالْفَتْحَـةِ مَـالا يَنْصَرِفْ ¤ مَالَمْ يُضَفْ أَوْيَكُ بَعْدَ ألْ رَدِفْ

Jar-kanlah olehmu…! dengan tanda Fathah terhadap Isim yang tidak munsharif, selagi tidak dimudhafkan atau tidak berada setelah AL dengan mengekorinya


Diterangkan dalam Bait ini, bagian kedua dari Isim yang di-i’rab dengan harakat pengganti dari harakat asal. Yaitu Isim yang tidak Munsharif atau Isim ghair Munawwan atau isim yang tidak ditanwin.
Definisi Isim tidak munsharif adalah: setiap kalimah  isim mu’rab yang menyerupakan kalimah fi’il didalam hal terdapatnya dua illat dari sembilan illat, atau terdapat satu illat yg menempati maqom dua illat.
Contoh lafazh terdapat dua illat أَخْمَدُ “Ahmad” (Alami dan Wazan Fi’il) عَطْشَانُ “yg haus” (Sifat dan Ziadah Alif-Nun). contoh lafazh satu illat مَسَاجِدَ “Masjid-masjid” (bentuk/shighat Muntahal Jumu’).
Mengenai penyebab yang mencegah ditanwinkannya kalimah isim, dalam hal ini ada bab khusus yang akan diterangkan secara jelas disana –insyaAllah–. sedangkan dalam Bait ini, dimaksudkan mengenai hubungan dengan tanda I’rabnya. Rofa’ dengan Dhammah (i’rab asal), Nashab dengan Fathah (i’rab asal) dan Jar dengan Fathah (menggantikan i’rab asal Kasrah) contoh:

َجَاءَ أَحْمَدُ رَأَيْتُ أَحْمَدَ مَرَرْتُ بِأَحْمَدَ

Ahmad datang, Aku melihat Ahmad, Aku berjumpa dengan Ahmad.

وَلَقَدْ جَاءَكُمْ يُوسُفُ مِنْ قَبْلُ بِالْبَيِّنَاتِ

Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا ِللهِ حَنِيفًا

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya
Sebagai pengecualian tetap Jar dengan tanda  i’rab asal atau Kasrah,  bilamana Isim tidak munsharif/ghair munawwan tersebut berada pada dua posisi :

(1). Menjadi Mudhaf. contoh:

مَرَرْتُ بِأَحْمَدِكُمْ

Aku berjumpa dengan Ahmad-mu

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
Tapi jika posisinya sebagai Mudhaf Ilaih, maka tetap berlaku tanda irab pengganti Jar dengan Fathah. contoh

هَذَا كِتَابُ أَحْمَدَ

Ini kitab Ahmad

إِنَّ اللهَ اصْطَفَى آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ

Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing).

(2).  Dimasuki huruf AL (ال). contoh:

سَأَلْتُ عَنْ اْلأَفْضَلِ مِنَ الطُّلاَّبِ

Aku bertanya tentang siswa terbaik dari para siswa

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.

Kesimpulan pembahasan Bait:
Jarkanlah dengan Fathah sebagai pengganti dari i’rab asal Kasrah, terhadap isim yang tidak munsharif/ghair munawwan dengan syarat tidak mudhaf atau tidak dimasuki oleh AL yang mubasyaroh bertemu langsung tanpa pemisah.



Bab. Isim Tidak Munsharif (Isim Yg Tidak Bersuara Tanwin)

–·•Ο•·–

مَا لا يَنْصَرِف

BAB ISIM TIDAK MUNSHARIF (Isim yg tidak bersuara tanwin)

الصَّرْفُ تَنْوِيْنٌ أتَى مُبَيِّنا ¤ مَعْنَى بِهِ يَكُونُ الاسْمُ أمْكَنَا

Sebutan “ash-Shorfu” adalah berupa “Tanwin” yg menjelaskan suatu arti: bahwa isim dengan tanwin ini disebut “Amkan” (lebih memungkinkan/lebih kuat keadaan/kedudukan isimnya). 
–·•Ο•·–

Isim ada dua :
1. Isim Mabni
2. Isim Mu’rob
Isim Mabni disebut Isim Ghair Mutamakkin/Tidak Mutamakkin (tidak menduduki pangkat keisiman) dikarenakan tidak dapat menerima perubahan harkat.
Sedangkan Isim Mu’rob disebut Mutamakkin yakni menduduki pangkat keisiman dikarenakan dapat menerima perubahan tanda-tanda i’rob. Isim Mutamakkin dibagi dua :
1. Isim Mutamakkin Amkan :
yaitu Isim yg dapat dimasuki oleh Tanwin yg disebut Tanwin Tamkin atau disebut juga Tanwin Tamakkun/Tanwin Amkaniyah/Tanwin Shorf.
Definisi Tanwin Tamkin/tamakkun/amkaniyah/shorf :
Adalah Tanwin yg menunjukkan atas suatu makna “bahwa Isim yg dapat menyandang tanwin ini disebut Isim Mutamakkin Amkan”.
Penjelasan Definisi Tanwin Tamkin/tamakkun/amkaniyah/shorf :
  • Suatu makna, dalam difinisi tsb artinya: tidak adanya kalimah Isim serupa dengan kalimah Huruf yg menjadikan Isim Mabni, atau tidak serupa dengan kalimah Fi’il yg menjadikan Isim tidak menerima Tanwin.
  • Disebut Isim Mutamakkin Amkan, yakni kuatnya setatus keisimannya dikarenakan mencakupi pada dua tanda Isim “I’rob dan Tanwin”. Maka isim tersebut dinamakan “Mutamakkin” (berkedudukan) sebab menerima tanda-tanda i’rob, dan disebut “Amkan” (lebih kuat kedudukannya) sebab dapat bertanwin. dengan arti bahwa isim tersebut tidak menyerupai Fi’il yg mencegah tanwin, juga tidak menyerupai Huruf yg mencegah I’rab.
  • Keluar dari definisi “Menunjukkan atas suatu Makna”, adalah berupa Tanwin Muqabalah dan Tanwin ‘Iwadh.
“Tanwin Muqabalah” ada pada Jamak Mu’anntas Salim karena status tanwin ini dipasang sebagai muqabalah/perbandingan saja dari NUN pada Jamak Mudzakkar Salim. Tanwin Muqabalah ini bisa masuk pada Isim Munsharif, contoh:

هؤلاء بناتٌ فاهماتٌ

HAA’ULAAI BANAATUN FAAHIMAATUN = mereka anak-anak perempuan yg faham.
juga masuk pada isim Ghair Munsharif, contoh :

سعادات

SU’AADAATU = beberapa Su’ad (nama perempuan).
lafazh SU’AADAATU = boleh ditanwin menjadi SU’AADAATUN karena mempertimbangkan pada asal bentuknya yaitu jama’ mu’annats salim dan disebut tanwin muqabalah bukan tanwin tamkin. juga boleh tidak ditanwin dengan mempertimbangkan keadaannya yg sebagai “Isim Alam dan Mu’annats” termasuk dari dua illat isim tidak munsharif.
“Tanwin Iwadh” bisa masuk pada Isim-Isim Munsharif seperti “KULLUN” dan “BA’DHUN” juga bisa masuk pada Isim Ghair Munsharif seperti : “DAWAA’IN” dan “LAYAALIN” (akan dijelaskan pada bait-bait selanjutnya InsyaAllah).
2. Isim Mutamakkin Ghair Amkan:
Isim Mutamakkin Ghair Amkan adalah bagian Isim Mu’rob yg kedua, yakni bagian Isim yg tidak dapat dimasuki oleh Tanwin atau disebut Isim Ghair Munsharif atau Isim yg tidak dapat menerima Tanwin. Disebut Mutamakkin karena dapat menerima tanda I’rob, dan disebut Ghair Amkan karena tidak bertanwin sebab serupa dengan Fi’il.
Telah disebutkan pada pelajaran Isim Tidak Munsharif bahwa tanda Jarnya dengan Fathah, contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا

WA IDZAA HUYYIITUM BI TAHIYYATIN FA HAYYUU BI AHSANA MINHAA = Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya (QS. Annisa’ : 86)
Lafazh AHSANA = tanda jarnya dengan Fathah.
Kecuali jika mudhaf atau dimasuki AL, maka dijarkan dengan Kasrah, contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

LAQOD KHOLAQNAL-INSAANA FIY AHSANI TAQWIIM = sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tiin :4)
Lafazh AHSANI = Jar dengan Kasroh sebab mudhaf pada lafazh TAQWIIM.

إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ

IDZAA QIILA LAKUM TAFASSAHUU FIL-MAJAALISI FAFSAHUU YAFSAHILLAAHU LAKUM = apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu (QS. Al-Mujaadilah :11)
Lafazh AL-MAJAALISI = Jar dengan kasrah sebab dimasuki AL.
Para Nuhat telah merumuskan kaidah tentang tanda-tanda Isim Ghair Munsharif dengan tanda yg nyata, dimana jika Isim Mu’rob didapati ada tanda ini maka menunjukkan Isim tersebut adalah Ghair Munsharif, dan jika tidak didpati tanda ini maka menunjukkan isim tersebut Munsharif.
Para Nuhat menyebut tanda-tanda Isim Ghair Munsharif dengan sebutan “ILLAT” yakni bahwa isim yg tercegah kemunsharifannya dikarenakan mempunyai Dua Illat ataupun Satu Illat yg menempati maqom Dua Illat. Para Nuhat telah membahas masalah isim Ghair Munsharif ini dengan sangat panjang dengan pemikiran yg ekstra. InsyaAllah keterangannya akan dijelaskan pada keterangan bait selanjutnya secara terperinci.



Bab. I’rab Kalimah Fi’il

–·•Ο•·–

إعراب الفعل

BAB I’RAB KALIMAH FI’IL

اِرْفَعْ مُضَارِعاً إذَا يُجَرَّدُ ¤ مِنْ نَاصِبٍ وَجَازِمٍ كَتَسْعَدُ

Rofa’kanlah Fi’il Mudhari’ apabila kosong dari amil nashab dan amil jazem, seperti contoh “TAS’ADU” (kamu beruntung). 
–·•Ο•·–

Telah dijelaskan pada pelajaran dahulu, bahwa Fi’il Mudhari’ ada yang Mu’rob dan ada yang Mabni.
Mengenai Mabninya Fi’il Mudhari’ telah selesai pembahasannya pada Bab Mu’rob dan Mabni. Pembahasan selanjutnya mengenai i’rob Fi’il Mudhari’ baik Rofa’, Nashob dan Jazem. Yakni, jika Fi’il Mudhori’ tersebut dimasuki oleh amil nashob maka dinashobkan/Manshub, atau jika dimasuki oleh amil jazem maka dijazemkan/Majzum. Dan apabila tidak ada suatu amil pun yg masuk, maka Fiil Mudhari’ tersebut dirofa’kan/Marfu’.
Contoh Firman Allah dalam Al-Qur’an al-Karim :

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ

YUDABBIRUL-AMRO = Dia mengatur urusan (QS. As-Sajdah : 5)
I’rob :
lafazh YUDABBIRU = Fi’il Mudhari’ dirofa’kan/Marfu’ sebab kosong dari Amil Nashob dan Amil Jazem, tanda rofa’nya dengan harkat Dhamma Zhahir pada akhir kalimahnya. dan Faa’ilnya berupa Dhamir Mustatir.
lafazh AL-AMRO = Nashab menjadi Maf’ul Bih.
Tidak disebutkan oleh mushannif pada Bait di atas bahwa syarat Fi’il mudhari yg dirofa’kan harus tidak bersambung dengan Nun Taukid atau Nun Mu’annats, karena juga telah dijelaskan pada Bab Mu’rob dan Mabni dalam pembahasan kemabnian Fi’il Mudhari’.



Bab. Dua Nun Taukid

–·•Ο•·–

نُونَا التَّوْكيدِ

BAB DUA NUN TAUKID 

لـلــفــعــلِ تــوكـــيـــدٌ بــنُــونَــيْــنِ هُــــمَــــا  ¤ كَـــنُـــونَـــي اذْهَــــبَـــــنَّ واقْــصِــدَنْــهُــمَــا

Husus masuk pada kalimah Fi’il, dua Nun Taukid (tsaqilah/khafifah) seperti kedua Nun pada contoh “IDZHABANNA” WA “WAQSHIDAN” HUMAA (berangkatlah dan berkehendaklah sungguh-sungguh pada keduanya). 

يُـــؤَكِّــــدَانِ افْــــعَــــلْ ويَــفْـــعَـــلْ آتِــــيًــــا  ¤ ذا طَـــلَـــبٍ أوْ شَـــرْطًـــا امَّـــــــا تَــالِــيَـــا

Dua Nun taukid tsb menaukidi IF’AL (Fi’il Amar, secara Mutlak), juga YAF’ALU (Fi’il Mudhari’) yg datang dengan faidah Tholab (fi’il nahi/lam amar/istifham dll), atau datang sebagai fi’il syarat setelah huruf syarat IMMAA (IN syarthiyah + MAA zaidah taukid). 

أوْ مُـثْـبَــتًــا فـــــــي قَـــسَــــمٍ مُـسْـتَـقْــبَــلَا  ¤ وقَــــــلَّ بـــعـــدَ مــــــا ولــــــمْ وبـــعــــدَ لا

Atau datang sebagai kalam mutsbat (kalimat positif) pada jawab qosam yg mustaqbal. Dan jarang (penggunaan Nun taukid ini pada fi’il mudhari’) yg jatuh setelah MAA (zaidah taukid), LAM atau LAA (nafi), 

وغــيــرِ إمَّـــــا مِـــــنْ طَــوالِـــبِ الْــجَـــزَا  ¤ وآخِــــــرَ الــمــؤكَّـــدِ افْـــتَــــحْ كَـــابْــــرُزَا

juga jarang (penggunaan Nun taukid ini pada fi’il mudhari’) setelah adawat syarat tholabul-jaza’ selain IMMAA. Fat-hahkan! (mabnikan fathah) pada akhir Fi’il yg ditaukidi, ceperti contoh IBRUZAN! (sungguh tanpakkan dirimu!). 
–·•Ο•·–

Nun Taukid yg berfungsi menaukidi kalimah Fi’il itu ada dua bentuk :
1. Nun Taukid Tsaqilah (berat karena bertasydid) mabni Fathah.
2. Nun Taukid Khafifah (ringan karena sukun) mabni Sukun.
Kedua Nun Taukid tersebut boleh digunakan untuk menaukidi Fi’il Amar dengan tanpa syarat, tidak boleh dugunakan untuk menaukidi Fi’il Madhi. Sedangkan untuk Fi’il Mudhari’ harus ditafsil dengan beberapa persyaratan.
Penaukidan dengan Nun Taukid menimbulkan dua konsekuensi: Secara Makna dan Secara Lafazh.
1. Secara Makna : Menghususkan Fi’il Mudhari’ pada zaman Mustaqbal (akan datang), dan menguatkan mustaqbal untuk Fi’il Amar. sedangkan makna Faidah Taukid, bahwa Nun Taukid Tsaqilah lebih kuat penaukidannya dari pada Nun Taukid Khafifah, sesuai kaidah : “penambahan bentuk umumnya menunjukkan penambahan pada makna”.
2. Secara Lafazh : Menjadikan Fi’il Amar dan Fi’il Mudhari’ mabni Fathah, dengan ketentuan bersambung langsung tanpa ada pemisah sebagaimana telah dijelaskan pada bab Mu’rob dan Mabni.
Contoh pada Fi’il Mudhari’ :

لأنصرَنَّ المظلوم

LA ANSHURONNA AL-MAZHLUUMA = sungguh akan kubantu orang yg tertindas.
I’rob: LA = Lam jawab qosam muqaddar, ANSHURONNA = Fiil Mudhari’ mabni Fat-hah dan Nun Taukid, Faa’ilnya dhamir mustatir takdirnya ANA.

لا ترغبن فيمن زهد عنك

LAA TARGHABANNA FIY MAN ZAHIDA ‘ANKA = sungguh jangan pedulikan orang yg tidak memperhatikanmu..!
I’rob : LAA = Nahi, TARGHABANNA = Fi’il Mudhari’ Mabni Fathah mahal Jazem.
Contoh pada Fi’il Amar :

اشكرَنَّ من أحسن إليك

USYKURONNA MAN AHSANA ILAIKA = sungguh bersyukurlah terhadap orang yg berbuat baik kepadamu.
I’rob : USYKURONNA = Fi’il Amar mabni Fathah bersambung dg Nun Taukid, Fa’ilnya dhamir mustatri wujuuban takdirnya ANTA.
Hukum penaukidan Nun Taukid pada Fiil Mudhari’ disini terkadang wajib, mamnu’/dilarang, dan jaiz (baik yg sering dipakai atau yg jarang) :
1. Wajib Taukid, jika menjadi jawab qosam serta mencukupi tiga syarat :
a. harus bersambung dengan Lam Qosam
b. harus Mustaqbal
c. harus Mutsbat
contoh:

والله لأبذلنَّ النصيحة

WALLAAHI LA ABDZALANNA AN-NASHIIHATA = demi Allah sungguh aku akan mencurahkan nasehat.
contoh Firman Allah :

وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ

WA TALLAAHI LA AKIIDANNA ASHNAAMAKUM = Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu (QS. Al-Anbiyaa’ : 57)
2. Mamnu’/dicegah Taukid, ada pada dua tempat :
a. Menjadi jawab qosam tapi tidak mencukupi tiga syarat diatas, demikian apabila ada pemisah antara Lam Qosam dengan Fiil Mudhari‘, contoh:

والله لسوف أبذل النصيحة

WALLAAHI LA SAUFA ABDZALUN-NASHIIHATA = demi Allah, aku akan mencurahkan nasehat.
Contoh Firman Allah :

وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى

WA LA SAUFA YU’THIIKA ROBBUKA FA TARDHOO = Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas. (QS. Adh-Dhuhaa : 5)
atau Fi’ilnya digunakan untuk zaman Haal bukan Istiqbal, contoh :

وربي لأقومُ بواجبي الآن

WA ROBBIY LA AQUUMU BI WAAJIBIY AL-AANA = demi Tuhanku, aku lagi melaksanakan kewajibanku sekarang.
atau Fi’ilnya digunakan Manfi bukan Mutsbat, contoh:

وربِّ الكعبة لا أنصرك إن اعتديت

WA ROBBIL-HA’BATI LAA ANSHURUKA IN I’TADAITA = demi Tuhannya ka’bah, aku tidak akan menolongmu jika kamu melanggar.
contoh Firman Allah :

قَالُوا تَاللَّهِ تَفْتَؤُاْ تَذْكُرُ يُوسُفَ

QOOLUU TALLAAHI TAFTA’U TADZKURU YUUSUFA = Mereka berkata: “Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf (QS. Yusuf : 85)
lafazh TAFTA’U pada ayat ini takdirannya LAA TAFTA’U, dengan membuang huruf nafi.
b. Apabila tidak diawali dengan sesuatu yg menyebabkan penaukidannnya berhukum Jaiz, contoh :

كثرة العتاب تورث ُ البغضاء

KATSROTUL-‘ITAABI TUUROTSUL-BAGHDHAA’I = sering mencela mewariskan kebencian.
3. Jaiz Taukid dan sering, demikian apabila diawali dengan IMMAA (IN syarthiyah yg diidghamkan pada MAA zaidah untuk taukid), atau diawali dengan adat Tolab yg berfaidah amar, nahi atau istifham dsb.
Contoh Fi’il Mudhari’ yg diawali dengan IMMAA :

إما تفعَلَنَّ الخير تنل جزاءه

IMMAA TAF’ALANNA AL-KHAIRA TUNAL JAZAA’AHUU = jika kamu benar-benar akan mengerjakan kabaikan, maka kamu akan diberi balasan kebaikan itu.
lafazh IMMAA TAF’ALANNA = asalnya IN TAF’AL, kemudian ditambah MAA pada IN dan diidghamkan.
contoh Ayat dalam Al-Qur’an :

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ

WA IMMAA TAKHOOFANNA MIN QOUMIN KHIYAANATAN FANBIDZ ILAIHIM ‘ALAA SAWAA’IN = Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur (QS. Al-Anfaal : 58)
I’rob :
WAWU Isti’nafiyah. IMMAA = IN huruf syarat amil jazem, MAA zaidah taukid. TAKHOOFANNA Fi’il Mudhari’ mabni fathah dalam mahal jazem menjadi Fi’il Syarat, NUN untuk Taukid, Faa’ilnya dhamir mustatir wajuban takdirannya ANTA. Kemudian jumlah FANBIDZ ILAIHIM sebagai jawab syarat dalam mahal jazem.
Contoh Fi’il Mudhari’ diawali dengan adawat yg berfungi Amar :

لِتَرحَمَنَّ المسكين

LI TARHAMANNA AL-MISKIINA = sungguh kasihanilah orang miskin
boleh diucapkan LI TARHIM..! karena memang taukidnya berhukum jawaz.
Contoh diawali dengan adawat Nahi :

لا تؤخرَنَّ فعل الخير إلى غد

LAA TU’AKHKHIRONNA FI’LAL-KHAIRI ILAA GHADIN = sungguh janganlah kamu mengakhirkan perbuatan baik untuk besok. Dan boleh diucapkan LAA TU’AKHKHIR..!
Contoh pada Firman Allah :

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ

WA LAA TAHSABANNALLAAHA GHAAFILAN ‘AMMAA YA’MALUZH-ZHAALIMUUNA = Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. (QS. Ibrohim : 42)
I’rob : LAA nahi, TAHSABANNA fi’il mudhari’ mabni fathah dalam mahal jazm, Faa’ilnya dhamir mustatir.
Contoh yang diawali dengan adawat Istifham :

هل تصلنَّ رحمك

HAL TASHILANNA ROHIMAKA? = apakah kamu akan mengunjungi familimu? (silaturrahmi). Atau boleh dilafalkan HAL TASHIL..?.
4. Jaiz Taukid namun jarang adanya, demikian apabila Fi’il Mudhari’ jatuh sesudah MAA zaidah yg tidak diidghamkan pada IN syarthiyyah, sebagaimana orang arab mengatakan :

بعينٍ ما أرَيَنَّك

BI ‘AININ MAA AROYANNAKA = sungguh dengan mata seakan aku melihatmu.
I’rob : MAA zaidah taukid, AROYANNA fi’il mudhari’ mabni fathah, NUN taukid, KAF maf’ul bih.
Demikian juga Fi’il Mudhari’ yg jatuh sesudah LAM, contoh :

من مرت به مواسم الطاعة ولم يستغلَنَّها فهو محروم

MAN MARRAT BIHII MAWAASIMUT-THAA’ATI WA LAM YASTAGHILANNAHAA FAHUWA MAHRUUMUN = barang siapa dilewati masa-masa ta’at dan dia tidak mempersibuk diri dengan ta’at maka termasuk orang yg benasib buruk.
atau jatuh sesudah LAA NAHI contoh :

بادر بالعمل زمن الشباب لا يفوتنَّك

BAADIR BIL-‘AMALI ZAMANASY-SYABAABI LAA YAFUUTUNNAKA = bersegeralah mengerjakan amal pada waktu muda selagi tidak pupus kesempatan waktumu.
contoh Firman Allah :

لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ

LAA YAHTHIMANNAKUM SULAIMAANU WA JUNUUDUHUU = masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya (QS. Annaml : 18)
Atau jatuh sesudah adawat syarat selain IMMAA contoh :

من يصلَنَّ رحمه يسعد

MAN YASHILLANNA ROHIMAHUU YUS’AD = barang siapa bersilaturrahim pada familinya maka ia akan mendapat kebahagiaan.



Bab. Isim Fi’il dan Isim Shaut

–·•Ο•·–

أسْمَاءُ الأْفْعَالِ والأصْوَاتِ

Isim Fi’il dan Isim Shaut 

مـــا نـــابَ عـــنْ فِـعــلٍ كَـشَـتَّــانِ وصَــــهْ  ¤ هُــــوَ اســـــمُ فِــعـــلٍ وكـــــذا أَوَّهْ وَمَـــــهْ

Kalimah yg menggantikan Fi’il seperti contoh “Syattana” dan “Shah” dinamakan Isim Fi’il, demikian juga seperti contoh “Awwaah” dan “Mah”. 

ومــــا بـمـعـنــى افْــعَـــلْ كـآمِــيــنَ كَــثُـــرْ  ¤ وغـــيـــرُهُ كَـــــــوَيْ وهَــيــهـــاتَ نَـــــــزُرْ

Isim Fi’il yg punya makna IF’AL (makna amar/isim fi’il amar) banyak ditemukan, seperti “Aamiin”. Dan selain makna Amar jarang ditemukan, seperti WAY (isim fi’il mudhari’) dan HAIHAATA (isim fi’il madhi). 
–·•Ο•·–

Pengertian Isim Fi’il adalah : Kalimah yg menggantikan Fi’il dalam maknanya dan pengamalannya beserta tidak dapat dibekasi oleh Amil-amil.
Contoh:

صَهْ إذا تكلم غيرك

SHOH IDZA TAKALLAMA GHAIRUKA = Diamlah jika selainmu berbicara.
SHOH = Isim Fi’il yg mengandung makna Fi’il Amar “USKUT” (diamlah!) dan beramal seperti pengamalannya. Faa’ilnya berupa Dhamir Mustatir Wujuban, takdirannya “ANTA”.
Tidak bisa dibekasi Amil-amil, karenanya tidak dapat dijadikan Mubtada’, Khabar, Faa’il dll. Berbeda dengan Mashdar yg juga menggantikan Fi’il dalam makna dan pengamalannya seperti contoh:

إكراماً المسكين

IKROOMAN AL-MISKIINA = Hormatilah orang miskin!
Lafazh IKROOMAN = menggantikan Fi’il Amar AKRIM (Hormatilah!)
akan tetapi pada Mashdar tersebut masih bisa dibekasi oleh Amil, contoh bisa dijadikan Faa’il:

سرني إكرامُك المسكين

SARRONIY IKROOMUKA AL-MISKIINA = penghormatanmu pada orang miskin menggembirakanku.
Contoh dijadikan Mubtada’:

إكرامُك المسكين تثاب عليه

IKROOMUKA AL-MISKIINA TUTSAABU ‘ALAIHI = penghormatanmu pada orang miskin, kau akan mendapat pahala karenanya.
oOo
Isim Fi’il menurut pertimbangan zamannya ada tiga bagian :
1. Isim Fi’il Amar (lebih banyak digunakan)
contoh :

عليك نفسَك فهذبها

‘ALAIKA NAFSAKA FA HADZDZIBHAA = tanamkan dan perbaiki budi-pekertimu.
lafazh ALAIKA = Isim Fi’il Amar bimakna ILZAM (tetapkan!) mabni Fathah, dan faa’ilnya berupa dhamir mustatir wujuuban takdirannya ANTA (kamu).
lafazh NAFSAKA = Maf’ul Bih dari Isim Fi’il, dinashabkan dengan fathah zahir. KAF = Mudhaf Ilaih.
Diantara Isim Fi’il Amar ini ada yg qiasi, berwazan FA’AALI yg mabni kasrah dan dari Fi’il Tsulatsi Tamm Mutashorrif, contoh :

سماعِ النصح

SAMAA’IN-NUSHHI..! = dengarkanlah nasehat itu!
2. Isim Fi’il Madhi (sedikit penggunaannya dan sima’i)
contoh :

شتان الشجاعةُ والجبن

SYATTAANASY-SYAJAA’ATU WAL-JUBNU = berbeda berani dan pengecut.
lafazh SYATTAANA = Isim Fi’il madhi bimakna IFTAROQO (berlainan), mabni Fathah.
3. Isim Fi’il Mudhari’ (juga sedikit penggunaannya dan sima’i)
contoh:

وَيْ لشباب لا يعمل

WAY LI SYABAABIN YAA YA’MALU = Heran! terhadap pemuda yg tak mau bertindak.
lafazh WAY = Isim Fi’il Mudhari’ bimakna A’JABU (saya heran), mabni sukun, faa’ilnya dhamir wajib mustatir takdirnya ANA (saya).
contoh FirmanNya dalam Al-Qur’an

وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ

WAY KA’ANNAHUU LAA YUFLIKUL-KAAFIRUUNA = Aduhai benarlah, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah) (QS. Al-Qashash: 82).



Bab. Tahdzir Dan Ighro’

–·•Ο•·–

التَّحْذِيرُ وَالإغْرَاءُ

TAHDZIR DAN IGHRO’ 

إيَّـــــــاكَ والـــشــــرَّ ونـــحــــوَهُ نَـــصَــــبْ  ¤ مُـــحَــــذِّرٌ بـــمــــا اسْــتِـــتَـــارُهُ وَجَــــــــبْ

Terhadap contoh Tahdzir “IYYAAKA WASY-SYARRA” (hati-hatilah terhadap hal yg tidak baik!) dan serupanya, Muhadzdzir (orang yg memberi peringatan) menashobkannya dengan Fi’il yg wajib disimpan. 

ودُونَ عَـــطْــــفٍ ذا لإِيَّــــــــا انْــسُــبْــوَمَــا  ¤ سِـــــواهُ سَــتْـــرُ فِـعْــلِــهِ لــــــنْ يَــلْــزَمَــا

Nisbatkanlah (yakni serupakan pada hukum wajib menyimpan Fi’il) terhadap Tahdzir dengan “IYYAA” yg tanpa athaf. Sedangkan Tahdzir tanpa “IYYAA” tidak wajib menyimpan Fi’ilnya.. <ke bait lanjutnya> 

إلَّا مَـــــــــعَ الـــعـــطـــفِ أو الـــتَّـــكـــرارِ  ¤ كالـصَّـيْـغَـمَ الـضَّـيْـغَــمَ يـــــا ذا الــسَّـــارِي

Kecuali yg menyertai Athaf atau mengulang-ulang (maka wajib juga menyimpan Fi’ilnya) seperti contoh “ADHDHAIGHAM-ADHDHAIGHAM YAA DZAS-SAARIY” (awas Singa… awas Singa… wahai orang yg berjalan malam). 
–·•Ο•·–

Pengertian Tahdzir adalah : memperingati mukhatab akan suatu yg tidak disenangi agar dihindari, contoh:

إياك والغيبةَ

IYYAAKA WAL-GHIIBATA = awas ghibah! (menggunjingkan orang lain)
Tahdzir ada dua macam :
1. Menggunakan IYYAAKA dan kawan-kawannya (IYYAAKI-IYYAAKUMAA-IYYAAKUM-IYYAAKUNNA)
2. Tanpa menggunakan IYYAAKA dkk.
Apabila Tahdzir menggunakan IYYAAKA dkk, maka wajib membuang/menyimpan Amil yg menashabkan secara mutlaq (baik menyertai Athaf atau tidak, baik amilnya diulang-ulang atau tidak)
Contoh Tahdzir dengan IYYAAKA yg menyertai Athaf :

إياك والتهاونَ بالصلاة

IYYAAKA WAT-TAHAAWUNA BISH-SHOLAATI = awas jangan mengabaikan sholat!
I’robnya :
IYYAAKA = Dhamir Munfashil mabni Fathah dalam posisi Nashob sebagai Maf’ul Bih dari Fi’il yg wajib dibuang, takdirannya IYYAAKA UHADZDZIRU (kepadamu aku memberi peringatan) asalnya UHADZDZIRUKA (aku memperingatkanmu) Dhamir Muttashil “KAF” yg menjadi Maf’ul Bih dirubah menjadi Dhamir Munfashil dan dikedepankan untuk faidah Hashr (membatasi) kemudian Fi’il berikut Faa’ilnya dibuang. Demikianlah peraturan yg berlaku bagi kalam Arab fashih dengan membuang Amil secara wajib.
WAT-TAHAAWUNA = Wawu huruf Athaf (ada yg menyebut Wawu Ma’iyah pada sebagian tempat). Tahaawuna menjadi Maf’ul Bih dari Fi’il yg wajib dibuang, takdirannya IHDZAR! (awas/waspadalah/hati-hati) jumlah Ma’thuf ini athaf pada jumlah sebelumnya laa mahalla minal-iraab.
Contoh dalam hadits Nabi saw bersabda :

إياك وإسبال الإزار

IYYAAKA WA ISBAALAL-IZAARI = awas hindari memanjangkan sarung/jubah

إياك إياكم والدخول على النساء

IYYAAKUM WAD-DUKHUULA ‘ALAN-NISAA’I = awas hindari mesuki ruang wanita.
I’robnya :
IYYAAKUM = Dhamir Munfashil mabni dhammah mahal Nashab menjadi Maf’ul BIh dari Fi’il yg wajib dibuang. huruf MIN tanda jamak.
Contoh Tahdzir dengan IYYAAKA yg tanpa Athaf :

إياك أن تتهاون بالصلاة

IYYAAKA AN TATAHAAWANA BISH-SHOLAATI = awas hindarilah meremehkan shalat!
I’rabnya:
IYYAAKA = sebagaimana contoh diatas
AN TATAHAAWANA = ditakwil mashdar majrur oleh huruf jar MIN muqaddar, jar-majrur berta’alluq pada Fi’il yg wajib dibuang takdirannya “IHDZAR” (awas/hati-hati/waspadalah).
Adapun penggunaan Tahdzir tanpa IYYAAKA dkk. maka tidak wajib menyimpan Fi’il/Amil nashab, kecuali menyertai Athaf atau Tikrar (pengulangan).
Contoh yg menyertai Athaf :

الكذبَ والخداعَ

AL-KIDZBA WAL KHIDAA’A = awas pembohongan dan penipuan!
I’robnya :
AL-KIDZBA = Maf’ul Bih dari Fi’il yg wajib dibuang takdirannya “IHDZAR!” (awas/hati2/waspada/hindari)
AL-KHIDAA’A = Ma’thuf Alaih.
Contoh yg tikrar (diulang-ulang) :

النميمةَ النميمةَ

AN-NAMIIMATA – AN-NAMIIMATA = awas provokasi/penghasutan
Irobnya :
AN-NAMIIMATA (1) = Maf’ul Bih dari Fi’il yg wajib dibuang takdirannya “IHDZAR!”
AN-NAMIIMATA (2) = Taukid Lafzhiy.
Dan apabila tidak ada Athaf atau tidak diulang-ulang, maka hukumnya boleh menyimpan Fi’il atau menampakkannya, contoh:

الرياء

AR-RIYAA’A = awas Riya’
Takdirannya IHDZAR AR-RIYAA’A.



Bab. Ikhtishash

–·•Ο•·–

الاختصاصُ

BAB IKHTISHASH 

الاخـــتـــصـــاصُ كــــنـــــداءٍ دُونَ يـــــــــا  ¤ كَــأَيُّــهـــا الــفــتـــى بـــإِثْــــرِ ارْجُــونِـــيَـــا

Ikhtishash itu seperti Nida’ tanpa “Yaa” (tanpa huruf nida’), contoh “Ayyuhal-Fataa” setelah bekas lafazh “Urjuuniy” (Urjuuniy ayyuhal-Fataa = mengharaplah kalian kepadaku seorang pemuda). 

وقــــــــدْ يُــــــــرَى ذا دُونَ أيٍّ تِــــلْــــوَ أَلْ  ¤ كمِـثـلِ نـحـنُ الـعُـرْبَ أَسْـخَــى مَـــنْ بَـــذَلْ

Terkadang dipertimbangkan untuk Isim Mukhtash yg selain “Ayyun” dengan menyandang “AL”, contoh “Nahnul-‘Aroba askhaa man badzala” (Kami -orang-orang Arab- adalah paling murahnya orang yg dermawan). 
–·•Ο•·–

Pengertian Ikhtishash secara bahasa adalah Isim Mashdar dari Fi’il Madhi “Ikhtashshah” (mengkhususkan), sebagaimana contoh:

اختص فلان فلاناً بأمر

IKHTASHSHA FULAANUN FULAANAN BI AMRIN = Fulan menghususi Fulan dengan sesuatu perkara
Yakni meringkas si Fulan pada penetapan suatu perkara
Pengertian Ikhtishosh menurut istilah Nahwu adalah : mengkhususkan/meringkaskan hukum pada Dhamir selain ghaib dan sesudahnya ada Isim Zhahir Ma’rifat yg menjadi makna dari Isim Dhamir tersebut.
Contoh:

نحن المسلمين خير أمة أخرجت للناس

NAHNU AL-MUSLIMIINA KHAIRU UMMATIN UKHRIJAT LINNAASI = Kami -orang-orang Muslim- adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.

أنا طالب العلم لا تفتر رغبتي

ANA THAALIBUL-‘ILMI LAA TAFTURU RUGHBATIY = Saya -penuntut ilmu- takkan reda semangatku.

نحن الموقعين على هذا نشهد بكذا وكذا

NAHNU AL-MUWAQQI’IINA ‘ALAA HAADZAA NASYTAHIDU BI KADZAA WA KADZAA = Kami -yang bertandatangan dibawah ini- bersaksi demikian dan seterusnya…
Penjelasan Definisi :
  • Menghususkan hukum pada dhamir = Meringkas pengertian dhamir atas suatu hukum.
  • Dhamir selain ghaib = Umumnya Dhamir Mutakallim, atau dhamir Mukhatab tapi jarang seperti contoh:

أنت الخطيبَ أفصح الناس قولاً

ANTA AL-KHOTIIBA AFSHAHUN-NAASI QOULAN = Kamu -penceramah- paling fasihnya orang dalam berkata.
  • Sesudahnya ada Isim Zhahir Ma’rifat = Yakni ma’rifat sebab idhofah atau menyandang “AL” seperti pada contoh-contoh diatas.
Tujuan dari pada penyebutan Isim Zhahir adalah untuk mengkhususi Isim Dahmir, menjelaskan serta menghilangkan kesamaran. Dan dinamakan pula Isim Zhahir Manshub ‘Alal Ikhtishosh yakni dinashobkan oleh Fi’il yg wajib terbuang misalnya takdir fi’il : AKHUSHSHU (aku menghususkan) dan semisalnya.
Contoh dalam Hadits, Nabi saw bersabda :

إنا معشر الأنبياء لا نورث

INNAA MA’SYAROL ANBIYAA’I LAA NUUROTSU = Kami -kelompok para Nabi- tidak mewariskan.

إنا آلَ محمد لا تحل لنا الصدقة

INNAA AALA MUHAMMADIN LAA TAHILLU LANAA ASH-SHADAQATU = Kami -keluarga Muhammad- tidak halal bagi kami menerima sedekah.
Contoh I’robnya :
MA’SYAROL ANBIYAA’I = Dinashabkan atas Ikhtishash oleh Fi’il yg wajib dibuang, sebagai Jumlah Mu’taridhah antara Isim INNA dan Khabarnya, atau sebagai HAAL dari dhamir NAA.
Terkadang Ikhtishosh tersebut dengan menggunakan lafazh “AYYUN” (Mudzakkar) dan “AYYATUN” (Muannats) yg wajib mabni dhommah dalam mahal nashab, dan disambung dengan “HAA” (huruf Tanbih) menjadi “AYYUHAA” dan “AYYATUHAA”. Kedua lafazh Ikhtishosh ini tetap dalam bentuknya baik untuk mufrod, mutsanna dan jamak. Ditetapkan pula setelah keduanya ada Isim yg dirofa’kan sebagai NA’ATnya.
Contoh :

إني – أيها المسلم – نظيف اليد واللسان

INNIY AYYUHAL-MUSLIMU NAZHIIFUL-YADDI WAL-LISAANI = sesungguhnya saya -sebagai seorang muslim- harus bersih tangan dan ucapan.

إنني – أيتها المسلمة – أُحسنُ الححاب

INNANIY AYYATUHAL-MUSLIMATI UHSINUL-HIJAABI – sesungguhnya saya -sebagai seorang muslimah- harus memperbagus Hijab (penutupan aurat).
Sebagaimana disebutkan bahwa tujuan asal Ikhtishash adalah sebagai Takhshish (penghususan) atau Qashr (ringkasan) yg terkadang berfungsi Fakhr (kebanggaan) sebagimana dua contoh diatas. Dan terkadang berfungsi Tawadhu’ (kerandahan diri) seperti contoh:

أنا أيها العبد محتاج إلى عفو الله

ANA AYYUHAL-‘ABDU MUHTAAJUN ILAA ‘AFWILLAAHI = Saya-sebagai seorang hamba- sangat butuh akan Pengampunan Allah.
Dengan demikian penggunaan Ikhatishash itu ada dua :
1. Menggunakan “AYYUHAA” atau “AYYATUHAA”
2. Menggunakan Isim yg menyandang “AL” atau “Mudhaf”.
Disebutkan dalam Bait diatas bahwa Ikhtishosh serupa dengan Nida’ dalam keumuman penampakannya, yakni sama-sama menyertakan Isim yg kadang dimabnikan dhammah dan kadang dinashabkan, juga sama berfaidah Ikhtishosh, dan masing-masing digunakan untuk orang kedua (hadir) tidak untuk orang ketiga (ghaib).
Perbedaannya adalah Ikhtishash untuk Mutakallim juga Mukhatab, sedangkan Nida’ husus Mukhatab saja. Ikhtishash tidak menggunakan huruf Nida’ baik secara lafazh dan taqdir. Ikhtishosh tidak bisa dijadikan shodar kalam (awalan kalimat) sedangkan Nida’ bisa. Ikhtishash banyak menggunakan “AL” pada isim mukhtashnya sedangkan Nida’ tidak boleh menggunakan “AL” pada Munadanya kecuali dalam pengecualian sebagaimana telah disebut pada bab Nida’



Bab. Tarkhim

–·•Ο•·–

باب التَّرْخِيمُ

BAB TARKHIM  

تَرْخِيماً احذِفْ آخِرَ المُنَادَى ¤ كَيَاسُعَا فِيمَنْ دَعَا سُعَادا

Buanglah dengan di-tarhim pada akhir kalimah Munada, seperti contoh “Yaa Su’aa” didalam perkataan orang yg memanggil nama Su’aad. 

وَجَوِّزَنْهُ مُطْلَقاً فِي كُلِّ مَا ¤ أُنِّثَ بِالهَا وَالَّذِي قَدْ رُخِّمَا

Perbolehkanlah tarkhim secara mutlak pada setiap Munada yg dita’nits dengan Ha’ (ta’ marbutoh). Dan terhadap Munada yg ditarkhim… (ke bait selanjutnya)  

بحَذْفهَا وَفِّرْهُ بَعْدُ وَاحْظُلَا ¤ تَرْخِيمَ مَا مِنْ هذِهِ الْهَا قَدْ خَلا

…dengan membuang Ha’ ta’nits tsb, pertahankan setelah itu. Cegahlah tarkhim terhadap munada yg kosong dari Ha’ ta’nits…  

إلّا الرُّبَاعِيَّ فَمَا فَوقُ الْعَلَمْ ¤ دُونَ إضَافَةٍ وَإسْنادٍ مُتَمْ

kecuali berupa isim empat huruf atau lebih yg berupa isim alam bukan tarkib idhafah atau tarkib Isnad tamm.  
–·•Ο•·–

Pengertian Tarkhim menurut bahasa adalah melunakkan suara. Menurut Istilah Ilmu Nahwu adalah pembuangan akhir kalimah didalam Nida’ dengan cara khusus umumnya untuk meringankan.
Macam-macam Tarhim :
1. Tarkhim Munada
2. Tarkhim Dharurah
3. Tarkhim Tashghir (dijelaskan pada bab Tashghir)
Pembagian Isim yg ditarkhim
1. Barakhiran Ha’
2. Tidak berakhiran Ha’
Jika Isim tersebut diakhiri dengan Ha’ maka boleh ditarkhim secara mutlak yakni baik berupa Isim ‘Alam semisal “Faathimah”, “Hamzah”, atau bukan Isim ‘Alam semisal “Jaariyah”, baik berupa Isim lebih dari tiga huruf atau tetap tiga huruf semisal “Syaatun”. Maka menjadi “Yaa Faathima”, “Yaa Hamza”, “Yaa Syaa”.
Contoh:

ياشا إدجني

YAA SYAA IDZJINIY! = hai kambing tinggalah/diamlah disini.
lafazh SYAA asalnya SYAATUN ditarkhim dengan membuang akhir kalimah yg berupa huruf Ha’ Muannats (huruf ta’ marbuthoh disebut Ha’ karena ketika wakof dibaca Ha’).
Jika Isim tersebut tidak berakhiran Ha’ muannats, maka boleh ditarkhim dengan tiga syarat sbb:
1. Harus Isim empat huruf atau lebih.
2. Harus isim ‘Alam.
3. Harus bukan tarkib idhofi atau tarkib isnadi.
Apabilah ketiga syarat diatas tidak terpenuhi, maka isim yg tidak berakhiran Ha’ tersebut tidak boleh ditarhim, semisal hanya terdiri dari tiga huruf “zaidun”, “umar” atau bukan isim Alam “qoo’imun” “jaalisun” atau berupa terkib idhafi “Abdul Aziz” atau berupa tarkib Isnadi “Syaaba Qornaahaa”. (InsyaAllah akan dijelaskan bagian-bagiannya pada bait selanjutnya)



Bab. Nudbah

–·•Ο•·–

النُّدْبَةُ

BAB NUDBAH 

مَا لِلْمُنَادَى اجْعَلْ لِمَنْدُوبٍ وَمَا ¤ نُكِّرَ لَمْ يُنْدَبْ وَلا مَا أُبْهمَا

Jadikanlah Munada sebagai Mandub (yg dikeluhi), Isim nakirah tidak bisa dijadikan Mandub, juga tidak bisa isim Mubham. 

وَيُنْدَبُ المَوْصُولُ بالَّذِيْ اشْتَهَرْ ¤ كَبئْر زَمْزَمٍ يَلِي وَا منْ حَفَرْ

Isim Maushul yg masyhur digunakan, boleh dijadikan Mandub, seperti “waa man hafaro bi’ro zamzamaah” = oooh… yg menggali sumur zamzam! (Abdul Mutthalib kakek Nabi) 
–·•Ο•·–

Pengertian Nudbah (ratapan/keluhan) adalah memanggil sesuatu atau seseorang yg ditangisi karena merasa kehilangan dsb. atau memanggil sesuatu yg dirasakan sakit. contoh,

وا زيداه

WAA ZAIDAAH = ooh.. zaid!

وا ظهراه

WAA ZHOHAROOH = ooh… punggungku!
Isim-isim yg dijadikan Mandub harus berupa Isim Ma’rifah, karena tujuan Nudbah tersebut untuk menyatakan kesungguhan rasa sedih atau sakit, oleh karenanya mandub harus Ma’rifah dan tertentu.
Tidak boleh dari Isim Nakirah contoh:

وارجُلاه

WAA ROJULAAH = oooh.. laki-laki
Tidak boleh dari Isim Mubham semisal Isim Isyarah contoh:

واهذاه

WAA HADZAAH = oooh.. ini.
Juga tidak boleh dari Isim Maushul, kecuali Isim Maushul yg tidak ada AL dan Shilahnya yg masyhur digunakan, contoh mereka mengatakan:

وامن حفر بئر زمزماه

WAA MAN HAFARO BI’RO ZAMZAMAAH = oooh.. penggali sumur zamzam! (Abul Mutthalib).
Demikian contoh seperti ini telah dikenal dikalangan mereka dan digunakan manempati lafazh berikut :

واعبد المطلباه

WAA ‘ABDAL-MUTHTHALIBAAH = ooh.. ‘Abdul Muththalib! (Kakek Nabi saw).
Hukum I’rob Mandub seperti halnya Munada, yakni :
Mabni Dhammah apabila berupa Isim Ma’rifah yg mufrad, semisal:

واعمرُ

WAA ‘UMARU = ooh Umar!
WAA = huruf Nida’ dan Nudbah
UMARU = Munada Mandub mabni dhammah dalam mahal nashab.
Hukum Nashab apabila berupa Mudhaf, semisal:

وا أميرَ المؤمنين

WAA AMIIROL MU’MINIIN = ooh pemimpin muslimin!



X
Donasi yang tertampung akan digunakan untuk perkembangan Aplikasi/website ini, dan sebagian akan disumbangkan untuk Mesjid atau Madrasah

Donasi dapat melalui bank BRI
No Rekening : 416001002997504
Atas Nama : Yudi Mansopyan

Terimakasih..!