® Rajawally Intermezo
Tampilkan postingan dengan label Artikel Seputar Hadits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Seputar Hadits. Tampilkan semua postingan

Ancaman Berdusta Atas Nama Rasulullah SAW

Ancaman yang sangat berat dan adzab yang sangat mengerikan kepada para pendusta dan pemalsu hadits atas Nabi SAW.

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Artinya : Dari Abi Hurairah, ia berkata. Telah bersabda Rasulullah SAW "Barang siapa yang berdusta atasku (yakni atas namaku) dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya (yakni tempat tinggalnya) di neraka".
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1/36) dan Muslim (1/8) dll)


TAKHRIJUL HADITS
Hadits "مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ" dan yang semakna dengannya tentang ancaman berdusta atas Rasullah SAW, derajadnya MUTAWATIR. Telah diriwayatkan oleh berpuluh-puluh sahabat, sehingga dikatakan sampai dua ratus orang sahabat meriwayatkannya. Dan tidak satupun hadits mutawatir yang derajadnya lebih tinggi dari hadits "man kadzaba a'laiya".
(baca : Syarah Muslim (1/68) An-Nawawi, Fathul Bari (1/213) Ibnu Hajar. Tuhfatul Ahwadziy syarah tirmidzi (7/418-420).
Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Bahwa banyaknya sahabat yang meriwayatkan hadits di atas memberikan beberapa faedah yang menunjukan :
  1. Nabi SAW sering menyampaikan dan mengulang-ulang sabdanya tersebut.
  2. Perhatian yang besar para sahabat dalam memelihara, dan menjaga betul-betul sabda Nabi SAW dan segala sesuatu yang disandarkan orang kepada beliau SAW. Sehingga mereka saling berpesan dan berwasiat dan meriwayatkannya sesama mereka. Kemudian mereka menyampaikannya kepada Tabi'in dan Tabi'in menyampaikannya kepada Atba'ut Tabi'in dan seterusnya tercatat dan terpelihara dengan baik dan rapi di dewan-dewan Imam-imam Sunnah. Sehingga sepanjang pemeriksaan saya -hampir-hampir- tidak ada satupun Imam dari Imam-imam ahli hadits melainkan meriwayatkannya di kitab-kitab hadits mereka. Dari Amirul Mu'minin fil hadits Al-Imam Bukhari sampai Imam Ibnul Jauzi radiiyallahu 'anhum wa jazaahumullahu 'anil Islam khairan.
  3. Ketinggian derajadnya dalam kesahihan dan kemutawatirannya dan mencapai tingkat teratas dalam martabat hadits-hadits mutawatir.
  4. Kebesaran maknanya yang meliputi beberapa faedah dan sejumlah qaidah dan menutup pintu kerusakan-kerusakan yang besar dalam Agama ini, disebabkan berdusta atas nama Nabi SAW.
LUGHOTUL HADITS
Sabda Nabi Saw : ....فَلْيَتَبَوَّأْ... = hendaklah ia mengambil
Artinya : Maka hendaklah ia mengambil untuk dirinya satu tempat tinggal (yakni di neraka). Dikatakan : Seorang mengambil tempat, (yakni) apabila ia mengambilnya sebagai tempat tinggalnya (tempat menetap atau rumahnya). Maka sabda Nabi SAW. "Hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka". bentuk perintah yang maknanya kabar, atau bermakna mengancam, atau maknanya mengejek dan marah, atau mendo'akan pelakunya yakni semoga Allah menempatkannya di neraka".
(Al-Fath 1/211 dan syarah Muslim 1/68).
Saya berpandangan : Bahwa tempat tinggal yang dimaksud telah dijelaskan di hadits nomor 10, yaitu Allah SWT telah disediakan untuknya satu rumah di neraka. Wallahu A'lam.

SYARAH HADITS
Menurut Imam Nawawi (rahimahullahu) hadits ini meliputi beberapa faedah dan sejumlah qawaa'id, diantaranya :
  1. Ketetapan tentang qa'idah dusta bagi Ahlus Sunnah. (akan datang penjelasannya).
  2. Sangat besar pengharaman dusta atas nama beliau SAW, dan merupakan kekejian dan kebinasaan yang sangat besar.
  3. Tidak ada perbedaan tentang haramnya berdusta atas nama Nabi SAW baik dalam masalah-masalah ahkam (hukum-hukum) atau bukan, seperti ; tarhib dan nasehat-nasehat dan lain-lain. Maka semuanya itu adalah haram dan sebesar besar dosa besar dan seburuk-buruk perbuatan menurut ijma' kaum muslimin.
  4. Haram meriwayatkan hadits maudlu'/palsu atas orang yang telah mengetahui kemaudlu'annya atau berat sangkaan bahwa hadits tersebut maudlu'. Maka barangsiapa yang meriwayatkan satu hadits yang ia ketahui atau berat sangkaannya bahwa hadits itu palsu dan ia tidak menjelaskan kepalsuannya, maka ia termasuk kedalam ancaman hadist di atas dan tergolong orang-orang yang berdusta atas nama Rasulullah SAW. 



Hukum Meriwayatkan Hadits-Hadits Dhaif Untuk Fadhailul A'mal, Targhib Dan Tarhib

Para ‘ulama kita –rahimahullahu- telah berikhtilaf dalam hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadits dha'if. Hingga saat ini memang hal tersebut masih menjadi perselisihan pendapat di kalangan para ulama.
Ikhtilaf para ‘ulama tersebut terbagi tiga, yaitu:

Pertama : bahwa hadits dha'if itu tidak boleh diamalkan secara mutlak (sama sekali) baik dalam masalah hukum, aqidah, targhib watarhib dan lain-lainnya. Yang berpegang pada pendapat ini adalah sejumlah besar dari kalangan ‘ulama hadits seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Ma’in, Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnu Hazm –rahimahullahu- dan lain-lain.

Kedua : boleh mengamalkan hadits dha'if dalam bab Fadhailul A’mal, Targhib (menggemarkan melakukan suata amalan), Tarhib (mempertakuti diri mengerjakan suatu amal) namun tidak diamalkan dalam masalah aqidah, dan hukum. Yang memegang pendapat ini adalah sebagian ahli fiqh dan ahli hadits seperti Al Hafidz Ibnu Abdil Barr, Al imam Nawawi, Ibnu Sholah –rahimahullahu-.

Ketiga : boleh mengamalkan hadits dha'if secara mutlak jika tidak ditemukan hadits yang shohih atau hasan. Pendapat ini disandarkan kepada Imam Ahmad dan murid beliau Abu Daud -rahimahumallahu- .

Syarat-syarat Untuk Mengamal-kan Hadits dha'if
Perlu diketahui bahwasanya para ‘ulama yang membolehkan pengamalan hadits dha'if menetapkan beberapa syarat yang mesti diperhatikan diantaranya:

  1. Bahwa hadits tersebut tidak terlalu lemah (bukan hadits dha'if jiddan apalagi maudhu)
  2. Hadits dha'if itu tidak boleh diyakini bahwa dia adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atau perbuatan Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maka hadits diamalkan hanya karena kehati-hatian dari pada mengamalkan sesuatu yang tidak ada dalilnya .
  3. Hadits tersebut khusus untuk Fadhailul A’mal atau Targhib wattarhib. Tidak boleh dalam masalah aqidah, hukum, Tafsir Al-Qur’an dan lain-lain yang usul (prinsip) dari Ad Dien ini.
  4. Orang yang mengamalkan tidak boleh memperkenalkan hadits tersebut kepada masyarakat awam, karena jika melihat hadits itu mashyur dan banyak diamalkan akan mengira bahwa itu adalah sunnah yang shohih.
Dari sini, berarti jika haditsnya sangat dha'if (seperti haditsnya diriwayatkan oleh seorang pendusta), maka tidak boleh diriwayatkan selamanya kecuali jika ingin dijelaskan kedhoifannya.

Jika hadits tersebut tidak memiliki pendukung yang kuat dari hadits shahih, maka hadits tersebut juga tidak boleh diriwayatkan. Misalnya hadits yang memiliki pendukung dari hadits yang shahih: Kita meriwayatkan hadits tentang keutamaan shalat Jama’ah, namun haditsnya dhoif. Maka tidak mengapa menyebut hadits tersebut untuk memotivasi yang lain dalam shalat jama’ah karena saat itu tidak ada bahaya meriwayatkannya. Karena jika hadits tersebut dho’if, maka ia sudah memiliki penguat dari hadits shahih. Hanya saja hadits dho’if tersebut sebagai motivator. Namun yang jadi pegangan sebenarnya adalah hadits shahih.
Akan tetapi ada syarat ketiga yang mesti diingat, yaitu hendaklah tidak diyakini bahwa hadits dhoif tersebut berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syarat ketiga ini yang seringkali tidak diperhatikan. Karena kebanyakan orang menyangka bahwa hadits-hadits tersebut adalah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak ditegaskan kalau hadits itu dho’if. Akibatnya timbul anggapan keliru. Dalam syarat ketiga ini para ulama memberi aturan, hadits dho’if tersebut hendaknya dikatakan “qiila” (dikatakan) atau “yurwa” (ada yang meriwayatkan), tanpa kata tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Namun syarat-syarat ini telah dijawab dan ditanggapi oleh ‘ulama yang tidak yang tidak membolehkan mengamalkan hadits dha'if secara mutlak sebagai berikut:
  1. Syarat pertama yang mereka kemukakan ini disepakati oleh seluruh ahli ilmu. Namun syarat ini sangat sulit dipenuhi karena mengetahui dan membedakan antara hadits yang dha'if ringan dan berat sangatlah sulit bagi kebanyakan orang disebabkan kurangnya ‘ulama hadits apalagi di masa saat kita sekarang ini dimana keberadaan seorang yang tidak menyebutkan hadits kecuali hadits yang shohih dan menjelaskan kepada masyarakat bahaya hadits dha'if sangat langka.
  2. Syarat ini sama dengan syarat yang pertama dalam hal harus mengetahui kelemahan hadits tersebut. Namun kenyataan yang kita lihat bahwa kebanyakan orang-orang saat sekarang ini tidak mengetahui hal tersebut, sehingga ketika mengamalkan mereka mengi’tiqadkan (meyakini hadits itu sebagai sabda atau perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sehingga syarat inipun telah dilanggar.
  3. Syarat yang ketiga ini mengharuskan bagi orang yang mau membawakannya untuk tahu lebih dahulu apakah hadits ini termasuk dalam fadhailul A’mal ataukah aqidah atau hukum. Lalu syarat ini tidak bisa diterima sepenuhnya karena sesungguhnya Fadhailul ‘Amal itu juga bagian dari syariat, maka mana dalil yang menunjukkan bolehnya dibeda-bedakan ?
  4. Syarat yang terakhir ini sangat banyak dilanggar oleh kaum muslimin yang mana saat sekarang ini sangat banyak hadits dha'if yang dikenal dan dipakai sama kedudukannya dengan hadits shohih, bahkan lebih. Karenanya sangat banyak ibadah-ibadah yang tidak benar yang mereka kerjakan lalu mereka meninggalkan ibadah-ibadah yang sudah jelas berdasarkan hadits yang shohih -Wallahul Musta’an.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada satu pun ulama yang mengatakan bolehnya menjadikan sesuatu yang wajib atau sunnah berdasarkan hadits dha'if. Barangsiapa menyatakan bolehnya hal itu, maka sungguh ia telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama). Hal ini sama halnya ketika kita tidak boleh mengharamkan sesuatu (dalam masalah hukum) kecuali berdasarkan dalil syar’i (yang shahih). Akan tetapi jika diketahui sesuatu itu terlarang (haram) dari hadits yang membicarakan balasan baik bagi pelakunya dan diketahui bahwa hadits tersebut bukan diriwayatkan oleh perowi pendusta, maka hadits tersebut boleh saja diriwayatkan dalam rangka targhib (memotivasi dalam amalan kebaikan) dan tarhib (untuk menakut-nakuti). Hal ini berlaku selama tidak diketahui bahwa hadits tersebut adalah hadits yang berisi perowi pendusta (baca: hadits maudhu’/ palsu). Namun patut diketahui bahwa memotivasi suatu amalan kebaikan atau menakuti-nakuti dari suatu amalan yang jelek didukung dengan dalil lain (yang shahih), bukan hanya dengan hadits yang tidak jelas status keshahihannya.”

Di tempat yang lain beliau menjelaskan, “Jika diketahui bahwa suatu amal disunnahkan dengan dalil syar’i (dalil shahih) dan diriwayatkan pula hadits lainnya dengan sanad yang dha'if yang membicarakan masalah fadhilah amal, maka hadits tersebut bisa diriwayatkan asalkan haditnys bukan merupakan hadits maudhu’ (yang di dalamnya ada salah satu perowi pendusta). Karena yang namanya jumlah pahala (dalam memotivasi untuk beramal, pen) tidak diketahui ukuran pastinya. Oleh karenanya, jika dalam masalah ukuran pahala diriwayatkan dengan hadits yang dha'if selama bukan hadits yang dusta (hadits maudhu’), maka hadits semacam ini tidak dikatakan dusta. Oleh karena itu Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya memberikan keringanan meriwayatkan hadits dhoif dalam masalah fadhoil a’mal. Adapun jika suatu amalan dikatakan sunnah berdasarkan hadits dha'if (semata), maka beliau menjauhkan diri darinya karena (takut pada) Allah.”

Beliau menjelaskan pula, “Jika hadits dha'if tentang fadhilah amal mengandung amalan yang disebutkan tata cara tertentu atau jumlah tertentu –seperti disebutkan shalat pada waktu tertentu dengan bacaan tertentu atau tata cara tertentu-, maka hadits semacam ini tidak boleh diamalkan. Karena tata cara amalan yang dilakukan haruslah ditetapkan dengan dalil syar’i. Hal  ini berbeda halnya jika diriwayatkan suatu hadits yang mengatakan bahwa barangsiapa memasuki pasar lalu ia menyebut “laa ilaha ilallah”, maka pahalanya sekian dan sekian, maka ini tidak mengapa. Karena yang namanya dzikir kepada Allah di pasar disunnahkan karena ini termasuk amalan yang dilakukan di saat kebanyakan orang sedang lalai.”

Kemudian beliau membuat kesimpulan:
“Hadits dha'if bisa diriwayatkan namun dalam masalah targhib dan tarhib saja. Hadits dha'if bukanlah diriwayatkan untuk menyebutkan sunnahnya suatu amalan. Adapun untuk memastikan besarnya suatu pahala atau akibat buruk dari suatu amalan jelek, maka cukup dalil syar’i (yang shahih) yang jadi pegangan.”

 Di lain sikap para ulama, sebagian ulama bersikap bahwa hadits dha'if tidak boleh digunakan secara mutlak kecuali jika ingin dijelaskan dha'ifnya. Pendapat ini sebagai bentuk lebih hati-hati dan menganggap lebih selamat. Dan menyatakan: Untuk memotivasi pada kebaikan dan mengancam suatu perbuatan yang jelek sebenarnya sudah cukup dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun perkataan Imam Ahmad –rahimahullahu-  bahwasanya Beliau –rahimahullahu- bila tidak menemukan hadits shohih dalam satu bab maka beliau berpegang pada hadits yang dha'if ketimbang berpegang pada pendapatnya sendiri atau yang lain. Yang dimaksud hadits dha'if di sini adalah hadits “Hasan” dengan istilah kita sekarang, karena pada zaman mereka ilmu Mustholah belum begitu berkembang sehingga pembagian hadits yang mereka kenal ketika itu hanyalah shohih dan dha'if, karena yang pertama kali yang memasyhurkan pembagian hadits menjadi tiga (shahih,hasan, dha'if) adalah imam At Tirmidzi yang mana beliau datang setelah imam Ahmad.
Wallahu A’lam.



Refrensi:
[1] Al Mawdhu’at, Ibnul Jauzi, 1/51, Mawqi’ Ya’sub.
[2] Shahih Muslim, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi, 1/21, Darul Jail-Darul Afaq.
[3] Syarh ‘Ilal At Tirmidzi, 1/ 373.
[4] Tadribur Rowi, 1/252.
[5] Shahih At Targhib wa At Tarhib 67-1/47.
[6] Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 1/ 251, Darul Wafa’.
[7] Majmu’ Al Fatawa, 10/408-409.
[8] Majmu’ Al Fatawa, 18/67.
[9] Majmu’ Al Fatawa, 18/68



Tanda-Tanda untuk Mengetahui Hadits Palsu

Para ulama telah membuat tanda-tanda matan hadits maudhu' yang mudah ditengarai kepalsuannya khususnya bagi kita kaum awam yang tidak terlalu banyak menguasai ulumul hadits. Yaitu:

1. Tanda/ciri yang terdapat pada sanad.
a. Pengakuan dari si pembuat sendiri
Seorang guru tasawuf misalnya, meriwayatkan hadits-hadits tentang keutamaan ayat-ayat tertentu, ketika ditanya oleh Ibnu Ismail [1] tentang hadits-hadits yang dia riwayatkan itu ia berkata dengan terus terang:
"Tidak satupun yang meriwayatkan hadits kepadaku, akan tetapi serentak kami melihat manusia-manusia membenci Al-Quran. Kami ciptakan untuk mereka hadits ini (keutamaan ayat-ayat Al-Quran), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Quran".

Karena menjadi kewajiban kita sebagai kaum terpelajar untuk melacak hadits-hadits tentang keutamaan beberapa surat atau ayat-ayat Al-Qur'an dengan tetap berpedoman kepada para alim yang dianugerahi Allah pemahaman. Misalnya:
مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ لَيْلَةٍ أَصْبَحَ مَغْفُوْرًا لَهُ
"Barangsiapa yang membaca surat Yaasiin dalam satu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya.” (Riwayat Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (I/247).

Imam Ibnul Jauzi berkata: Hadits ini dari semua jalannya adalah bathil, tidak ada asalnya. Imam Daraquthni berkata: “Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits.” [2]

b. Qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudhu'
Misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau menerima hadits dari seorang guru yang telah meninggal dunia sebelum ia dilahirkan.

c. Adanya qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya
Seperti juga kisah Giyats bin Ibrahim An-Nakh'i Al-Kufi dengan Amir Mukminin Al-Mahdi, ketika masuk ke ruangan Amirul Mukminin dan menjumpai Al-Mahdi tengah bermain-main dengan burung merpati. Maka ia menambahkan perkataan dalam hadits yang disandarkan kepada Nabi, bahwa beliau bersabda:
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فيِ نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جُنَاحٍ
"Tidak ada perlombaan kecuali bermain pedang, pacuan, menggali atau sayap."

Ia menambahkan kata sayap (junah), yang dilakukan untuk menyenangkan Al Mahdi, lalu Al Mahdi memberinya sepuluh dirham. Setelah berpaling, Sang Amir berkata:"Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian Al-Mahdi menyuruh untuk menyembelih burung merpati itu. Tingkah laku Ghiyats semacam ini menjadi qarinah untuk menetapkan ke-maudhu'-an hadits.

2. Tanda/ciri yang terdapat pada matan.
Ciri yang terdapat pada matan itu dapat dtinjau dari segi makna dan dari segi lafadznya. Pertama, dari segi makna, misalnya hadits itu bertentangan dengan ayat Al-Quran atau dalil lain yang mutawatir. Seperti hadits:
وَلَدُ الزِّنَا لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ

Matan hadits ini bertentangan dengan kandungan firman Allah Subhanahuwata'alaa dalam surat Al-An'aam : 164,
وَلاَ تَزِرُوْا وَازِرَةُ وِزْرَ أُخْرَى

Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya. Misal yang lain, seperti hadits yang menjelaskan tentang umur dunia yang bertentangan dengan kenyataan. Misalnya: [3]
مِقْدَارُ الدُّنْيَا سَبْعَةُ آلاَفِ سَنَةً وَنَحْنُ فىِ الأَلَفِ السَّابِعَةِ

Hadits ini sangat dusta. Sebab senadainya hadits ini benar, maka kita tidak akan hidup di alam dunia ini. Pahadal kenyataannya hingga sekarang alam dunia ini masih berdiri tegak dan Allah telah menjelaskan hanya Dia sendiri yang mengetahui kapan datangnya hari kiamat itu. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-A'raf : 187

Contoh hadits yang bertentangan dengan sunnah mutawatirah ialah hadits yang memuji orang-orang yang memakai nama Muhammad atau Ahmad:
وَإِنَّ كًُلَّ مَنْ يُسَمَّى بِهَذِهِ الأَسْمَاءِ (محمد واحمد) لاَ يَدْخُلُ النَّارَ

Hadits tersebut bertentangan dengan sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang menerangkan bahwa neraka itu tidak dapat ditebus dengan nama-nama tersebut, akan tetapi keselamatan dari mereka karena keimanan dan amal shaleh.
Contoh matan hadts bertentangan dengan sejarah, seperti hadits yang menganjurkan perayaan maulid Nabi shalallahu 'alaihi wasallam yang dikutip oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya Madarijush Shu'ud atau Targhibul Mustaqin, (Kutipan lebih lanjut Syaikh Nawawi Al-Bantani dapat dilihat di halaman lampiran).
قاَلَ رَسُوْلًُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِىْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا فىِ مَوْلِدِىْ فَكَأَنَّمَا أَنْفَقَ جِبَلاً مِنْ ذَهَبٍ فىِ سَبِيْلِ اللهِ

Matan hadits ini bertentangan dengan sejarah, karena perayaan maulid nabi shalallahu 'alaihi wasallam baru diadakan orang pada masa pemerintahan Bani Fathimiyyah di Mesir (sekitar abad ke 4 Hijriah) kemudian dilanjutkan oleh Abu Sa'id Al-Qakburi Gubernur Irbil di Iraq pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (tahun 1139 – 1193).
Contoh hadits maudhu' yang bertentangan dengan ijma'. Ialah hadits-hadits yang dikemukakan oleh golongan Syi'ah tentang wasiat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu untuk menjadi khalifah, yang menurut mereka bahwa sahabat bersepakat untuk membekukan wasiat tersebut:
إِنَّهُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَخَذَ بِيَدِ عَلِىِ بْنِ اَبىِ طَالِبٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ بِمَخْضَرِ مِنَ الصَّحَابَةِ كُلِّهِمْ, وَهُمْ رَاجِعُوْنَ مِنَ حَجَةِ الْوَدَاعِ, فَاقَامَهُ بَيْنَهُمْ حَتىَّ عَرَفَهُ الْجَمِيْعُ, ثُمَّ قَالَ: وَصِىِّ وَأَخِىْ وَالْخَلِيْفَةُ بَعْدِى, فَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا.

Hadits ini adalah maudhu' karena bertentangan dengan seluruh ijma seluruh umat, bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tidak menetapkan (menunjuk) seseorang pengganti sesudah beliau meninggal dunia.
Kedua, dari segi lafadznya. Yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik serta tidak fasih. Termasuk dalam hal ialah susunan kalimat yang sederhana, tetapi isinya berlebih-lebihan. Umpamanya berisikan pahala yang besar sekali bagi amal perbuatan yang sedikit (kecil). Misalnya :
مَنْ قَالَ لاَ اِلهَ إِلاَ اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ تِلْكَ الْكَلِمَاتِ طَائِرًا لَهُ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لِسَانٍ لِكُلِّ لِسَانٍ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لُغَةٍ يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ

Kita perhatikan juga hadits-hadits tentang puasa Rajab dalam kitab Qawai'idut Tahdits oleh Muhammad Jamaluddin Al-Qasyimi yang dikutipnya dari kitab-kitab Imam As-Suyuti. Misalnya: [4]
مَنْ صَامَ ذَالِكَ الْيَوْمُ وَقَامَ تِلْكَ اللَّيْلَةُ كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ كَمَنْ صَامَ مِائَةَ سَنَةً وَقَامَ مِائَةَ سَنَةً

Baca juga:


Footnote:
[1] Al-Imam Al-Bukhari
[2] Al-Maudhuu’aat oleh Ibnul Jauzi (I/246-247), Mizaanul I’tidal III/549), Lisaanul Mizan (V/168), al-Fawaa-idul Majmu’ah fii Ahaaditsil Maudhu’ah (hal. 268 no. 944).
[3] Dr. Muhammad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadits Maudhu', Pustaka Setia Bandung, 2001, hal. 70
[4] Contoh hadits yang senada dapat dilihat di dalam lampiran



Pengertian Hadits Maudhu' dan Awal Kemunculannya

Secara etimologi: maudhu berasal dari kata وضع yang mempunyai beberapa makna di antaranya الحط (merendahkan), الإسقاط (menjatuhkan), الإختلا ق (mengada-ngadakan), الالصاق (menyandarkan/menempelkan). Makna bahasa ini terdapat pula dalam hadits maudhu karena rendah dalam kedudukannya, jatuh; tidak bisa diambil dasar hukum, dan diada-adakan oleh perawinya.

Menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj Al-Khatib, dalam kitabnya Ushulul Hadits, yaitu :
هو ما نُسب الى الرسول صلى الله عليه وسلم اختلافا وكذبا مِمّـا لَم يقلْه او لَم يفعلْه او لَم يُقررْه

Muhammad Abu Rayyan dalam kitabnya Al-Adlwa 'ala Sunnah Muhammadiyah yang dikutip Drs Fatchur Rahman mendefinisikan hadits maudhu' sebagai berikut:
هو المختلَع المصنوع المنصوب الى رسول الله صلى الله عليه وسلم زُورا وبُهتانا سواءٌ كان ذلك عمْدا ام خطأ

Yang dikatakan dengan rawi yang berdusta kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam ialah mereka yang pernah berdusta dalam membuat hadits, walaupun hanya sekali seumur hidupnya. Hadits yang mereka riwayatkan tidak dapat diterima, biar mereka telah bertobat sekalipun. Berlainan halnya dengan periwayatan orang yang pernah bersaksi palsu, ia telah bertaubat dengan sungguh-sungguh maka ia dapat diterima.
Adapun awal kemunculan hadits maudhu' ini dimulai sejak terjadinya perpecahan di antara kaum muslimin yang ditandai dengan terbunuhnya Ustman bin Affan radhillahu 'anhu menjadi beberapa firqah (kelompok). Setiap firqah mencari dukungan dari Al-Qur'an dan As-Sunah. Sebagian kelompok mentakwilkan Al-Qur'an bukan pada makna sebenarnnya. Dan membawa As-Sunah bukan pada maksudnya. Bila mentakwilkan hadits mereka menisbatkan kepada Nabi. Terlebih lagi bila menyangkut keutamaan para imam mereka. Disinyalir bahwa kelompok yang pertama melakukan hal itu adalah kaum Syi'ah. Hal ini tidak pernah terjadi paada masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan tidak pernah dilakukan seorang shahabat pun. Apabila di antara mereka berselisih mereka berijtihad, dengan mengutamakan kebenaran.


Baca juga:



X
Donasi yang tertampung akan digunakan untuk perkembangan Aplikasi/website ini, dan sebagian akan disumbangkan untuk Mesjid atau Madrasah

Donasi dapat melalui bank BRI
No Rekening : 416001002997504
Atas Nama : Yudi Mansopyan

Terimakasih..!